Juara, Karena Pintar atau Rajin

Oleh: Rosni Lim. MORI dan Jordy adalah siswa kelas VII sebuah sekolah swasta. Keduanya menjadi teman sekelas sejak kelas TK A, berarti mereka telah bersama selama 9 tahun. Hampir tiap tahun, Mori menjadi juara kelas, sedangkan Jordy sejak kelas IV tak pernah lagi meraih juara, padahal 5 tahun ber­turut-turut Jordy jadi juara kelas, walaupun bukan juara 1, melainkan 2 atau 3.

Karena prestasi belajarnya di sekolah menurun, Jordy sering berkata kepada mamanya, “Ma, pintar sekali Mori ya? Selalu meraih juara 1 tiap tahun.”

Mama Jordy lalu berpikir hal yang menyebabkan Jordy tak dapat lagi meraih juara 2 atau 3, sedangkan Mori tetap mampu mempertahankan pres­tasinya. Selidik punya selidik, ternyata Mori sepulang sekolah, makan, tak lama kemudian berangkat les semua mata pelajaran sekolah. Sepulang dari les, sorenya Mori les bahasa Inggris dan bahasa Mandarin lagi di tempat kursus. Malamnya, Mori masih harus mengulang semua mata pelajaran yang diajarkan hari itu. Wow! Sungguh luar biasa! Hampir sepanjang hari waktu dipergunakan Mori untuk belajar.

Sedangkan Jordy? Sewaktu kelas TK A hingga kelas III, memang Jordy belajar juga jauh-jauh hari sebelum ujian. Misalnya pekan depan ujian bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Mandarin, mate­matika, dan IPA, pekan ini Jordy sudah menyicil belajar satu per satu. Setelah satu mata pelajaran berhasil dikuasai, dia melan­jutkan belajar mata pelajaran lainnya yang akan diujikan, demikian sete­rusnya. Jordy memang tidak les apa-apa, tapi karena dia belajar jauh-jauh hari sebelum ujian, dia berhasil meraih juara 2 atau 3 sampai kelas III.

Sejak kelas IV, Jordy mulai malas belajar dan jenuh. Dia menganggap remeh mata pelajaran yang akan diujikan pekan depan dan suka menun­da-nunda hingga tiba saat ujian, jika besok ujian matematika, hari ini baru belajar. Hasilnya Jordy mendapat nilai 30. Untuk mata pelajaran lain juga begitu, nilainya bukan lagi 100 atau minimal 90, melainkan 85, 75, 65, bahkan 60.

Jordy yang sudah kecanduan game, lebih suka bermain game dan me­nonton televisi. Karena sudah ke­canduan dan menjadi kebiasaannya setiap hari, susah lagi dilepaskan. Jordy cepat-cepat belajar bila besok ada ujian karena takut mendapat nilai merah. Bila lulus dengan nilai 75 atau 85, puaslah dia.

Dari cerita fiktif di atas, kalau kita bandingkan antara Mori dan Jordy, Mori cewek sedangkan Jordy cowok. Mori dan Jordy berumur sama, makan nasi tiga kali sehari, diajar guru yang sama dan bersekolah di sekolah yang sama juga. Tapi kenapa Mori bisa melebihi Jordy dalam prestasi belajar? Tak salah lagi karena Mori lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar.

Kedua, karena selain diajar oleh guru di sekolah, Mori juga diajar guru khusus/privat, ditambah les lain-lain yang bisa menambah pengetahuannya. Otaknya setiap hari dilatih untuk belajar, mengingat, menghafal, meng­hitung, dan lain-lain, sehingga semakin tajam karena diasah terus. Sedangkan Jordy, bagaikan sebilah pisau yang diasah seperlunya bila hendak di­gunakan hingga tak mampu lagi mengejar kemajuan dibandingkan Mori.

Ketiga, Mori memang memiliki keinginan dan hobi untuk belajar dengan atau tanpa dipaksa, sedangkan Jordy lebih suka game dan menonton televisi. Jordy telah dipengaruhi kemajuan teknologi ditambah ku­rangnya pengawasan yang ketat dari orangtua untuk memaksanya belajar, sehingga dia cuma mampu meraih prestasi cukup.

Bila Jordy mau belajar setiap hari seperti Mori, menghabiskan waktunya lebih banyak untuk belajar daripada game atau menonton televisi, mem­persiapkan diri jauh-jauh hari sebelum ujian, bukan tak mungkin suatu hari Jordy akan mampu mengejar ke­majuan dan menyamai Mori. Buktinya sudah ada, dulu Jordy hanya terpaut 1 atau 2 peringkat di belakang Mori, jadi kelak dia pun bisa seperti itu asalkan mau berusaha. Membekali diri dengan belajar setiap hari akan mampu menambah rasa percaya diri, juga hingga bisa menyelesaikan soal ujian dengan baik.

Sekadar berbagi cerita, dulu waktu sekolah agar bisa mempertahankan prestasi belajar, penulis setiap hari belajar dan mengerjakan PR. Begitu diberi tahu guru pekan depan ujian mata pelajaran tertentu, penulis langsung mencuri waktu untuk me­nyicil belajar. Selain mempelajari/menghafal buku catatan, buku cetak juga.

Waktu belajar di rumah itu, penulis merasa tak begitu kesulitan (padahal setiap kali mata pelajaran yang di­ajarkan selalu sulit), karena sewaktu di kelas, penulis selalu mendengarkan dengan tertib semua penjelasan guru. Jadi yang diterangkan guru ber­dasarkan buku cetak sudah masuk di kepala, cuma perlu untuk meng­ulanginya lagi  di rumah, ditambah dengan menghafal. PR yang diberikan juga selalu dikerjakan tiap hari untuk melatih diri semakin lancar.

Teman-teman sekelas penulis rata-rata berotak encer, tapi penulis mampu menyamai mereka bahkan mendapat nilai bagus waktu ujian, bukan karena pintar, melainkan karena belajar dengan ulet. Jadi sebenarnya, nilai bagus seorang anak di sekolah yang selalu membuatnya meraih juara 1 itu bukan karena dia makhluk super yang jauh lebih pintar dari yang lain, melainkan karena dia lebih berusaha, lebih banyak belajar, dan lebih se­galanya dalam hal melatih/menempa diri.

Kata-kata motivasi dari penulis, “Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanyalah anak yang malas. Seorang anak menjadi juara bukan karena dia lebih pintar dibandingkan anak-anak lain, melainkan karena dia lebih berusaha atau lebih rajin di­bandingkan anak-anak lain.”

Nah, tunggu apa lagi? Ayo, belajar sekarang juga!

* Medan, 08.01.15

()

Baca Juga

Rekomendasi