Berantas Korupsi Ala Zhu Rongji

Oleh: Sudarma Amirul Hatz Saragih.

“Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, satu untuk saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu (korupsi)”

–Zhu Rongji

Kalimat tersebut diucapkan oleh Zhu yang merupakan seorang perdana menteri Tiong­kok pada tahun 1998. Tentu Zhu mem­punyai alasan yang jelas mengapa ka­limat itu bisa terucap. Dalam jurnal Jefry Harysandy dan kawan-kawan ber­­ju­dul “Pem­berantasan Korupsi di Tiong­­kok” dijelaskan, bahwa sebelum­nya ko­rupsi memang sudah mengakar di Tiong­­kok sejak era dinasti, yang diper­ki­­rakan mu­lai dari dinasti Zhou (1027-771 SM). Kemudian masuk pada era di­nasti Qing, marak terjadi kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabatnya, yang salah satunya dilakukan oleh men­teri kesayangan Qing yaitu Heshen. Hes­hen tega menggelapkan uang pajak di te­ngah tingginya biaya pajak, naiknya har­­ga kebutuhan pokok, terlebih dana pa­­­jak itu seharusnya digunakan untuk mem­­­bangun bendungan guna meng­an­ti­si­pasi banjir.

Masih dalam jurnal, dijelaskan bahwa pada masa nasio­nalisnya, korupsi di Republik Tiongkok malah menjadi-jadi dan bahkan telah mewabah, mulai dari pe­jabat pusat hingga daerah terlibat da­lam praktik uang haram tersebut. Bahkan se­orang pemimpinnya yaitu Chiang Kai Shek beserta ke­luarganya pun terlibat erat dalam korupsi. Memasuki era Re­publik Rakyat China (1949-1998), pada masa peme­rintahan Deng Xiaoping de­ngan slogannya getting rich is glorious atau menjadi kaya adalah mulia, telah mendorong masyarakatnya untuk me­nge­jar kemakmuran hidupnya masing-ma­sing, tetapi disayangkan bahwa “men­jadi kaya adalah mulia” di­maknai negatif oleh pejabat-pejabat di Tiong­kok pada masa itu.Hal itu ditandai de­­ngan beberapa ka­sus korupsi pada masa itu. Wang Shouxin, yang terkenal de­ngan skandal ko­rupsi terbesar ditahun 1979 dimana se­tidaknya sebanyak 536.000 Yuan milik ne­gara telah di­ge­lap­kannya. Kemudian ka­sus yang me­nim­­pa Walikota Beijing, Chen Xitong, ia terlibat dalam kasus peng­gelapan dana sebesar $ 35.000.000, iro­nisnya wakilnya (Wang Baosen) bu­nuh diri disaat muncul tuduhan tersebut.

Memasuki tahun 1998, seorang tokoh pem­berani (Zhu Rongji) datang menjadi se­orang perdana menteri Republik Rak­yat China/Tiongkok. Apa yang di­ka­ta­kan­nya mengenai 100 peti mati bu­kan ha­nya sekedar ucapan. Dilansir dari situs inilah.com, dijelaskan bahwa Cheng Kejie, seorang pejabat tinggi Partai Ko­munis Tiongkok, bahkan dihukum mati aki­bat terlibat suap sebesar US$ 5 juta, yang terjadi ditahun 2000. Lalu dijelaskan lebih lanjut, bahwa Zhu dalam men­jalani tu­gasnya tidak pernah pandang bulu, ia juga mengirim “peti mati” kepada ko­le­ganya sendiri yaitu Hu Chang-ging yang terbukti menerima suap berupa mobil beserta permata bernilai sekitar Rp 5 miliar. Hebatnya, eksekusi mati terhadap Hu Chang-ging hanya 24 jam setelah per­mohonan kasasinya ditolak oleh Mah­kamah Agung China di Beijing.

Kemudian dilansir hukumonline dari China Daily, dije­laskan bahwa pada akhir tahun 2000 Tiongkok telah mem­bongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang meli­batkan 100 pejabat Tiongkok di Provinsi Fujian, Tiongkok Teng­gara. Se­banyak 84 orang di antaranya terbukti ber­salah dan 11 orang diberikan “peti mati”. Zhu Rongji memang benar-benar kon­sisten dengan ucapan dan tekadnya me­ngenai pemberantasan korupsi. Pada masa Zhu Rongji, sepertinya tidak akan ada satu pejabat pun dengan setinggi apapun jabatannya yang akan lolos dari jeratan hukum, apalagi mereka yang tega mengembat uang rakyat.

Buah dari kerja keras atas pemberan­ta­san korupsi di Tiongkok sekaligus me­nata perekonomiannya, sebagaimana di­lansir dari inilah.com, pada 2003 devisa me­reka men­capai US$300 miliar, dan pada semester 1 tahun 2008 Tiongkok men­catat per­tumbuhan ekonominya hing­ga sebesar 10% lebih. Keberanian Zhu da­lam mem­berantas korupsi me­mang patut diancungi jem­pol. Pasalnya Zhu tidak main-main dengan ucapannya, filo­so­finya akan 100 peti mati benar-be­nar berubah menjadi im­plementasi. Se­per­tinya Zhu paham betul akan pepatah Tiong­­kok yang mengatakan “bunuhlah se­­e­kor ayam untuk menakuti seribu ekor kera”.

Egois

Mereka yang korupsi pastilah orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Seperti pada kasus korupsi e-KTP, menurut penjelasan Badan Penga­wa­s­an Keuangan dan Pembangunan yang di­lansir dari tempo.co, negara telah me­ngalami kerugian sebesar Rp 2,3 triliun dal­am proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Bayangkan saja, uang yang seha­rusnya dapat digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat seperti pembangunan infras­truk­tur yang sedang galak saat ini, malah dija­dikan sebagai penghasilan tambahan yang sejatinya uang tersebut adalah haram.

Miris memang melihat para koruptor di Indonesia, negara dengan segudang per­masalahan kesejahteraan sosialnya. Me­reka asyik mengumpulkan uang se­banyak-banyaknya dari perladangan ha­ram yang dirawat oleh pribadi maupun ke­lompok. Mungkin para koruptor mem­punyai pikiran bah­wa jabatan itu bisa dipelihara oleh harta yang banyak. Lihat saja, pemikiran yang semacam itu akan rapuh dan hancur dengan sendirinya di tengah kecerdasan dan kedewasaan rakyat dalam berdemokrasi.

Seperti disinggung sebelumnya me­ngenai segudang masalah kesejah­te­raan sosial. Memang benar, di lembaga di­ma­na saya praktikum permasalahan sosial be­gitu nyata, baik itu anak jalanan yang ter­bengkalai pendidikannya, sampai pada anak miskin perkotaan yang harus mem­bagi waktu antara belajar dengan bekerja membantu orang tua. Itu hanya sebagian masalah saja, masih banyak masalah ke­sejahteraan sosial lainnya yang mungkin se­ring kita jumpai, seperti lansia miskin dan terlantar, pemulung, gelan­dangan dan pengemis, pecandu narkoba, keluarga be­rumah tidak layak huni. Memang benar setiap kementerian telah diberikan tugas dan anggaran masing-masing. Namun, bu­kankah alangkah baiknya jika katakan­lah uang yang menjadi kerugian negara aki­bat kasus korupsi e-KTP (Rp 2,3 tri­liun) tadi digunakan sebagai dana dalam ke­giatan atau program kesejahteraan so­sial yang minimal dapat mengurangi ma­sa­lah-masalah kesejahteraan sosial yang ada.

Wajah korupsi Indonesia

Banyak kasus korupsi yang ditangani KPK. Menariknya, para koruptor masih saja menampakkan senyum sum­ringah­nya, seperti tidak ada ketakutan yang mem­beban di kepalanya. Apa hal yang mem­buat mereka seperti demikian itu? Masih saja tersenyum sumringah di depan me­dia. Bahkan kebijakan penggantian warna rompi tahanan KPK dari putih men­jadi oranye dengan kombinasi warna hitam tidak juga mengubah ekspresi itu. Atau karena tidak ada “ayam yang di­bunuh” lantas “seribu ekor kera” tidak ta­kut?

Pada 2016 saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat selama periode Jan­uari-Juni terdapat sebanyak 210 kasus dan 500 orang ditetapkan sebagai ter­sangka. Dalam 210 kasus tersebut ne­gara telah merugi sebanyak Rp 890,5 miliar dan suap Rp 28 miliar, SG$ 1,6 juta, dan US$ 72 ribu. Kemudian ICW juga mencatat, sepanjang 2016 telah terungkap 62 kasus korupsi di desa dan negara mengalami kerugian sebesar Rp 18 miliar.

Kasus korupsi tidak henti-hentinya di negara ini, jika dibandingkan, Indonesia agaknya tidak jauh berbeda dengan Tiong­kok yang telah dijelaskan di atas.Negara sakit, rakyat menderita. Se­men­tara para koruptor asyik memper­kaya diri di tengah kemiskinan dan ke­terlantaran rakyatnya. Adakah Zhu Rongji di negara ini, yang dapat mem­be­rikan efek jera pada ribuan “kera” yang ada? Jika hukuman mati untuk kasus ko­rupsi tidak akan pernah bisa disetujui, maka apa solusi? Minimal dapat mele­nyap­­kan senyum sumringah koruptor yang menimbulkan kegeraman publik. Pe­san saya kepada teman-teman para ge­nerasi, jangan korupsi!***

Penulis adalahMahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial USU, Pegiat Literasi di Toba.

()

Baca Juga

Rekomendasi