KISAH ini mungkin sudah pernah anda baca atau dengar. Namun, mengingat begitu sarat pesan moral yang dikandungnya, rasanya tidak salah kalau saya ungkapkan kembali dalam Jamuan Ramadan ini.
Alkisah, seorang pemuda bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di tengah hari di pinggiran sebuah sungai di Kufah, Irak. Di tengah perjalanan dia melihat sebuah apel hanyut dibawa arus air sungai ke tepi. Karena perutnya lapar, tanpa pikir panjang ia segera berlari memungut apel tersebut dan memakannya.
Baru beberapa gigitan masuk ke dalam perutnya, ia tersadar bahwa apel itu bukanlah miliknya. Ia merasa berdosa dan ingin meminta maaf kepada pemilik apel tersebut. Ia telusuri hulu sungai hingga akhirnya Tsabit berjumpa dengan sebidang kebun apel. Ia merasa dari sinilah sumber apel yang dimakannya tadi.
Tsabit menemui pemiliknya dan menceritakan semua kejadian yang ia alami. Tsabit ingin pemilik apel memaafkan dan mengizinkannya atas apel yang telah ia makan. Pemilik kebun apel tidak menerima begitu saja permohonannya. Ia memaafkan dan mengizinkan apel yang dimakan Tsabit, dengan syarat Tsabit mau menikahi putrinya.
Antara kaget dan senang, pikiran Tsabit berkecamuk. Tapi, demi kemaafan pemilik apel, Tsabit menerima syarat tersebut. Hanya saja, pemilik apel menyatakan bahwa putrinya adalah seorang yang tuli, buta, bisu dan tidak punya tangan dan kaki. Mendengar penjelasan pemilik apel, Tsabit bingung. Namun, demi maaf dan izin pemilik apel Tsabit bersikukuh menerima putrinya.
Tsabit dipersilahkan melihat dari luar calon istrinya. Begitu sampai di teras rumah, ia mendengar lantunan ayat suci Al-Quran yang berasal dari seorang perempuan. Yang lebih mendebarkannya, ternyata pelantun Al-Quran tersebut seorang gadis yang cantiknya luar biasa. Tsabit kembali kepada pemilik apel dan menyatakan tidak ada gadis dengan ciri-ciri seperti yang diceritakan pemilik apel. Ia hanya melihat seorang gadis "sempurna" sedang membaca Al-Quran.
"Itulah anak gadisku, Nak," jawab pemilik apel.
"Tapi, kenapa tidak sesuai dengan apa yang Bapak katakana?" Tsabit bertanya dalam kebingungannya.
"Aku tidak berbohong, Nak. Anakku tuli, karena ia tidak pernah mendengar hal-hal yang dilarang Allah. Ia hanya mendengar yang baik-baik saja. Anakku juga buta, karena ia tidak melihat hal-hal yang menimbulkan dosa. Matanya selalu melihat hal-hal yang dihalalkan Allah. Anakku bisu, karena perkataannya hanya yang baik-baik saja. Ia menjadikan Al-Quran sebagai teman yang selalu dibacanya.
Anakku juga tidak punya tangan dan kaki, karena tangan dan kakinya ia gunakan hanya untuk kebaikan. Sejak awal kau datang, sebenarnya aku sudah tertarik dengan kejujuranmu. Aku yakin, engkaulah jodoh yang tepat untuk anak gadisku."
Bukan main terharunya hati Tsabit bin Ibrahim. Ia tidak menyangka karena ketulusannya meminta maaf dan izin atas apel yang dimakannya berbuah happy ending. Gara-gara apel ia mendapat istri salehah yang cantik jelita pula. Rumah tangganya pun menjadi rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah. Tahukah pembaca, siapa Tsabit bin Ibrahim ini? Dialah ayah dari salah seorang Imam mazhab yang empat dalam Sunni, Imam Abu Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu`man bin Tsabit, pendiri Mazhab Hanafi.
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini. Dalam ruang yang terbatas ini, saya hanya ingin menekankan bahwa tidak pernah kejujuran membawa pemiliknya pada kecelakaan. Jujur akan selalu berbuah manis. Meskipun jujur dalam zaman sekarang merupakan sebuah kata yang mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan, setiap kita selayaknya menegakkan kejujuran ini. Mungkin di awal jujur akan menyulitkan hidup pelakunya. Tapi, yakinlah, Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang jujur.
Sebaliknya, pribadi yang tidak jujur akan menyimpan penyakit dalam jiwanya yang pada akhirnya hanya akan mencelakakannya. Biasanya, untuk menutupi sebuah ketidakjujuran, seseorang akan melakukan ketidakjujuran lagi dan lagi. Ia berusaha serapi mungkin menyimpan ketidakjujurannya agar tidak terkuak. Tapi, betapa pun rapinya menyimpan bangkai, suatu saat bau busuknya akan menyebar juga.
Rumah tangga yang dilandasi sikap tidak jujur akan berbuah ketidaktenangan dalam hidup berkeluarga. Masing-masing anggota keluarga saling curiga. Tidak ada rasa saling menghormati. Akhirnya rumah tangga pun menjadi bencana dan berantakan di tengah perjalanan. Kalau suami selingkuh, si istri pun merasa "berhak" membalas perlakuan suaminya dengan berselingkuh pula. Anak-anak pun kacau-balau tidak karuan.
Dalam skala yang lebih luas, bila ketidakjujuran meraja lela di kalangan penguasa, maka alamat negara tersebut akan celaka. Ketidakjujuran merupakan awal dari penyelewengan dalam penyelenggaraan negara. Korupsi, gratifikasi, kolusi dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya, semua bermula dari tidak adanya kejujuran. Mereka yang harusnya mengelola harta negara dengan baik, ternyata merampoknya dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun golongannya saja. Bagi mereka, kekuasaan adalah kesempatan untuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam negara dan membagi-baginya di kalangan mereka sendiri.
Kejujuran adalah nilai kebaikan universal dan perennial. Semua orang membutuhkannya. Ungkapan-ungkapan seperti "orang jujur terbujur", "orang lurus kurus" adalah ungkapan menyesatkan yang dihembuskan oleh setan, baik setan halus yang berbentuk jin maupun setan kasar yang berbentuk manusia.
Semoga dalam Ramadan ini kita berhasil memperoleh ijazah sebagai salah seorang shiddiqin. Amin