Oleh: J Anto.
AJI ‘Chen’ Bromokusumo, dengan nama pena Joseph Chen (JC) terlahir di tengah keluarga Peranakan Tionghoa di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah penulis buku Tionghoa Peranakan dalam Kuliner Nusantara.
Punya hobi menulis, memasak, serta fotografi, sejak 2007 tulisan-tulisannya rutin tayang di beberapa media citizen journalism, dan blog keroyokan – BALTYRA.com. Ia juga berkecimpung dalam organisasi nirlaba dan nonpolitik, Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina). Berikut petikan wawancara Analisa dengan Aji Chen.
Analisa: Masyarakat Tionghoa memiliki ragam kuliner, masing-masing memiliki cerita atau legendanya. Seperti apa cerita di balik terciptanya bakcang ini sehingga oleh sebagian warga Tionghoa Indonesia dirayakan tiap tanggal 5 bulan 5 tahun Lunar atau 30 Mei menurut kalendar masehi?
Aji: Sebenarnya tidak selalu 30 Mei, tahun ini kebetulan tanggal 5 bulan 5 Lunar bertepatan 30 Mei 2017. Bakcang tidak terpisah dengan Qu Yuan (339 SM – 277 SM), seorang menteri Raja Huai dari Negara Chu di masa negara berperang (Zhan Guo Shi Dai 475 SM – 221 SM).
Ia seorang pejabat berbakat dan setia pada negaranya, banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu, bersatu dengan negara Qi untuk memerangi negara Qin. Namun sayang, ia dikritik oleh keluarga raja yang tidak senang kepadanya, hingga berakhir pada pengusirannya dari ibukota negara Chu. Ia yang sedih karena kecemasannya akan masa depan negara Chu, kemudian bunuh diri dengan melompat ke sungai Yu Luo.
Ini tercatat dalam buku sejarah Shi Ji, ditulis sejarahwan Sima Qian. Lalu menurut legenda, ia melompat ke sungai pada tanggal 5 bulan 5. Rakyat yang merasa sedih kemudian mencari-cari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai itu tidak mengganggu jenazah sang menteri. Kemudian untuk menghindarkan makanan itu dari naga di sungai, maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai bakcang sekarang.
Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga setiap tahunnya.
Analisa: Saat Hari Raya Bakcang, ada tradisi menaruh satu baskom air di atap rumah agar terkena sinar matahari. Air itu akan disimpan dalam botol dan bisa digunakan selama setahun tanpa berjamur dan diyakini punya khasiat tertentu untuk kesehatan. Bagaimana Anda membaca tradisi seperti ini?
Aji: Terus terang saya belum pernah mendengar tradisi seperti itu. Mungkin lebih kepada kepercayaan saja. Yang saya tahu adalah telur yang berdiri tepat tengah hari di Hari Raya Bakcang ini. Di Hari Raya Pe Cun atau Duan Wu Jie atau Bakcang ini, biasa identik dengan hari telur berdiri. Bertahun-tahun yang lalu, saya sendiri pernah mencoba memberdirikan telur dan berhasil. Telur tersebut tahan sampai 3 minggu lamanya dan jatuh karena tersenggol. Hebatnya, waktu dipecahkan di mangkuk, telur tersebut tidak busuk.
Anehnya kalau kepercayaan China mengatakan hari telur berdiri adalah hari Duan Wu Jie pada bulan ke-5 tanggal 5 kalender Lunar, bertepatan sekitar Juni di kalender Gregorian, maka di negara barat kepercayaan hari telur berdiri adalah pada vernal equinox, yaitu posisi matahari tepat di atas katulistiwa yang selalu jatuh sekitar 20 – 23 Maret tiap tahun.
Analisa: Apa hikmah atau makna yang bisa kita petik dari perayaan Sembahyang Bakcang yang biasanya juga disertai pesta lomba perahu naga?
Aji: Pesta perahu naga di Indonesia lebih dikenal dengan nama pe cun atau peh cun yang berasal dari dialek Hokkian, yang berasal dari kata pa long chuan yang berarti mendayung/mengemudikan perahu naga. Akhirnya pa long chuan disingkat menjadi pa chuan dan dialek Hokkian berbunyi pe cun. Lomba perahu naga secara universal dapat dimaknai sebagai semangat tim, semangat kebersamaan.
Dalam konteks negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, saya memaknainya sebagai momentum yang sangat tepat meneladani Qu Yuan atau dalam dialek Hokkian Kut Goan. Qu Yuan adalah contoh pejabat jujur, bersih, tidak korup, namun karena melawan arus utama yang sebaliknya: korup, korupsi, kolusi, dan makan uang rakyat.
Keteladanan nyata ditunjukkan beberapa pejabat saat ini, seperti misalnya Menteri Susi, Menteri Ignatius Jonan, dan beberapa pemimpin daerah lainnya. Namun kemunculan mereka mendapatkan perlawanan luar biasa. Lomba perahu naga dalam konteks kekinian berbangsa dan bernegara adalah proses pencarian rakyat untuk mencari lebih banyak lagi pemimpin yang bersih di Indonesia.
Perahu naga juga bisa dimaknai sebagai Bhinneka Tunggal Ika, kebinekaan, keberagaman Indonesia, karena pendayung perahu naga tidak mungkin terdiri dari suku yang sama, agama yang sama, dan etnis yang sama. Kemampuan fisiknya pun berbeda-beda, namun disatukan dalam satu iringan tabuhan tambur, satu irama yang membuat para pendayung seiring dan seirama memenangkan lomba. Para pendayung itulah kita di Indonesia, iringan tabuhan tambur itulah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 (konstitusi), penabuh tambur itulah Presiden Jokowi, untuk bersama-sama memajukan Indonesia “memenangkan lomba”.
Analisa: Bagaimana perayaan Sembahyang Bakcang dilakukan di Tiongkok dari dulu sampai sekarang?
Aji: Tradisi makan bakcang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam festival Duan Wu sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun bakcang telah populer di Tiongkok, namun belum menjadi makanan simbolik festival ini. Bentuk bakcang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bakcang tadi.
Di Taiwan, di zaman Dinasti Ming akhir, bentuk bakcang yang dibawa pendatang dari Fu Jian adalah bakcang yang bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang. Isinya juga bermacam-macam dan bukan hanya daging, ada yang isinya sayur-sayuran. Ada pula yang dibuat kecil-kecil namun tanpa isi untuk kemudian dimakan bersama serikaya. Penulisan yang tepat sebenarnya terdiri dua kata: bak cang. Namun seiring berjalannya waktu, menjadi bakcang.
Analisa: Isi bakcang kini menyesuaikan tuntutan masyarakat, misalnya kini ada bakcang vegetarian. Bagaimana Anda melihat hal ini? Jika isinya sayuran atau biji-bijian, apakah masih bisa disebut bakcang?
Aji: Dari segi bahasa jelas salah kaprah, karena bakcang ada kata ‘bak’, dan di sini juga terjadi salah kaprah karena biasanya ‘bak’ diasosiasikan atau dianggap sebagai daging babi, padahal kata ‘bak’ artinya daging. Kembali lagi ke bakcang vegetarian (tanpa isi), untuk sebutan sah-sah saja, namun lebih tepat jika hanya disebut dengan cang. Kalau tanpa isi yang cara makan dicocol dengan gula cair, serikaya atau sirup, biasa disebut dengan kicang.
Analisa: Anak-anak muda Tionghoa kini ditengarai tak lagi menggemari bakcang, mereka lebih menyukai kuliner barat, menurut Anda apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Aji: Saya rasa tidak juga. Masih banyak anak muda yang menggemari bakcang. Saya justru melihat sekarang semakin banyak anak muda yang menggemari kuliner Indonesia, kuliner peranakan Tionghoa. Kuliner peranakan Tionghoa adalah kuliner yang sudah terjadi asimilasi antara kuliner asli Tiongkok dengan kuliner asli nusantara.