Pendidikan Agama dan Pendidikan Kebangsaan

Oleh: Al-Mahfud

PADA 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Salah satu te­ma pendidikan relevan untuk di­ku­pas saat ini adalah soal pendidikan aga­ma dan pendidikan kebangsaan. Mun­culnya kelompok radikal dengan simbol-simbol Islam yang terus me­na­rasikan isu-isu berdirinya negara Islam atau khilafah, patut menjadi perhatian serius di dunia pendidikan. Arti­nya, pendidikan, terutama pendi­di­­kan agama di Indonesia diharap­kap­kan bisa turut memperkuat nilai-nilai kebangsaan agar anak didik me­miliki kecintaan dan kesadaran bahwa Pan­casila adalah dasar negara paling ideal untuk negara majemuk seperti In­donesia.

Pada dasarnya, Pancasila tidak ber­tentangan dengan nilai Islam. Bahkan, ni­lai-nilai yang terkan­dung dalam Pan­casila merupakan bagian dari aja­ran Islam. Maka, ketika kita sudah me­­nyadari hal tersebut, yang menjadi tugas kita bersama sekarang adalah ten­­­tang bagaimana menanamkan nilai-nilai Pancasila itu agar bisa tum­buh dan bersemi, sehingga bisa mem­ba­wa kita ke dalam kehidupan ber­bang­­sa dan bernegara yang dicita-ci­ta­­­kan bersama;  aman, adil, dan mak­mur.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus tertanam dalam jiwa setiap warga negara dan terejawantah lewat tinda­kannya dalam kehidupan berbang­sa dan bernegara. Inilah yang kadang dipermasalahkan sebagian umat Islam di Indonesia. Bahwa me­nga­malkan sesuatu selain ajaran Islam merupakan hal yang tidak benar.

Pada dasarnya, ketika kita meng­amal­kan nilai-nilai Pancasila maka bukan ber­arti kita tidak me­ngamalkan ajaran aga­ma. Sebab, Pancasila berisi pedoman hi­dup berbangsa yang juga men­jadi aja­ran agama-agama yang ada di Tanah Air.

Dalam Islam, misalnya, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, gotong-royong, dan musya­wa­rah-mufakat juga diajarkan. Arti­nya, apa yang kita cita-citakan dalam Pan­­casila, pada dasarnya selaras de­ngan spirit ajaran Islam. Sebagai­mana diungkapkan aktivis Pancasila, Yudi Latif dalam pidatonya saat so­sialisasi Empat Pilar MPR RI pada Sep­tember 2016, bahwa Pancasila ada­lah spirit umat Islam dan umat ber­agama lain­nya, di mana ia bermula dari Ketuha­nan hingga diakhiri de­ngan keadilan so­sial (Fadhly Azhar: 2016).

Agar bisa tertanam dan menjadi spi­rit yang dijiwai setiap warga ne­gara, nilai-nilai Pancasila mesti di­pe­lajari dan diajarkan sejak dini. Semua pi­hak, baik orang tua, masyarakat, dan dalam konteks yang lebih luas; negara, memiliki tanggungjawab me­wujudkan kehi­dupan yang sesuai de­ngan prinsip-prinsip dari dasar negara tersebut.

Di tingkat paling mendasar, di ling­kungan keluarga, orang tua bertugas meletakkan dasar nilai-nilai ketuha­nan, menjunjung tinggi ke­ma­nusiaan, keadi­lan, gotong royong, mu­syawarah dan keada­ban. Konkretnya, me­na­nam­kan pada anak kepercayaan aga­ma se­suai keyakinan masing-ma­sing, se­ka­li­gus menghormati ke­ya­kinan orang lain, keberadaban; sopan santun, peng­hor­matan tinggi pada ke­ma­nusiaan, mem­bu­da­yakan dialog atau musya­wa­rah, dan menjunjung tinggi keadilan. Semua mesti dire­flek­sikan dalam pe­ngasuhan orang tua terhadap anaknya.

Jika dalam keluarga, anak terbiasa men­dapatkan penanaman nilai-nilai ter­sebut dalam kese­harian, ia akan tumbuh dan ber­kembang menjadi so­sok manusia Indonesia yang dicita-ci­takan; seseorang yang beriman, berke­pribadian luhur, berke­bijak­sa­naan, ramah, serta sadar pentingnya per­satuan lewat penghormatan, tole­ran­si, dan kasih sayang terha­dap se­sama.

Pendidikan Agama

Hal yang tak kalah penting terkait pe­­­nanaman nilai-nilai kebangsaan ada­lah kaitannya dengan pendidikan aga­ma. Sebab, sebagaimana tersirat dari sila pertama Pancasila, bangsa ini adalah bangsa yang bertuhan, atau de­ngan kata lain; beragama. Masyara­kat Indonesia adalah masyarakat religius yang meme­gang teguh ajaran ke­perca­yaan­nya. Maka, dalam kon­teks penana­man nilai kebang­saan, pen­didikan agama memi­li­ki andil yang sangat besar.

Pendidikan agama harus memiliki misi kebangsaan. Dalam arti, pendidi­kan agama di Indonesia harus bisa tu­­rut ber­kontribusi menguatkan rasa ke­bang­saan pada anak didik. Jangan sam­pai pendi­dikan agama malah me­le­mahkan kecintaan anak didik ter­ha­dap bangsa­nya dan Pancasila sebagai da­sar negara­nya. Dalam pendi­dikan Islam misalnya, guru PAI perlu me­nyam­­paikan nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan secara seimbang pada anak didik.

Selain mendidik dan menyam­pai­kan ajaran Islam, guru agama di saat ber­samaan juga diharapkan bisa me­mupuk rasa kebangsaan anak didik.

Masalahnya, masih ada guru agama yang belum menyadari hal tersebut. Se­buah penelitian yang dilakukan Pu­sat Pengkajian Islam dan Masya­ra­kat (PPIM) tentang persepsi guru agama me­ngenai toleransi dan isu-isu kehi­du­pan keagamaan menyebutkan, ma­sih banyak guru agama yang belum me­mahami kedudukan dan pen­ting­nya nilai-nilai kebangsaan.

Hasil penelitian juga menye­butkan, para guru agama meman­dang bahwa da­sar negara yang pas untuk Indonesia adalah Pan­casila, namun mayoritas guru memiliki aspirasi kuat bahwa In­donesia seharusnya menerapkan hu­kum Islam (Antaranews, 19/12/2016).

Meskipun penelitian tersebut tak bisa menggambarkan kondisi secara umum, namun setidaknya kita melihat gambaran kesadaran akan posisi penting nilai-nilai kebangsaan belum sepenuhnya dimiliki para guru agama. Padahal, agama menjadi salah satu hal paling rentan mengancam ikatan kebangsaan kita jika tak dipahami secara tepat dan benar. Misalnya, sikap beragama eksklusif dan cende­rung memunculkan tindakan intoleran pada umat beragama lain, sehingga meman­tik keresahan bagi saudara sebangsa.

Ini tentu bukan sikap beragama yang dibutuhkan dalam konteks ma­syarakat majemuk di Indonesia. Maka, di sinilah letak penting­nya seorang guru agama yang memiliki kesadaran ke­­bangsaan, agar bisa memberi pe­ma­­haman agama yang toleran, damai, dan ramah. Bahwa antara pe­nga­­ma­lan ajaran agama dan penga­ma­lan ni­lai-nilai kebangsaan mesti ber­jalan selaras dan saling menguat­kan.

***

Penulis  bergiat di Paradigma Institute (Parist) Kudus.

()

Baca Juga

Rekomendasi