Oleh: Syafitri Tambunan.
KUMANDANG azan Magrib terdengar dari sejumlah corong pengeras suara yang terpasang di menara Masjid Raya Al Mashun Medan, Jumat (26/5). Bukan sekadar penanda masuknya waktu salat, tapi juga menjadi pengobat rindu bagi umat Islam Kota Medan terhadap datangnya Ramadan 1438 H.
Lebih seabad silam, masjid yang menjadi penyebar syiar Islam di Tanah Deli itu menjadi mercusuar bagi muslim yang berdomisili di sekitarnya. Meski kini dihimpit sejumlah bangunan modern, Masjid Raya Medan itu tetap menunjukkan kegemilangannya, pun menaranya yang menjulang berhias paduan arsitektur Mesir, Iran, dan Arab.
Sejatinya, tidak semua masjid memiliki menara. Di zaman Rasullah, tidak satu pun masjid yang memiliki menara. Dulu Rasulullah memerintahkan Bilal (muazin) untuk azan dari tempat yang tinggi, dan itu bukanlah menara masjid. Seiring berkembangnya dunia arsitektur, menara telah menjadi bagian dari arsitektur sebuah bangunan masjid. Bentuknya pun bervariasi, ada yang menyatu dengan bangunan masjid utama dan ada pula yang terpisah.
Kini, menara sudah lazim ada dalam sebuah bangunan masjid. Menara di masjid biasanya tinggi, berada di bagian pojok dari kompleks masjid. Tidak sebatas sebagai tempat meletakkan pengeras suara dan memperdengarkan kumandang azan, fungsi menara ini di banyak tempat juga berfungsi sebagai menara pandang, khususnya pada masjid-masjid yang dibangun di kota-kota pelabuhan atau tepi sungai.
Masjid Ribbat Shushah di Tunisia adalah salah satu masjid yang menaranya berfungsi ganda. Di Indonesia, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) di Kota Semarang bahkan tingginya mencapai 99 meter ini sesuai dengan 99 asmaul husna yang dilengkapi teropong bintang. Dari menara itu, bisa terlihat hamparan ibu kota provinsi tersebut dengan latar kebiruan Laut Jawa.
Arsitektur menara tak kalah menarik terdapat pada Masjid Sultan Ahmed yang dikenal sebagai Blue Mosque (Masjid Biru) di Turki. Selain nuansa biru yang menempel pada dinding masjid, keunikannya juga terletak pada banyaknya menara di masjid yang selesai dibangun 1616 pada masa pemerintahan Ahmed I.
Arsitek Peranita Sagala, ST, MMPP, IAI. Meyebut, kehadiran menara juga menjadi salah satu bagian penting pada sebuah masjid. Selain fungsional, kehadiran menara masjid juga menjadi karalteristik dan menarik perhatian masyarakat.
Dalam beberapa dekade, sebutnya, miniatur menara Masjid Nabawi bahkan menjadi cenderamata khas yang penting bagi umat Islam usai melaksanakan ibadah haji atau umrah. Meskipun kini bangunan menara tersebut sudah megalami beberapa perubahan.
Dikatakan, hingga kini tidak ada batasan jumlah, pewarnaan, serta desain menara sebagai penyempurna arsitektur bangunan masjid. “Bahkan ada masjid yang tanpa menara. Ada yang hanya menggunakan satu atau dua menara saja. Namun, di beberapa tempat, justru ada yang memiliki banyak menara.”
Konsep desain menara, sama seperti arsitektural masjid yang umumnya tidak terbatas pada satu bentuk. Seperti Masjid Al-Irsyad Bandung yang bentuknya mirip Kakbah, berpola persegi dengan minim menara.
Di beberapa daerah, terdapat sejumlah menara masjid yang memiliki desain arsitektur tersendiri. Salah satunya, empat menara yang ada di Masjid Agung Babussalam di Sabang, Aceh. Masjid dan keempat menaranya sama-sama berdesain khas, setiap sudutnya dibalut sentuhan gaya Turki. Secara keseluruhan, fasad bangunannya yang tinggi-besar disempurnakan dengan bangunan menara yang juga kekar di keempat penjurunya.
Lalu, Masjid Azizi salah satu masjid bersejarah di Langkat, Sumatera Utara itu, memiliki menara tunggal di sisi kiri depan. Sama dengan menara Masjid Baiturrahim di Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh yang berada di ‘Zero Point Tsunami Banda Aceh’. Pembangunan satu menara tambahan dilakukan pascaperistiwa Tsunami 2004.
Di Masjid Azizi Langkat, menara setinggi 60 meter yang terpisah dari bangunan induk masjid tersebut, pada bagian bawahnya memiliki sebuah pintu utama, di lantai kedua dihiasi jendela lengkung pada setiap sisinya dan beberapa jendela melingkari dinding bersegi di lantai berikutnya. Pada puncaknya, dihiasi kubah hitam yang menulang. Meski letaknya terpisah, bentuk dan warna cat tetap disesuaikan dengan bangunan inti masjid.
Hal sama pada menara Masjid Raya Al Mashun Medan. Pada lantai dasar menara dibentuk persegi empat dengan dua jendela melengkung pada setiap sisinya dan berhias relief yang menutup setengah di bagian atasnya. Di lantai berikutnya, segi empat itu mengecil dan membentuk segi enam melalui asimilasi ornament khas. Tidak hanya itu, sejumlah relief juga menggantung menghiasi pinggang yang di atasnya dihiasi jendela tak berdaun, bahkan setiap sudut dan di atas jendelanya juga masih disempurnakan dengan sejumlah relief lainnya.
Sebelum sampai pada lantai teratas, masih ada dua lantai lainnya yang didesain berbeda dengan balkon yang bisa digunakan untuk melihat dari atas ke sekeliling. Sebanyak 12 corong pengeras suara pun diletakkan presisi dua buah di setiap sudutnya.