Ekspresionis Abstrak

Oleh: MH Heikal. Begitulah kata Wil­lem de Kooning, pelukis eks­presionis abs­trak. Kooning men­jadi nama besar dengan ka­rya luar biasa yang dibuat­nya. Lukisannya menjadi ko­leksi penting dan terjual de­ngan harga fantastis.

Lahir di Rotterdam, 24 Ap­ril 1904. Sejak kecil telah ber­latih un­tuk menjadi seorang se­niman. Ber­umur 12 tahun, dia belajar di Rot­terdam Aca­demie voor Bel­den­de Kunsten en Technische We­ten­schap­­pen. Dia sempat me­netap di Brussel selama 2 tahun sejak 1924. Di sana dia belajar di Académie royale des Beaux-Arts di Brussels. Juga berlatih di Sekolah Desain Schelling van di Antwerp.

Tahun 1926, dia hijrah ke New York, Amerika Serikat. Disana dia bertemu seniman yang beker­ja untuk Proyek Seni Federal. Bersama John Graham, Stuart Davis dan Arshile Gorky, dia mengerja­kan mural.

Kooning dikenal sebagai eks­po­nen gerakan ekspresion­is­me abs­trak Amerika. Bersa­ma nama besar lainnya seperti Jackson Pollock, Barnet New­man, Mark Rothko. Gerakan eks­presionisme abs­trak Ame­rika ini berhasil mengalihkan pu­sat seni dunia barat dari Pa­ris ke New York pasca Perang Dunia II.

Lukisan awalnya terpenga­ruh gaya surealis Gorky serta lu­kisan Pi­casso. Lama-kela­maan sejak Koo­ning dekat de­ngan Jackson Pollock dan Franz Kline, dia mulai meng­gandrungi action painters. Seperti kaidah lukis yang di­lakukan oleh Jackson Pollock.

Action painters adalah sa­lah satu cara melukis. Pelukis meng­andal­kan aksi atau gerak tubuh dalam pro­ses penciptaan lukisan­nya. Pelu­kis secara tak sadar meng­­gerakkan tangan­nya sesuai nalurinya.

Lukisan ekspresionisme abs­trak tidak memiliki objek lu­ki­san. Dengan pengartian ti­dak ada objek nyata yang dilu­kisnya. Lu­kisan abstrak ini la­hir begitu saja, mengikuti nalu­ri pelukis. Tangan pelukis eks­presionisme abstrak ber­gerak se­bebasnya, seperti has­rat yang diinginkan naluri pe­lukis itu sendiri.

Pelukis ekspresionisme ab­s­trak adalah arena yang mela­hir­kan fenomena. Pelukis eks­pre­sionisme abstrak tidak me­ngenal gerakan halus. Dalam melukis, Willem de Kooning se­lalu meng­an­dalkan sapuan kuas lebar untuk men­ciptakan ritma abs­trak. Me­nim­­­bulkan ke­san ruang tanpa batas.

Di tahun 1950, Kooning mu­lai mengembangkan lukis­an Woman pertamanya. Dia me­ngakui butuh waktu lama me­nger­jakannya. Membuat­nya per­lu banyak studi penda­huluan dan mengecat ulang pe­kerjaan itu ber­ulang-ulang. Karya berjudul Woman ini dia buat dalam enam seri lukisan. Keenam lukisan me­miliki objek fokus yang sama, yaitu wanita.

Woman III adalah satu dari enam lukisan karya de Koo­ning yang dilakukan antara ta­hun 1951-53. Tema utamanya adalah se­orang wanita. Selama 24 ta­hun, lu­kisan ini menjadi bagian dari ko­leksi Museum Seni Kon­tem­porer di Teheran. Pada tahun 2006, Woman III terjual dengan harga yang sa­ngat fantastis. Senilai US$ 137.500.000 (sekitar Rp 1,8 tri­liun). Angka ini mem­buat­­nya men­jadi lukisan terma­hal ke­em­pat yang pernah dijual di dunia.

Karya terhebat Kooning pa­da 1950 ialah Excavation. Struktur garis-garis yang terli­hat dalam karya ini memben­tuk anatomi. Seperti bentuk bu­rung dan ikan, hi­dung ma­nusia, mata, gigi, leher dan ra­hang. Ini mengungkapkan ketegangan antara abstraksi dan figurasi yang melekat.

Sedangkan, lukisan A Tree in Naples (1960) termasuk da­lam kelompok abstraksi yang terins­pirasi oleh landskap. Didalam­nya Kooning menye­der­hanakan ko­sakata visual­nya menjadi be­be­rapa sapuan kuas yang kuat. Se­cara ekspre­sif yang mem­bang­kitkan pe­mandangan warna alam yang ditemukan. Saya benar-benar merasa sangat gembira de­ngan melihat lagi. Langit ber­war­na biru, dan rumputnya berwarna hijau, ujarnya.

Dalam The Police Gazette (1955), lanskap yang dilukis di atas kanvas dengan meng­gu­na­kan elemen abstrak. War­na per­mai­nan­nya adalah ku­ning, hijau dan merah. Ini ada­lah lukisan dengan bentuk geo­metris seder­hana. Mencipta­kan kontras yang sem­purna an­tara unsur formal yang mem­bentuk karya seni.

Willem de Kooning, mah­syur se­bagai eksponen ekspre­sionis abs­trak. Dia meninggal di New York, AS pada 19 Ma­ret 1997 da­lam usia 92 tahun. Hampir se­lu­ruh usianya dia kon­tribusi­kan un­tuk melukis. Sesuai de­ngan ka­limat bijak­nya, “I don’t paint to live, I live to paint.”

()

Baca Juga

Rekomendasi