Oleh: J Anto.
BAKCANG bukan sekadar kuliner biasa. Bagi masyarakat Tionghoa, bakcang juga sebuah penanda budaya. Alam pikir masyarakat Tionghoa memercayai terciptanya bakcang sebagai penghormatan terhadap Qu Yuan.
Qu Yuan, seorang negarawan sekaligus penyair klasik Tiongkok yang bunuh diri saat mengetahui negara yang dicintainya jatuh ke tangan musuh. Tak heran sekalipun telah melewati lintasan waktu ribuan tahun, perayaan makan bakcang masih rutin dilakukan warga Tiongho tiap tahun.
Jemari tangan kanan Boby Anwar (33) memilah-milah beberapa lembar daun bambu yang teronggok dalam sebuah keranjang plastik. Selembar demi selembar, Bobby melapiskan daun bambu itu ke atas telapak tangan kirinya. Setelah daun itu tersusun tiga lembar, jempol kirinya, menekuk daun bambu itu sehingga membentuk kerucut.
Setelah itu, tangan kanan bapak tiga anak itu menyendok pulut dan memasukkan ke dalam daun bambu berbentuk kerucut tersebut. Ia lalu menyendok adonan irisan daging, kuning telur asin, jamur, lakcai (sejenis biji kenari yang telah direndam), cabai rawit, lakcong (sosis kering), ebi, dan bawang merah goreng.
Tangan Bobby kembali menyendok pulut untuk melapisi bahan-bahan tadi. Tangan kanannya lalu melipat ujung daun bambu sehingga berbentuk limas. Ia lalu mengikat bakcang yang siap direbus itu dengan seutas benang.
"Dalam sehari untuk membungkus 100 buah bakcang dibutuhkan waktu antara 5 - 6 jam, itu belum termasuk merebusnya," tutur pria muda yang dalam sebulan ini mengaku bisa menjual bakcang sampai 2.000 buah. Boby adalah salah satu pengusaha kuliner yang menyediakan kuliner tradisional Tionghoa.
Dijumpai di restoran yang dikelola bersama isteri dan orangtuanya di Medan, Rabu (24/5), Boby mengaku sudah satu tahun berbisnis bakcang ‘super’. Dikatakan ‘super’ karena ukurannya lebih besar dibanding bakcang umumnya. Selain itu, isinya paling banyak komponen daging. Beras ketan atau pulut menurutnya hanya sekadar sebagai pelapis isi.
“Komponen dagingnya memang lebih tebal, karena itu yang memang disukai konsumen,” katanya. Karena bakcang super, harganya pun dibandrol tiga kali lipat dari harga biasanya. Boby baru sekitar setahun belajar membuat bakcang, ia diajari ibunya. Sedangkan resep isi dan cita rasa bakcang yang dibuatnya didapat dari resep yang diturunkan neneknya.
Menurut Boby, konsumen bakcang buatannya tak hanya berasal dari kota besar di Indonesia, tapi juga mereka yang bepergian ke Singapore, Belanda, dan Amerika Serikat. Keberadaan media jejaring sosial berbasis internet, misalnya instagram, menjadi sarana promosi bakcang-nya.
“Pesanan dari Jakarta atau kota lain, kita kirim via transportasi udara,” katanya. Sepuluh hari jelang Sembahyang Bakcang, yang tahun ini pada 30 Mei, menjadi hari tersibuk dirinya. Satu pemesan umumnya mengorder antara 20 – 25 buah. Selain digunakan untuk persembahan saat sembahyang leluhur dan untuk dimakan bersama anggota keluarga, juga dibagikan ke famili atau kenalan dekat.
Penghormatan
Bakcang memang bukan kuliner biasa. Masyarakat Tionghoa selalu mengaitkan dengan kisah Qu Yuan atau Kut Gwan (340-278 SM) dari Kerajaaan Kuno Chou Barat (Provinsi Hunan, Tiongkok sekarang).
Disebutkan, Qu Yuan, seorang menteri di Kerajaan Chou, bertentangan dengan rajanya yang lalim dalam menghadapi negara tetangga Chi’in yang lebih kuat. Saat perselisihan meningkat, Qu Yuan dijatuhi hukuman pengasingan ke suatu tempat jauh di daerah selatan dekat Sungai Milo. Nasihat dan peringatan-peringatan Qu Yuan kepada rajanya tentang berbagai muslihat negeri Chi'in untuk menyerbu Chou diabaikan. Pendapat Qu Yuan terbukti benar, pada tanggal lima bulan lima, angkatan perang Chi’in menyerbu dan menaklukkan Chou.
Keruntuhan Negara Chou membuat sedih Qu Yuan di pengasingan. Dirangkailah sebuah sajak yang isinya menangisi nasib negara yang dicintainya itu. Kemudian karena putus harapan melihat peruntungan negaranya, Qu Yuan lalu mengakhiri hidupnya dengan membuang diri ke Sungai Milo.
Penduduk setempat yang mencintai dan menghormati menteri negara itu dengan serentak melakukan segala daya upaya untuk menemukan mayat Qu Yuan. Perahu-perahu dengan hiasan menyerupai naga dengan tabuh-tabuhan genderang (untuk menakut-naluti ular sungai) dikerahkan siang malam, namun tanpa hasil.
Qu Yuan, selain negarawan besar pada zamannya, ia banyak menggubah sajak-sajak yang bernafaskan rasa kasih kepada rakyat, cinta kepada negara dan keadilan. Salah satu sajaknya yang terkenal berjudul Li Sao (terjerumus ke lembah nestapa). Sajak Li Sao terdiri 373 baris dan 2.400 lebih aksara.
Sebagai penyair, Qu Yuan menggunakan banyak metafora untuk mengungkapkan sisi buruk politik kerajaan, menyingkapkan kejahatan, kesewenangan, ketamakan, kekacauan, dan kekejaman. Ia juga menggunakan hubungan antara pria-wanita untuk menggambarkan hubungan antarseorang penguasa dan bawahan. Ia menciptakan karakter rakyat biasa yang berbudi luhur, pemberani, dan pembela kebenaran yang mencintai negara.
Untuk memeringati Qu Yuan, tiap tahun warga Tionghoa berduyun-duyun pergi ke sungai. Kebiasaan ini kemudian beralih menjadi pesta di atas air dengan menaiki perahu berbentuk naga, yang kemudian dikenal sebagai perayaan Phe Tjun. Tentu saja disertai makan bakcang.
"Saat Peh Tjun, kita dulu berwisata ke Brastagi atau Pantai Cermin sambil bawa bakcang,” tutur Kho Goan Hoc atau Joseph Siswanto (75). Ia telah 18 tahun membuat bakcang, isinya bukan daging, tapi bahan-bahan vegetarian seperti jamur, kacang kuning, dan kuning telur asin yang berasal dari ayam yang khusus diberi pakan jagung.
Menurutnya, dulu juga ada kepercayaan saat Sembahyang Bakcang adalah waktu tepat untuk menaruh air dalam baskom ke atap rumah. “Itu ada teman yang bawa air dalam baskom biar terkena sinar matahari.” Air itu akan dibiarkan terkena sinar matahari antara 2 – 3 jam. Kemudian air itu disimpan dalam botol dan dibiarkan sampai setahun tanpa perlu khawatir air akan berlendir.
"Ada kepercayaan, air itu bisa untuk mengobati orang sakit," tutur Joseph yang telah membuka restoran vegetarian di Medan sejak 1998 itu. Tradisi seperti itu menurutnya kini sudah jarang dilakukan. Mengenai bakcang vegetarian, muncul seiring tuntutan konsumen yang tak mengonsumsi daging.
Lydia (61), ibu rumah tangga yang mukim di Medan Sunggal, mengaku rutin menyambut Hari Raya Bakcang dengan membuat bakcang sendiri. Lahir sebagai anak ketujuh dari 10 bersaudara, 2 orang sudah meninggal dunia, ia biasa membuat bakcang sampai 100 buah. Kemudian sehari sebelum sembahyang leluhur dilakukan, bakcang itu dibagikan kepada keluarganya.
“Soalnya di antara kami, hanya saya yang bisa buat bakcang,” katanya saat ditemui di kantin Sekolah Sultan Iskandar Muda, Selasa (23/5). Membuat bakcang juga ada aturannya. Misalnya orang yang masih dalam keadaan berduka karena ditinggal mati suami, sampai 2 tahun belum boleh buat bakcang. Ada kepercayaan jika dilanggar, saat mengikat bakcang, maka roh yang meninggal juga jadi ikut terikat atau terhambat di alam sana.
“Sebagian orang Tionghoa masih ada yang percaya tradisi itu,” katanya. Ibu satu anak ini juga mengakui, kini tak banyak lagi perempuan sebayanya yang mau membuat bakcang. Sekarang orang umumnya mau serba praktis, tak mau repot.
Pakar kuliner Tionghoa, yang juga penulis buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara, Aji Chen Bromokusumo, mengakui proses pembuatan bakcang memang cukup rumit. Butuh tenaga dan waktu cukup panjang. Untuk merebusnya saja diperlukan waktu 5 jam.
Kini banyak orang Tionghoa lebih memilih membeli bakcang di pasar atau kedai makan. Tak heran saat keterampilan membuat bakcang tak lagi diwariskan, banyak anak muda yang hanya suka makan bakcang, tapi “buta” cara membuatnya. Terlebih lagi, keinginan untuk mencari tahu kisah di balik perayaan makan bakcang itu.
Pelatihan
Kenyataan itu cukup memprihatinkan. Daya hidup sebuah kebudayan sangat tergantung dari masyarakat yang menjadi pelaku sekaligus pencipta kebudayaan itu sendiri. Jika mereka tak lagi peduli, bisa dipastikan kebudayaan itu akan terkikis atau hanya menjadi penghuni buku sejarah.
Fenomena seperti ini, mendorong sebuah sekolah tinggi ekonomi di Medan, menggelar pelatihan membuat bakcang, Rabu (24/5) malam. Ketua panitia yang juga Ketua Unit Kemahasiswaan STIE Eka Prasetya, Bambang Sutejo, mengatakan kegiatan tersebut untuk menumbuhkan apresiasi generasi muda terhadap kuliner tradisional seperti bakcang.
Harapannya agar anak-anak muda tak sekadar jadi konsumen, tapi juga produsen bakcang. Walau hanya untuk kebutuhan sendiri atau keluarga. "Untuk kesempatan lain kita juga rencanakan membuat pelatihan kuliner etnis lain," ujar Bambang.
Kampus multietnis itu, menurutnya sangat berkepentingan melestarikan kekayaan kuliner tradisional Indonesia. Terutama dalam menghadapi serbuan kuliner luar yang makin masif.
Pelatihan itu diikuti 20 mahasiswa. Fasilitatornya didatangkan dari pembuat bakcang profesional seperti Ernawaty, Erika Gunawan, Nelly Gunawan, dan Jenifer Gunawan. Selama pelatihan, peserta berhasil membungkus 100 buah bakcang.
Buat Sendiri
Seorang mahasiswa di kampus itu, Winda, mengaku tergerak mengikuti pelatihan itu karena setiap tahun keluarganya rutin melakukan sembahyang bakcang. Saat neneknya masih hidup, untuk berbagai keperluan, mereka masih bisa menikmati bakcang buatan nenek. Tapi setelah neneknya meninggal, praktis mereka beli dari pasar.
“Kebetulan mama saya nggak bisa masak, saat diberitahu pihak kampus ada pelatihan buat bakcang, saya langsung tertarik dan ikut,” katanya. Anak pertama dari dua bersaudara itu mengaku, bakcang buatan sendiri tentu punya kelebihan.
“Papa saya misalnya nggak suka bakcang berisi lakci, khusus untuk papa, dulu nenek membuatkan bakcang tanpa lakci,” tuturnya. Lakci itu sejenis kacang kenari yang telah direbus, rasanya cukup gurih.
Winda mengakui, generasi muda seusianya tak banyak yang tertarik belajar membuat bakcang. Apalagi mencari tahu legenda atau kisah di balik terciptanya bakcang. “Saya sendiri juga nggak tahu ceritanya, tahunya itu kue tradisional orang Tionghoa saja.”
Crissa, setali tiga uang. “Cuma dulu waktu SD saya sempat pernah diberi tahu guru, tapi sudah lupa sekarang,” ujar sulung dari tiga bersaudara itu. Menurutnya, sejak neneknya meninggal, tak ada lagi dari keluarganya yang bisa membuat bakcang. Memang ada adik neneknya yang membuat bakcang, tapi yang tak berisi, namanya kicang. Untuk memakan kicang, biasanya dicelup ke gula pasir atau air gula aren yang telah direbus hingga cair.
“Kalau untuk bakcang, kita harus beli dari luar karena mama tidak bisa buat sendiri,” kata Crissa. Saat neneknya masih hidup, Crissa sebenarnya pernah membantu membuat bakcang. Sayang, Crissa hanya membantu mengaduk pulut saat digongseng. Kalau belajar membungkus pulut dengan daun bambu belum pernah dicoba.
“Ya baru kali ini belajar membungkusnya,” katanya dengan tertawa renyah. Crissa berharap, usai pelatihan, tahun depan ia sudah bisa membuat bakcang untuk kelurganya. Ia lalu menunjukkan 2 buah dari 4 bakcang yang berhasil dibuatnya selama pelatihan.
"Mau saya rebus di rumah, mudah-mudahan enak rasanya," katanya dengan diiringi tawa renyah.