Oleh: Hidayat Banjar.
Pemerintah bakal menetapkan kebijakan masuk sekolah selama 5 hari, Senin-Jumat. Kebijakan ini akan berlaku secara nasional pada tahun ajaran 2017-2018. Berarti pada Juli 2017, kebijakan ini sudah diterapkan.
Hal tersebut dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy usai menghadap Presiden Joko Widodo, Kamis (8/6/2017). Kebijakan ini ditetapkan beriringan dengan perpanjangan waktu belajar pada Senin hingga Jumat menjadi 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.
Pemberlakuan program 5 hari belajar tentu memiliki plus dan minus hinga menuai pro kontra. Bagi yang pro tentu akan melihat plusnya. Mereka mengatakan dengan hanya lima hari belajar, siswa-siswi lebih banyak memiliki waktu luang untuk berkumpul bersama keluarga di ahkir pekan. Apabila ada siswa yang tinggal di luar kota, bisa lebih sering untuk pulang kampung karena memiliki ahkir pekan yang lebih panjang.
Siswa-siswi dapat memanfaatkan ahkir pekan (Sabtu) mengembangkan keterampilannya untuk mengikuti (seminar, pelatihan, perkumpulan organisasi, ekstrakulikuler & lain sebagainya). Siswa-siswi menjadi lebih segar dan lebih semangat untuk melanjutkan kegiatan belajar di pekan depan karena memiliki banyak waktu luang untuk istirahat.
Sejalan dengan itu, pengajar/guru menjadi memiliki waktu untuk istirahat dan penyiapan materi untuk mengajar lebih panjang. Dengan demikian, guru pun memiliki waktu luang untuk menyiapkan materi yang akan diajarkan dan mengulang materi yang telah diajarkan. Guru dan siswa memiliki banyak waktu untuk istirahat pada jam istirahat karena jam istirahat ditambah menjadi 3 x 15 menit + 1 x 30 menit.
Kemudian, program lima hari sekolah dikaitkan pula dengan K13 (Kurikulum 2013) yang lebih menitikberatkan pada karakter. Program 5 hari kerja yang dikeluarkan oleh pemerintah bertujuan untuk memperbaiki karakter anak didik di sekolah. Dengan program lima hari sekolah, K13 mendapatkan wadahnya.
Kontra
Yang kontra, mengeluhkan tentang program 5 hari masuk sekolah ini. Alasannya, dengan lima hari sekolah justru siswa-siswi tidak memiliki waktu istirahat yang cukup dan tidak dapat mengulang materi yang diajarkan lagi sesampainya di rumah. Pasalnya, setelah sampai rumah siswa-siswi langsung dihadapkan dengan tugas-tugas yang ada di rumah. Mereka tidak dapat mengulang pelajaran yang diberikan dan tidak memiliki waktu istirahat yang cukup.
Selain itu salah satu keluhan siswa adalah pada hari Sabtu masih tetap masuk, baik itu untuk ekstrakulikuler/perkumpulan organisasi. Apabila hari Sabtu tetap masuk, sama saja dengan 6 hari belajar ditambah proses pembentukan karakter di sekolah hingga sore, bahkan ada yang hingga larut malam.
Siswa-siswi mengeluh karena kecapekan dan banyaknya tugas yang diberikan. Siswa-siswi mengeluh karena kesulitan membagi waktu untuk belajar, mengerjakan tugas dan istirahat. Siswa-siswi dan guru mengeluh karena dengan program ini – justru materi yang disampaikan atau yang diterima – kurang maksimal. Karena, semakin siang hari, kosentrasi manusia semakin menurun sehingga kurang efektif apabila digunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
Seiring dengan itu, PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) tidak sepakat sekolah 5 hari. Lalu, apakah Mendikbud akan tetap merealisasikannya?
Matinya Madrasah
Ketidaksetujuan PBNU dan MUI berkaitan dengan kultur (budaya) Muslim Indonesia. “Hal mendasar yang terjadi saat full day school diterapkan adalah matinya madarasah-madrasah diniyah, belajar agama sore hari, interaksi santri-kiai di sore hari,” kata Ketua PBNU Muhammad Sulton Fatoni dalam keterangan tertulis yang diterima deticom, Minggu (11/6/2017).
“Padahal di waktu dan proses sore hari itulah anak-anak Muslim usia sekolah mendapatkan bimbingan etik dan moralitas yang matang, bukan di sekolah yang sarat target angka-angka. Inikah yang Pemerintah inginkan?” imbuhnya.
Sulton menuturkan, kebijakan full day school tersebut tak aspiratif dan mendapat penolakan masyarakat. Jika aturan tersebut tetap dilaksanakan, ia menganggap Mendikbud sekehendak sendiri.
Hal senada juga diungkapkan oleh MUI yang meminta kepada Kemendikbud untuk mengkaji kembali kebijakan sekolah lima hari. MUI mengaitkan kebijakan Mendikbud ini dengan pendidikan madrasah diniyah dan pesantren yang biasanya baru dimuai sepulang sekolah reguler. MUI khawatir pendidikan keagamaan tersebut akan gulung tikar padahal telah berkontribusi besar bagi penguatan nilai-nilai agama hingga pembentukan karakter siswa.
MUI khawatir berapa jumlah madrasah diniyah yang dikelola secara mandiri dan sukarelah oleh masyarakat akan tutup. Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak (siswa) dengan ikhlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya. Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasakan Pancasila,” jelasnya.
Alasan Muhadjir Effendy lima hari sekolah hanya melihat dari sudut pandang guru, namun tidak mempertimbangkan dari sudut siswa. Tidak mempertimbangkan faktor kejenuhan siswa serta uang saku tambahan untuk siswa. Hal ini tentu menjadi beban tambahan orang tua.
Belum lagi kalau hal ini dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi siswa. Anak-anak dari kalangan menengah ke atas tentu tidak masalah membawa bekal (uang) untuk makan siang saat jam istirahat (30 menit) tiba. Orang-orang tua mereka justru tidak keberatan, bahkan berterimakasih dengan kebijakan ini. Anak-anak mereka dapat dikatakan “aman” di sekolah.
Kekurangan Biaya
Bagaimana dengan anak-anak yang tak berpunya? Sepulang sekolah, biasanya mereka membantu orang tua mencari nafkah, membuat kue atau apalah. Dengan adanya program lima hari sekolah tentu mereka tak dapat lagi membantu orang tua mencari nafkah. Boleh jadi mereka tak akan bersekolah lagi karena kekurangan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kebijakan baru seyogianya diadakan ketika kebijakan lama dirasa ada masalah. Selama ini, tidak ditemukan masalah yang berarti dari kebijjakan sekolah 6 hari selama seminggu. Namun, mengapa tiba-tiba Muhadjir Effendi ingin mengubah sesuatu yang tidak ada masalah?
Sekolah 6 hari seminggu justru dinilai sangat tepat karena bisa bersinergi dengan madrasah sore sehingga siswa tidak hanya menguasai materi sekolah, namun juga materi agama yang justru sangat penting. Selain itu, 6 hari sekolah dalam seminggu juga tidak menambah beban orang tua untuk memberikan uang saku tambahan.
Ada baiknya Muhadjir Effendi mengkaji ulang kebijakan ini. Presiden Jokowi pun harus ikut campur dengan kebijakan ini. Jangan sampai kebijakan ini menjadi gesekan antara pemerintah dengan masyarakat Muslim, khususnya pesantren dan warga NU. Terlebih peran madrasah dan pesantren tidak boleh disepelekan. Keduanya sangat berperan dalam menangkal paham radikalisme dan melahirkan generasi Muslim yang moderat.
Sebaiknya pemerintah mengavaluasi kembali program yang dibuat ini karena dinilai banyak pihak justru lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada positifnya. Semoga.***
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya.