Kesepian Seorang Ibu di Idulfitri

Oleh: Ardani.

Sudah cukup lama perempuan tua itu duduk disitu. Di meja telah ia hidangkan ketupat bersama gulai dan kari ayam. Ia masih ingat anak-anaknya  sangat suka masa­kan ketupat buatannya. Dan setiap Lebaran anak-anaknya setelah selesai sholat Idul Fitri  akan melahap ketupat itu sepu­asnya. Sebagai seorang ibu ia merasa bahagia  jika makanan  buatannya pas buat selera anak-anaknya dan tamunya.

Sejak takbir kemenangan berkumandang dari masjid-masjid, ia telah berusaha sebaik mungkin menyiapkan hidangan-hidangan yang disukai  anak-anaknya. Apa lagi pada tahun lalu, anak-anaknya berjanji akan berkumpul berlebaran di rumah ibunya, karena sudah menjadi kebiasaan kaum Muslimin akan berkumpul di rumah orang tuanya saat hari pertama Idul Fitri untuk bermaafan.

Saat masih bulan Ramadhan  ibu tua itu telah membeli ratusan bungkus ketupat  terbuat dari pelepah kelapa. Bahkan ia telah memesan  ketupat itu dari seseorang yang sangat rapi menganyamnya. Sedangkan untuk mengisi ketupat itu  telah ia beli pulut yang terbaik yang hampir tak bercampur  dengan beras. Selain itu telah membuat wajik Bandung sebanyak mungkin. Karena masih ia ingat  anak-anaknya sangat suka  panganan kecil buatannya. Dan kali ini perempuan itu  ber­maksud memberikan wajik-wajik itu kepada mantu-mantunya. Dalam bayangan­nya cucu-cucunya  kan memuji masakannya.

Perempuan yang sering ditransfer uang oleh anak-anaknya yang bertebaran di beberapa kota di negeri  ini telah menyisih­kan uang kiriman  itu untuk membeli baju Gunting Cina.untuk cucu-cucunya  dipakai bersholat Idul Fitri di masjid dekat rumahnya. Selain itu ia telah menukarkan uangnya dengan pecahan uang baru di bank.

Perempuan tua itu ingin memberi­kan sedikit kejutan kepada anak-anaknya dan cucunya. Sudah agak lama kebiasaan  mem­­berikan kejutan  itu tak ia lakukan. Padahal saat anak-anaknyaa masih sekolah, seorang anaknya yang berprestasi  selalu ia berikan  hadiah tanpa pernah  perempuan tua itu  mengiming-imingkannya. Ia ingin prestasi anaknya  dalam studi bukan  kerena iming-iming hadiah itu.

Baju Gunting Cina untuk cucunya  itu di­pa­du dengan  topi lebai telah ia susun se­jak semalam. Ia hafal betul  nomot ukuran tubuh-tubuh cucunya. Sebagai seorang wanita pensiunan dari sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perta­mina, kecekatan, kecermatan dan ketelitian  masih tersisa dalam sikapnya.

Idul Fitri hari pertama, dan waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB pagi. Dari jendela kaca rumahnya ia melihat anak-anak tetangga sudah bersileweran dengan pa­kaian baru. Perempuan tua itu mulai geli­sah  memandang hidangan di meja, dan ia pun  tak berselera menyentuh makanan itu. Sesaat terdengar ketukan di pintu agak keras.

Perempuan itu tersentak. Namun ketuan­nya telah membuat refleknya berkurang. Dan sesaat wajah perempan tua itu berseri-seri.

“Pasti mereka datang,” teriak hatinya. Lalu dengan langkah terhuyung  ia memburu ke pintu. Perempuan itu kecewa yang berdiri dipintu  adalah Tuti anak tetangga  di depan ru­mahnya. Bukan orang-orang yang ia tunggu.

Kemurungannya segera ia sembunyikam. Ia mencoba melepas senyum.

”Ada apa,” tanyanya.

“Mama memberikan makanan ini ,” kata Tuti sambil mem­berikan serantang makanan khas Lebaran.

“Dan Mama mohon maaf ia masih sibuk menemani cucu-cucunya makan,” kata Tuti.

Perempuan itu mencoba tersenyum, walau senyum kecut. Di rumah tetangga kebahagia­an hari Lebaran sudah hadir bersama pagi yang cerah ini. Ia mencoba tidak memiliki perasangka buruk kepada anak-anaknya. Tapi, kebahagiaan rumah tetangga  yang ia lihat dari  jendela  membuat hati­nya­ teren­yuh. Beberapa ru­mah tetangga ia lihat pa­sangan suami-istri dan anak-anak membawa rantang saling berkunjung ke rumah orang tuanya, atau ke rumah famili.

Kehadiran Tuti yang memperhatikan dirinya  membuat ia mempunyai penilaian  baru bahwa tetangga dekat memang lebih baik dari sanak famili.

“Terima kasih ya, Tut. Sampaikan mohon maaf lahir batin kepada Mamamu. Nenek tidak bisa berkuujung kerumahmu karena sedang menunggu kedatangan anak-anak Nenek,” kata perempuan tua itu  sambil mengembalikan rantang yang telah ia salin isinya.

“Baiklah akan saya sampikan  pada Mama. Saya pulang dulu, Nek,” kata Tuti.

Baru saja  Tuti berjalan beberapa langkah  pe­rempuan tua itu memanggilnya, lalu ia mem­berikan sejumlah uang dan sto­ples wajik Bandung.

“Ambil saja dengan toplesnya,” kata perem­puan tua itu ketika dilihatnya  Tuti seperti ingin bertanya.

“Terima kasih, Nek. Semoga engkau ba­ha­gia,” balas Tuti.

Perempu­an tua itu menutup pintu. Setelah kepergian Tuti hatinya makin terenyuh. Ucapan Tuti semoga engkau bahagia me­ngu­sik hatinya. Benarkah hari ini ia bahagia. Bahagia sebagai nenek dari 14 cucu.

***

Sejak anak-anaknya berumah tangga perempuan tua itu menyadari anak-anaknya bukan lagi miliknya, tetapi telah menjadi milik orang lain. Karena itu pada beberapa tahun yang lalu dengan rela hati  ia menerima suasana itu.

Telepon berdering di ruang tamu rumah­nya. Lamunannya bujar. Ia melangkah terhuyung ke ruang tamu.

“Haloo, Ma? Mohon maaf lahir batin. Ampunkan dosa-dosa saya, Ma. Mama sudah terima kiriman uang dari kami kan. Semoga Mama bahagia ya.... Kami terpaksa mem­batalkan berhari raya di rumah Mama. Sebab Idul Fitri tahun ini mantu Mama minta mudik ke rumah ibunya,” kata Dedi anak tertuanya.

“Tapi sudah dua lebaran kamu tidak pulang, Di,” tegur perempuan itu.

“Saya mohon maaf, Ma.”

Ibu itu harus memaklumi keadaan anak-anaknya yang telah berkeluarga.

Setengah jam berselang telepon kembali berdering. Dengan semangat perempuan tu kembali  menghampiri telepon. Dari seberang telepon didengarnya suara si sulung.

“Mama selamat Idul Fitri. Mohon maaf, Ma. Saya akan sampai ke Medan di hari keti­ga Idul Fitri. Soalnya anak-nak Mama kini disibukkan masuk sekolah baru karena telah lulus SMP dan SD. Semoga Mama se­hat-sehat saja.” ujar si sulung.

Baru saja perempuan itu menutup tele­pon, telepon kembali berbunyi, dan pe­rempuan tua itu kembali mengangkatnya.

“Haloo. Mama di sini. Siapa lagi yang akan mengucapkan mohon maaf melalui tele­pon,” ucap perempuan utu mengungkap kekesalannya.

“Maaf Ma saya Ratih. Mama saya akan ke rumah Mama pada hari keempat lebaran soalnya, Ma. Tiba-tiba saja mantu Ma­ma minta tahun ini berlebaran di rumah ibu­­nya. Ratih se­­­ka­rang di Aceh, Ma. Di rumah mertua,” kata anaknya di­seberang telepon.

“Kalian tidak sayang lagi dengan Mama, Ya. Lihat sekarang Mama sendiri. Kalian sudah tak peduli lagi dengan Mama,” ujar ibu itu.

“Ma...Ma...Mengertilah, Ma. Kami tetap menya­yangi Mama. Tapi, Ma, saya kan seorang istri yang harus patuh pada putusan suami. Tapi, usai dari Aceh saya dan mantu Mama serta cucumu akan ke rumah Mama. Percayalah, Ma. Walau agak terlambat kan saya dan keluarga tetap mudik,” bujuk Ratih.

Ratih tampaknya mampu meluluhkan kegusaran ibunya. Itu terlihat perempuan tua itu mulai menanyakan kabar suaminya serta anak-anak Ratih.

Kini sambil duduk dihadapan hidangan­nya perempuan tua itu menunggu kepu­langan putra dan putrinya. Sementara itu di rumah tetangga  terdengar nyayian selamat Lebaran dari stasiun televisi swasta. Nya­nyian  berna­da girang itu tak membuat hati­nya terhibur girang.

Di luar rumah anak-anak mulai bersile­we­ran dengan pakaian baru bersama ibu dan bapaknya. Pererempuan tua itu di Idulfitri tahun ini hatinya merasa sepi. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi