Budidaya Ikan Laut di Darat

Oleh: Hari Murti, S. Sos.

Domestifikasi pangan  bisa di­si­no­nim­kan sebagai penjinakan/budi­da­ya ba­han pangan untuk manusia. Do­mes­ti­fi­­kasi pangan adalah sistem bu­didaya de­ngan meng­eks­lusifkan tum­bu­han atau he­­wan tertentu pada tempat dan waktu ter­­tentu dengan tindakan khusus be­rupa bu­didaya yang bertujuan untuk men­da­pat­kan hasil pertanian (hewan/tum­bu­han) yang kuantitasnya banyak dan kua­litasnya baik untuk pangan.

Di samping ekspedisi manusia mo­dern pertama (homo sa­piens) dari benua Afrika ke Eurasia pasca letusan Gunung Super Purba Toba di Sumatera Utara yang mengkiamatkan dunia 75 ribu tahun lalu, serta penemuan api, domes­tifi­kasi pangan adalah peristiwa monumental dalam perjalanan evolusi ma­nusia. Sebelum masuknya masa domes­ti­fikasi pangan oleh manusia purba,  bisa di­katakan manusia setara dengan jenis pre­dator lainnya dalam pemerolehan pa­ngan, yaitu dengan berburu dan me­ngum­­­pulkan makanan. Ketika masuk masa domestifikasi pangan itu, manusia ber­hasil memosisikan spe­sies lainnya, dari yang awalnya merupakan pesaing men­cari makanan menjadi spesies yang di­pelihara dan diorganisirnya.

Namun, domestifikasi pangan yang se­karang kita sebut seba­gai budidaya atau kultivasi itu sama sekali belum me­nyen­tuh biota utama laut, yaitu ikan. Pola kita pada ikan laut bisa dikatakan sangat pri­mitif, yaitu masih sebatas berburu dan mengumpulkan ikan liar alam. Terjadi perkembangan hanya pada alat tangkap­nya dan pengelolaan pasca tang­kapnya, dari manusia purba yang bermodalkan batu dan kayu, kini sudah dengan alat cang­gih berteknologi software, GPS, dan ka­pal-kapal hebat.  Perkembangan dan peng­gunaan alat tangkap ber­teknologi ting­gi sama sekali tidak  memberinya jus­tifikasi bahwa itu sebagai domestifi­kasi, apalagi budidaya.

Sampai sekarang, istilah perikanan tangkap hanyalah eu­fe­misme dari ikan liar di  laut yang diburu atau ditangkap un­­­tuk dimakan manusia. Kalau istilah itu disebutkan, orang sudah tahu bahwa itu ikan laut. Sedangkan istilah perikanan budidaya adalah sinonim dari ternak ikan air tawar di darat. Padahal, kedua istilah itu, perikanan tangkap atau perikanan budi­daya, sebenarnya tidak menunjuk­kan lokasi hidup ikan itu dimana, di air ta­war atau di laut. Istilah itu untuk me­nun­­juk­kan perlakuan kita pada ikan, apa­kah ikan-ikan itu berkem­bang biak se­cara alami atau berkembang biak secara in­­tervensi. Istilah-istilah yang pe­mak­na­annya salah kaprah ini sebenarnya me­nun­jukkan bahwa kita belum ber­evo­lusi sa­ma sekali sejak  nenek moyang kita ma­nusia purba dalam hal ikan laut ini. Kita berbangga-bangga dengan alat tang­kap dan olah kita yang canggih ka­re­na berpikir bahwa kita sudah men­do­mes­tifikasikan  spesies bernama ikan laut itu. Padahal, sekali lagi, domestifi­kasi atau penaklukan itu dilihat dari as­pek perlakuan kita sejauh mana, apakah se­batas menangkapnya dari alam liar atau mengintervensinya sampai jauh, mulai dari benihnya, media peliharanya, pakannya, perawatan dan perlindungan­nya, pola panennya, dan pascapanennya.  Dilema Alat Tangkap

Semua pemangku kepentingan per­ika­­nan tangkap saat ini sedang dalam si­tuasi dilematis terkait alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Terjadi tarik-menarik antara ekonomi kelaut­an de­ngan perlindungan ekosistem laut. Ke­dua pihak me­miliki argumentasi yang kuat untuk mengusung keingin­annya. Para pelaku perikanan tangkap menun­juk­­kan jutaan orang yang nafkahnya ber­hu­bungan dengan alat tangkap yang dila­rang. Sekian juta orang akan terdampak oleh pelarangan alat tangkap tertentu, se­perti cantrang. Di sisi pemerintah, terlihat bahwa Presiden Joko Widodo dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi bergeming dengan kebijak­an­nya melarang alat tangkap cantrang. Data-data tentang penganggur baru, pengurangan produksi ikan, kapal tang­kap menganggur, dan lainnya ber­usaha dicarikan jalan lain untuk so­lusinya, bukan memberikan mereka izin kembali beroperasi de­ngan can­trang-nya. Itulah sikap yang terlihat dari pe­merintah terkait keluhan para pelaku usaha perikanan saat ini.

Mencoba Solusi

Maka, solusi sangat dibutuhkan. Tam­paknya, ke depan bu­kan lagi era perika­nan laut tangkap, karena akan jeda sete­lah se­kian panjang masa eks­plo­itasi. Era ke depan adalah perika­nan bu­didaya laut dan air tawar. Perika­nan laut budidaya ini­lah yang bisa dijadikan salahsatu so­lusi artikulatif, antara keharusan men­cari ikan di laut dengan perlindu­ngan laut. Ka­­rena domestifikasi belum pernah ter­jadi pada ikan laut, sa­atnya manusia se­kar­ang men­cetak pe­ristiwa evolusi mo­nu­men­tal se­perti yang pernah terjadi pada ma­nusia pur­bakala saat menemu­kan api atau men­ji­nakkan hewan/tum­bu­han. De­ngan kata lain, kita budida­ya­kan ikan laut itu di da­rat laksana kita mem­bu­di­da­yakan ikan air tawar selama ini.

Ada beberapa alasan mengapa orang ti­dak mendomes­ti­fikasi ikan laut di da­rat, yaitu dampak lingkungan dan eko­nomi. Untuk budidaya ikan laut di darat itu, air laut tentu di bawa ke kolam-ko­lam sehingga air laut yang asin itu bisa me­rusak kesuburan tanah, misalnya. Juga, persoalan benih/bibit ikan. Selain itu, tentu orang akan lebih memilih ikan air ta­war jika memang harus mem­bu­di­dayakan karena lebih pasti dan terukur. Maka dari itu, ditawarkan beberapa lang­kah di sini.

Pertama, media pelihara ikan (kolam) masa kini cenderung berbentuk media ba­ngunan, bukan galian tanah seperti da­hulu. Orang tidak perlu mengubah sama se­kali tekstur tanah menjadi cekungan. Me­dia yang digunakan bisa berupa akua­rium atau semacamnya. Bahkan, orang kampung sudah memelihara ikan le­le de­ngan kolam terbuat dari terpal yang di­bentuk seperti ember. Model ini bisa men­­cegah intrusi  sehingga air darat aman dari cemaran air laut. Maka, se­baik­nya kita  menggu­nak­an laguna-la­­guna atau lokasi kolam ikan laut di dekat laut jika memang tak memungkinkan mem­buat akuarium, kolam terpal, atau semacamnya yang jauh dari garis pantai.

Kedua, domestifikasi tidak harus membawa entitas laut ke darat. Pola keramba jaring apung seperti di Danau Toba bisa dicoba di laut. Tetapi, tentu lokasinya harus spesifik dalam arti tidak terancam oleh dinamika air laut, ter­uta­ma gelombang tinggi. Penggunaan ke­ramba sangat baik, karena tidak mem­buat lingkungan dan ikan dalam situasi yang ekstrem. Ya, setidaknya anggaplah kita sudah menjaring ikan itu sejak kecil di­banding pola selama ini, yaitu kita meng­gunakan pukat harimau atau can­trang yang menjaring ikan bebas secara sporadis sampai  menyapu dasar lautnya.

Ketiga, soal riset. Saya yakin di antara kita tidak ada yang tahu berapa usia ikan gembung yang kita makan. Kalau ikan air tawar, kita tahu usia ikan dari besar tubuhnya. Ini hal kecil yang menunjuk­kan kita tidak tahu banyak soal ikan laut. Jadi, penting sekali  riset budidaya ikan laut di darat atau domes­ti­fikasi  untuk membuka berbagai peluang dan ke­mung­ki­nan. Riset budidaya ikan laut di da­rat perlu dilakukan sebagai bukti bah­wa sentuhan revolusi teknologi  dan ilmu pengetahuan tidak dihambarkan oleh kenyataan bahwa kita belum melakukan apa-apa pada ikan laut.

Saya yakin, bahwa ide di atas banyak sekali kelemahannya, dan bahkan mung­kin sudah ketinggalan dalam arti sudah ada yang melakukan. Jika didebat secara il­miah dan hukum pun, tentu akan ba­nyak sekali kebolongan di sana-sini dari ide di atas. Tapi sekali lagi, ini soal evolusi ilmu pangan manusia seba­gai­mana yang terjadi pada nenek mo­yang kita, manusia purbakala.

Maka dari itu, langkah pertama ada­lah riset. Riset men­ja­wab keraguan kita bukan hanya soal apakah bisa ikan laut di budidayakan di darat atau mema­kai keramba, juga soal krea­tivi­tas. Ingat, 45 persen dari total 702 pekerjaan di AS akan hilang dalam 20 tahun ke de­pan  akibat tergantikan oleh kecer­da­san bua­tan, seperti komputer, robot, dan me­sin-mesin. Di Israel, sudah ada per­u­sahaan rintisan bernama Articolo yang bisa membuat komputer jurnalistik, di­mana komputer itu bisa membuat 100 nas­kah berita dari satu peristiwa yang sama dalam waktu cepat dan enak dibaca. Kelak, manusia akan dikalahkan oleh kecerdasan buatannya sendiri, termasuk wartawan/penulis seperti saya  sekalipun. Salahsatu hal yang tidak bisa dikerjakan oleh kecerdasan buatan itu adalah ima­ji­nasi, kreativitas, khayalan, tekad, dan ke­beranian mencoba sesuatu yang baru. Itulah yang akan kita lakukan dengan riset bu­didaya ikan laut di darat itu. Kalau saya hanya menulis apa-apa yang orang su­dah tahu, kecerdasan buatan itu akan meng­gantikan saya. ***

Penulis adalah pemerhati sosial, Ketua pokja pada Forum Penulis Buku Muatan Lokal Sumatera Utara, pengajar komunikasi/jurnalistik.

()

Baca Juga

Rekomendasi