Merekonstruksi Warisan Peradaban Kebun

Oleh: J Anto

KAPITALISME perkebunan yang berkembang sejak abad 18, tak hanya memerkaya pluralitas masyarakat di Tanah Deli atau Sumatera Oostkust, tapi juga berjasa mengenalkan budaya perkebunan modern, moda transportasi darat kereta api dan meninggalkan sejumlah jejak arsitektur Eropa. Sebuah penanda sekaligus usaha untuk mengingat dan mengawetkan memori kolektif masyarakat akan sumbangsih kapitalisme perkebunan hadir lewat keberadaan Museum Perkebunan Indonesia (Musperin).

Pesawat capung bercat dasar putih dengan arsiran garis hijau pada kanan-kiri badan pesawat, serta pada bagian sayap terletak di depan sebuah bangunan putih bergaya arsitektur Eropa. Pada bagian ekornya, ada gambar selembar daun temba­kau hijau dengan tulisan di bawahnya, Deli Tobaco. Pesawat capung itu disebut Piper Pawnee, satu jenis pesawat yang biasa digunakan untuk menyemprot areal perta­nian.

Tak jauh dari pesawat itu, persisnya di sebelah gedung tersebut, terdapat sebuah kepala lokomotif uap bermerek Ducro and Brauns buatan Belanda (1940), panjangnya 6,6 meter. Di sampingnya ada montik atau kepala kereta buatan Scoma di Jerman. Keduanya berfungsi untuk mengangkut kelapa sawit yang dipetik dari kebun.

Tak salah lagi, pesawat capung, loko­motif, dan montik, ketiganya adalah penan­da kehadiran sebuah peradaban masyarakat perkebunan. Ketiga artefak itu adalah bagian integral dari Museum Perkebunan Indonesia di Jalan Brigjen Katamso, Medan. Museum yang diresmikan pada 10 Desember 2016 itu, tengah berjuang untuk membangun sekaligus merawat ingatan kolektif masya­rakat terhadap sebuah narasi peradaban yang lahir dari tengah-tengah kapitalisme perke­bunan.

Saat kaki menjejak ke dalam ruangan museum di lantai pertama, beberapa artefak makin menegaskan jati diri kehadiran peradaban masyarakat kebun itu. Di sebuah ruang yang khusus menceritakan sejarah tembakau Deli misalnya, terdapat sebuah patung perempuan tua berkebaya dan bersarung tengah menyortir daun-daun tembakau. Patung peraga itu terbuat dari resin.

Di samping patung itu terdapat papan ukur untuk mengukur panjang dan lebar daun tembakau. Di sebelahnya terdapat lembaran contoh Dactyloscopjsch Bureu der AVP en AVROS atau Biro Sidik Jari dati AVP dan AVROS yang penuh cap lima jari para pekerja.

Biro sidik jari adalah sistem administrasi yang ada saat itu yang memudahkan perusahaan melakukan kontrol terhadap pekerja. Ke mana pun pekerja pindah, data mereka dapat dilacak.

Ada juga sebuah kotak kaca, yang berisi beberapa kotak cerutu yang mengklaim 100% berasal dari tembakau Sumatera.

Naik ke lantai dua, puluhan artefak perkebunan terlihat masih terserak di lantai. Ada lincak, alat angkut yang disorong atau ditarik untuk memindahkan daun-daun tembakau ke gudang pemeraman, ada anglo seng yang digunakan untuk memanasi fermentasi tembakau, ada radio yang menjadi alat hiburan pekerja dan berbagai artefak kebon lainnya.

Pluralitas Etnik

Tak dipungkiri, kapitalisme perkebunan yang diinisiasi Said Abullah, adik ipar Sultan Deli, Sultan Mahmoed Al Rasjid Perkasa Alam, telah banyak meninggalkan jejak perubahan budaya, ekonomi, dan sosiologis masyarakat di Tanah Deli dulu, yang dampaknya bisa dilihat sampai sekarang.

"Yang jelas, tenaga di perkebunan tembakau awalnya adalah orang-orang China yang didatangkan dari Tiongkok dan orang Tamil dari India, lalu menyusul Jawa," tutur Soedjai Kartasasmita (91), inisiator museum tersebut yang pada 1968 menjabat Direktur Utama PTPN VI di Pabatu. Keda­tangan para kuli China dan Tamil serta para pemodal dan pekerja Eropa dan Amerika yang menyusul kemudian, menjadikan Medan dikenal sebagai kota yang sangat plural, baik dari sisi etnik, budaya maupun agama.

Industri perkebunan, menurut Soedjai Kartasasmita juga telah berjasa mengenal­kan budaya ekonomi perkebunan modern dan berhasil membangun infrastruktur jalan, moda transportasi kereta api, serta jaringan komunikasi modern. Semua itu telah menjadikan Kota Medan sebagai kota modern pada abab 18 dan awal abad 19.

Orang yang berjasa merintis perkem­bangan industri perkebunan tembakau sejak abad 18 adalah seorang pedagang, Abdullah Said.   Ia telah melihat potensi alam Deli yang cocok untuk usaha perkebunan temba­kau. Kepada Sultan Deli, ia menyampaikan gagasan bahwa Deli punya peluang jadi daerah yang maju karena punya tanah yang subur untuk perekebunan tembakau.

"Atas seizin Sultan Deli, Said Abdullah kemudian melakukan semacam road show ke sejumlah pengusaha Belanda di Batavia, tapi di sana dia diolok-olok bahkan dianggap hanya tengah mengumbar cerita bohong," ujar pria kelahiran Cilacap, 26 November 1926 yang telah mengenyam posisi penting di berbagai perusahaan perkebunan negara dan swasta itu.

Said Abdullah lalu meneruskan perja­lanan pelayarannya ke Surabaya. Di sana ada perusahaan yang langsung percaya dengan cerita tentang kesuburan tanah Deli.

Salah satu perusahaan itu sepakat mengu­tus pegawainya, Jacobus Nienhuijs. Di antara mereka ada kesepakatan, jika sesam­pai di Deli, Said Abdullah dianggap berbo­hong, Nienhuijs akan melanjutkan perjalan­annya ke Singapura untuk mencari muatan kapal. Tapi jika sebaliknya, Nien Huijs akan tinggal di Deli untuk melakukan penelitian.

"Sesampai di Deli, Nienhuijs sampai terbelalak melihat kondisi tanah Deli yang ternyata sangat cocok untuk usaha perke­bunan tembakau," tutur Soedjai, penggemar fotografi, yang telah membukukan karya-karyanya ke sebuah buku berjudul, The World As Seen Through The Lens A Planter itu.

Sejak itulah dimulai era kapitalisme perkebunan terutama dengan didirikan Deli Maatschappij pada 1869. Berdirinya maska­pai itu menandai era popularitas tembakau Deli atau tembakau Sumatera sebagai pembungkus cerutu. Kualitas tembakau Sumatera saat itu  hanya bisa disaingi tembakau dari Havana, Kuba.

Sejak itu banyak investor dari seluruh dunia berdatangan ke Deli, termasuk dari Amerika karena sampai 1890, menurut Soedjai, tembakau Deli masih diekspor ke Amerika selain pasar lelang tembakau terbesar di dunia, Breman, Jerman.

Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua lahan di Sumatera Timur cocok untuk perkebunan tembakau. Maka sejumlah investor lalu beralih bertanam karet seperti di Asahan, Labuhan Batu, ada juga yang membuka perkebunan teh di Simalungun.

Selain berjasa dalam menghasilkan komoditi tembakau, perkebunan di Sumater Timur juga berjasa dalam mengenalkan budi daya kelapa sawit. Bahkan menjadi eksportir sawit terbesar.

"Bayangkan kelapa sawit asal mulanya saat didatangkan ke Kebun Raya Bogor tahun 1848 dari Belanda hanya 4 pohon. Kita lalu merintis menanam sawit di pinggir-pinggir jalan sebagai tanaman pelindung tembakau," katanya. Saat teknologi pengo­lahan buah sawit menjadi minyak ditemukan pada 1902, maka pada 1911, perkebunan sawit berkembang pesat di Sumatera Timur.

Setelah PD II, Indonesia (baca Sumatera Utara), menjadi pengekspor  sawit terbesar di dunia. "Kini kita punya 11,5 juta hektar kebun kelapa sawit dan Sumatera Utara berjasa mengembangkan bibit sawit," tambah Soedjai. Hal ini terjadi karena industri perkebunan yang ada ditunjang dan didukung keberadaan lembaga riset dari komoditas yang dibudidayakan.

Keberhasilan industri perkebunan telah menyumbang perekonomian Sumatera Timur, bahkan Indonesia. Namun narasi keberhasilan industri perkebunan ini, menurut bapak 4 anak yang telah mereha­bilitasi 42 pabrik gula di Jawa dan memba­ngun 9 pabrik gula baru di Jawa, Sumatera, Kalimantan Selatan, dan Sulsel itu kurang disadari masyarakat, terlebih generasi muda.

Itulah yang mendorong mendirikan Museum Perkebunan Indonesia tersebut. Lewat berbagai artefak perkebunan yang ada di museum, ia ingin generasi muda tergugah dan memberi apresiasi terhadap kontribusi perkebunan. Termasuk terhadap berbagai fasilitas publik yang lahir dari kontribusi industri perkebunan.

"Infrastruktur seperti jalan, rel kereta api juga berkembang karena jasa perkebunan. Sumatera Utara bisa berkembang seperti sekarang ini karena bermula dari perkebunan tembakau, lalu disusul karet dan teh," tambahnya.

Ia juga menyebut bahwa masyarakat, terutama yang ada di sekitar perkebunan,  ikut terangkat kesejahteraannya, semisal dengan keberadaan fasilitas rumah sakit dan sekolah.

Merangkul Komunitas

Berbagai upaya telah dilakukan Ketua Pelaksana Harian Musperin, Sri Hartini, untuk menumbuhkan dan merawat ingatan kolektif masyarakat lewat kehadiran museum.

"Kami telah membuat desain interior yang menarik, ada  story line, ada lighting atau pencahayaan agar semakin artistik. Sebagai rumah peradaban, museum memang harus jadi sahabat anak, remaja, orang dewasa," ujar  alumni Fakultas Arkeologi UGM 1983 itu, Selasa (6/6).

Iming-iming lain juga ada, di museum misalnya terdapat fasilitas trick eye, yaitu suatu fasilitas dalam bentuk ilusi mata sensasi foto tiga dimensi.

"Museum selain jadi sumber sejarah dan pembelajaran, juga bisa jadi sumber rekre­asi," tambah Sri yang pernah menjabat Kepala Museum Sumut 1999 – 2016. Sri dinilai berhasil menyulap museum Sumut dari 'museum hantu' menjadi museum dengan tata layout modern terbaik  2015.

 Sejak Desember 2016, setelah pensiun, Sri Hartini dipercaya untuk mengelola Musperin. Banyak usaha telah dilakukan untuk mengenalkan Musperin. Juga usaha untuk membangun memori kolektif masya­rakat atas sumbangsih perkebunanan, misalnya kerap memfasilitasi kegiatan komunitas seni dan budaya untuk menggelar kegiatan di sekitar area museum. Mulai dari pertunjukkan tari, musik, stand up comedy, sampai seminar.

"Intinya, kita mengajak kerjasama berbagai komunitas agar semakin banyak orang yang tahu arti penting museum ini untuk masa depan masyarakat. Soalnya masa depan selalu punya pertalian dengan masa lalu," kata ibu  dua anak itu. 

Tidak berlebihan memang harapan Sri Hartini. Salah seorang salah seorang  founding fathers pernah berujar, agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sekalipun narasi sejarah peradaban masyarakat  perkebunan,  tak hanya berisi narasi kegemilangan, tapi juga kekelaman. Bukan­kah dari sejarah, kita memang bisa belajar apa pun agar ke depan kita makin jadi lebih beradab?

Sri Hartini
Soedjai Kartasasmita
Artefak keranjang tempat tembakau dari hasil panen
Artefak Tembakau Deli yang siap diekspor
()

Baca Juga

Rekomendasi