Oleh: Nabhan Aiqani.
Serial anime Jepang one piece merupakan salah satu dari banyak anime yang digandrungi di Indonesia. Jujur saja, kalangan remaja yang kerap dianggap terlalu kekanak-kanakan apabila menonton film berlatar belakang kartun, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya setelah menonton serial anime yang satu ini. Berawal dari tahun 1997 ketika gejolak reformasi sedang menapaki tangga tertingginya, one piece tetap eksis hingga saat ini. Ada sekitar 800 episode dari awal sampai sekarang. Konon katanya, anime besutan Eiichiro Oda, belum akan berakhir dalam waktu dekat. Artinya pencinta one piece akan tetap dimanjakan dengan aksi para bajak laut hingga waktu yang tak ditentukan. Bisa jadi one piece akan berakhir ketika Oda pun berakhir (meninggal dunia).
Bercerita tentang kehidupan para bajak laut, one piece diakui memiliki banyak pesan moral (moral message) yang tersirat disetiap episodenya. Masing-masing karakter memiliki keunikan tersendiri. Luffy selaku tokoh utama berambisi untuk menjadi Raja Bajak Laut. Roronoa Zoro berkeinginan kuat untuk menjadi Ahli Pedang Terkuat di Dunia. Sanji selaku juru masak kapal going merry, memiliki impian untuk mencari all blue (lautan legendaris), sedangkan Nami, tak bisa melupakan keinginan masa kecilnya, menjadi navigator terhebat dan membuat peta dunia. Begitupun dengan Chopper dan Ussop. Semua karakter Bajak Laut yang dipimpin kapten Luffy ini, merupakan orang-orang yang penuh dengan mimpi dan keinginan membuncah didalam hati.
Kepemimpinan ideal?
Melalui one piece secara sadar kita akan memasuki alam dimana kepemimpinan Ideal ditunjukkan oleh karakter Luffy. Sifatnya yang nyeleneh dan apa adanya menjadi ciri dari kepemimpinan yang harusnya mewujud pada kondisi kontemporer. Luffy tidak pernah meletakkan dirinya sebagai sosok yang harus dihormati dan serba benar. Bahkan Kapten Luffy dapat dikatakan sebagai antitesa dari kepemimpinan konvensional. Dimana pemimpin selalu dihormati dan pengikut harus tunduk serta patuh pada perintah pemimpin.
Meskipun dalam alam demokrasi, kekuasaan pemimpin tidak lagi benar-benar mutlak dan absolut. Namun, kultur feodal masihlah dapat ditemui. Tak jarang pemimpin politik dan Negara, bahkan dalam ranah paling kecil, kabupaten atau kota, menunjukkan gelagat sebagai orang terhormat dan terpandang. Enggan membaur dengan rakyat kecil, dengan menampakkan perawakan angkuh ketika rakyat meminta bantuan. Pemimpin demikian juga berjarak dengan rakyat, mereka hidup dalam alam yang dikonstruksikan seolah menempatkan pemimpin sebagai superior dan rakyat yang terkesan inferior. Bagaimana tidak, corak demokrasi Indonesia masih bersifat formal-prosedural, belum menyentuh nilai dasarnya (democratic values). Sehingga, Demokrasi masih dipandang sebagai proses formalitas dan instrumen politik kekuasaan. Maka tak heran, bila pemimpin yang dihasilkan dari Feodalisme Demokrasi didominasi oleh orientasi untuk menggapai, mempertahankan, dan merebut jabatan publik. Ya.. hanya sebatas itu.
Inilah yang kemudian dapat diambil dari sosok seorang Luffy. Kapten Bajak Laut yang memiliki keinginan untuk menjadi Raja Bajak Laut. Berbeda dari kapten bajak laut yang lain, Luffy malah kerap dianggap bodoh dan tukang buat onar, meskipun begitu Luffy adalah sosok yang kuat dengan prinsip, siap berkorban untuk teman, walaupun harus mengorbankan jiwa dan raganya. Karakter tersebut yang seringkali tidak dilihat oleh orang-orang yang baru pertama kali bertemu dengan Luffy. Karakter kepemimpinan Luffy yang anti mainstream dapat dikatakan karakter kepemimpinan post-modern. Dimana ia mendobrak pakem-pakem yang melekat kuat pada sosok pemimpin dengan mencitrakan diri sebaliknya. Meskipun dengan sikap Luffy yang nyeleneh, anggotanya tetap menghormati Luffy sebagai seorang Pemimpin.
Pembagian kerja
Disamping itu, kemampuan Luffy dalam mengelola kapabilitas individu dari anggota-anggotanya mesti menjadi pelajaran bagi Pemimpin untuk menempatkan seseorang pada suatu pos jabatan. Eiichiro Oda selaku Animator one piece entah pernah membaca mengenai teori pembagian kerja (division of labour) atau tidak. Yang jelas, kentara sekali pembagian tugas dan peran yang diperlihatkan. Sanji sebagai juru masak kapal, Nami seorang Navigator, Zoro ahli pedang, Choper seorang dokter, begitupun dengan Ussop, seperti dijelaskan diawal.
Luffy menempatkan mereka sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Ketepatan dalam pembagian peran dan tugas inilah yang menjadi dasar munculnya solidaritas mekanik diantara mereka, meminjam istilah Emil Durkheim. Pelayaran mereka adalah pelayaran antara seorang sahabat, keluarga dan teman.
Dilain sisi, tak dapat dilupakan, bagaimana masing-masing karakter mempunyai impian individu yang mesti diwujudkan. Meskipun berbeda tujuan dan impian, kapal going merry yang mereka tumpangi, selalu menyediakan ruang untuk mendukung satu sama lain. Ada satu petikan kutipan yang bisa menjadi pelajaran bagi semua, “siapa pun yang memiliki impian, kita mesti dukung sepenuh hati,” tutur Kapten Luffy. Mereka tidak pernah saling menjatuhkan satu sama lain, yang ada dalam pikiran mereka, bagaimana kawannya mampu mewujudkan impian.
Oleh karenanya, one piece bukan sekadar hanya tontonan pengisi kejumudan waktu luang. Banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat dipetik, khususnya tentang Kepemimpinan yang Ideal. Sikap demikian dapatlah dimulai dari ranah yang paling kecil, ketika anda diberikan amanah untuk memimpin suatu organisasi, komunitas ataupun perkumpulan. Tetaplah berlaku apa adanya, open minded, serta memiliki empati yang kuat terhadap rakyat. Memang benar, relatif susah untuk menerapkan ciri kepemimpinan Luffy didalam satu sistem Negara. Namun, satu hal yang dapat dipelajari dari sikap Luffy, ia adalah seorang pemimpin dengan prinsip dan impian didada, serta ia sendiri tahu bagaimana cara mewujudkannya.
***
Penulis Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas/Pegiat Literasi di Ikatan Mahasiswa Kerinci Universitas Andalas (IMK-Unand).