Sebagai suatu ibadah, puasa memang sangat spesifik. Hal ini ditandai dengan tindakan dan perbuatan yang langsung hanya Allah saja yang tahu. Bila salat, mungkin orang disekitar akan tahu bahwa ia sedang salat, begitu juga zakat, haji dan ibadah lainnya. Tetapi kalau puasa, siapa yang tahu ia benar-benar puasa atau tidak. Mukanya mukin lusuh, atau gayanya dibuat seperti lelah, tetapi bisa saja dibelakang orang ia makan dan minum.
Jadi memang ibadah puasa ini begitu spesifik, hanya Allah sajalah yang bisa menilainya. Dalam surat al-Baqarah 183, di sana kita mendapatkan sebuah pertanyaan yang mungkin akan memberi motivasi kepada kita saat ini. Apa itu ? Mengenai kewajiban puasa pada hakikatnya tidak hanya diwajibkan kepada umat Muhammad saja, tetapi sebenarnya sudah diwajibkan sebelum umat Muhammad.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...”
Pertanyaannya kembali kenapa Allah dalam mewajibkan puasa juga mensetir bahwa kewajiban tersebut juga sudah dilakukan terhadap orang-orang sebelum kita ? Dan apa hikmahnya ?
KH Ali Musthofa Ya’cub dalam bukunya “Islam Masa Kini” mengatakan, ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa puasa di samping diwajibkan kepada umat Islam juga diwajibkan kepada umat-umat dahulu. Diceritakannya kewajiban puasa terhadap umat yang terdahulu antara lain dalam rangka mengkondisikan umat Islam agar mereka secara mental merasa ringan, karena kewajiban puasa ternyata juga pernah diwajibkan kepada orang-orang terdahulu. Dan ternyata orang dahulu mampu melaksanakannya. Seandainya, tidak ada penyebutan seperti itu, boleh jadi menurut Ali Musthofa Ya’cub, tentulah mental umat Islam akan menjadi lain.
Ia menambahkan, sebuah kewajiban yang dijerjakan secara bersama-sama dengan orang lain akan terasa ringan daripada apabila hal itu dikerjakan sendiri-sendiri.
Kemudian, agar puasa tidak menjadi beban, Allah melanjutkan firmannya, ayyaman ma’dudat (dalam beberapa hari yang tertentu), ini juga memberikan keringanan secara mental di mana umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa hanya dalam beberapa hari saja dan tidak lama.
Sementara, mengenai bagaimana puasa orang-orang terdahulu, Al-Nawawi dalam kitabnya Riyadh al-Shalihin mengutip hadist Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim menjelaskan, “Perbedaan puasa kita dengan puasa orang-orang Ahli Kita adalah makan sahur.” Tepatnya, orang-orang Ahli Kitab dahulu dalam menjalankan puasa tidak makan sahur, sementara kita sekarang apabila mau berpuasa makan sahur lebih dahulu.
Sebenarnya, puasa tanpa makan sahur ini juga pernah diwajibkan kepada umat Islam pada masa awal-awalnya. Pada waktu itu, apabila ada orang yang tidur setelah berbuka puasa, bahkan sebelum buka puasa sekalipun, kemudian ia bangun, meskipun malam masih panjang ia sudah dilarang makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa.
Baru setelah turun al-Baqarah 187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
Sebab-sebab turunnya ayat ini, dikisahkan, pada suatu waktu ketika Nabi masih hidup, ada seorang sahabat yang sehari-hari bekerja di ladang ia bernama Qais bin Shurman al-Anshari. Sore hari ketika ia pulang ke rumah, ia bertanya kepada istrinya,”Ya istriku, punya makanan apa untuk berbuka puasa?” Istrinya menjawab,”Tidak ada apa-apa, tetapi tunggulah sebentar, saya akan membeli makanan di warung,”begitu jawab istrinya. Maka keluarlah ia membeli makanan, sementara suaminya istirahat di rumah melepaskan lelah. Namun apa hendak dikata, ketika istrinya pulang dengan membawa makanan, sang suami telah tertidur lelap.
“Waduh, kamu sudah tidur suamiku ?” begitu ucap istrinya menyesalkan kenapa suaminya tertidur, karena makanan yang dibelinya tidak dapat lagi dimakan oleh suaminya. Ia sudah memulai puasanya kembali sejak ia tudur. Esok harinya ia kembali bekerja di ladang, karena kemarin berpuasa dan tidak ada satupun makanan yang masuk ke tubuhnya, akhirnya pada siang hari ia pun pingsan. Cerita pingsannya Qais kemudian sampai kepada Nabi, dan akhirnya Allah memberikan kemurahan dengan menurunkan surat al-Baqarah 187 tersebut.
Jadi kalau dibanding-bandingkan dengan kewajiban puasa orang-orang terdahulu, maka kewajiban puasa pada saat ini sudah lebih ringan dari puasa mereka. Dan kalau sudah lebih ringan mengapa pula kita harus meninggalkannya ?
Tapi ingat, puasa (shiyam) tidak hanya menahan makan, minum dan berhubungan badan bagi suami istri pada waktu terbit fajar hingga terbenam matahari saja, ini sering diungkapkan orang puasa syariat. Tetapi kita harus mampu meningkatkan puasa kita menjadi puasa tarikat, seperti yang dilakukan Maryam ibunda Nabi Isa as.
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
(QS Maryam : 26)
Puasa tarikat inilah yang dilakukan Maryam yaitu puasa berbicara. Karena Maryam berpuasa bicara, Allah menjadikan bayi dalam buaiannya (Isa as) berbicara dengan sangat jelas. Bayi itulah yang menjawab semua hujatan orang banyak ketika Maryam kembali berkumpul di tengah-tengah masyarakatnya.
Bila kita sudah puasa secara syariat, kemudian ditambah lagi dengan puasa tarikat, maka ketika masa Maryam melakukan puasa tarikat ini, anaknya Isa as yang menjawab sebuah hujatan, maka saat ini insya Allah, jika kita melakukan puasa tarikat Allah akan memperdengarkan kepada kita suara-suara yang sangat jernih, yaitu suara hati nurani kita, lewat hati yang merupakan ‘taman’ bagi kita Allah memberi hidayah kepada kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.
Terus terang banyak orang yang berpuasa tetapi lidah, tangan, mata, kaki dan seluruh anggota badannya tidak berpuasa. Akibatnya bukan pahala puasa yang didapatkan tetapi hanya lapar dan haus saja. Oleh karena itu, mari kita tingkatkan puasa kita menjadi puasa yang sampai kepada jenjang puasa tarikat.