MANUSIA adalah sebaik-baik bentuk ciptaan Allah dan makhluk yang paling mulia dari sekalian makhluk-Nya (Qs. Al-Isra ayat 70 dan Qs. at-Thin ayat 4). Di antara ciri kemuliaan manusia terletak pada ruh yang ditiupkan Allah kepadanya dan kebebasan serta kemerdekaannya untuk menentukan sendiri pilihan hidupnya secara sadar. Bahkan manusia diberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih beriman atau kufur, dengan konsekuensi yang akan diterimanya akibat pilihannya tersebut (Qs. al-Kahf ayat 29 dan Qs. Yunus ayat 99). Namun, dalam kenyataannya, ada hal-hal yang membuat manusia tidak dapat menggunakan kebebasannya menentukan pilihan tersebut. Dia terpenjara oleh kekuatan-kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar dirinya sendiri.
Belenggu internal yang memenjarakan kebebasan manusia adalah hawa nafsu. Tidak sedikit manusia yang rela diperbudak hawa nafsunya dan memperturutkan kemauan nafsu yang tidak terbatas. Mereka melakukan berbagai cara untuk memanjakan keinginan hawa nafsu tersebut. Dalam Alquran Allah mengecam orang demikian telah mempertuhankan hawa nafsunya sendiri. “Tidakkah engkau perhatikan wahai Muhammad, orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan” (Qs. al-Furqan ayat 43 dan al-Jatsiyah ayat 23).
Sementara belenggu eksternal yang membuat manusia tidak berdaya antara lain adalah alam. Dalam kehidupan, kita pasti pernah mengalami pengaruh-pengaruh alam yang mengganggu kebebasan. Sebagai contoh, udara yang terik bisa membuat kita kurang bergairah, lemas dan tidak fresh. Aktivitas dan produktivitas kerja menurun. Bahkan udara yang panas menyengat dapat pula menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Apalagi ketika kita dalam kondisi puasa seperti sekarang ini.
Akan tetapi, belenggu alam relatif mudah diatasi dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan kemauan keras. Udara yang panas dapat dijinakkan dengan pendingin ruangan (AC), sehingga kita merasa sejuk dan adem. Atap rumah bisa dibuat dengan menggunakan bahan yang menyerap panas. Dengan kemauan keras dan semangat tinggi kita dapat mengatasi belenggu alam. Meskipun udara panas terik, kita berangkat ke tempat kerja karena tekad ingin menafkahi keluarga. Tanggung jawab terhadap keluarga membuat kita bersemangat mencari rezeki tanpa terhalang oleh kondisi alam yang kurang menguntungkan tersebut.
Selain alam, sejarah (tradisi) juga dapat memenjarakan kebebasan manusia. Tidak sedikit manusia yang mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Dalam masyarakat kita saksikan masih ada orang yang meyakini “warisan leluhur” tentang hari baik dan hari buruk seseorang. Kalau ini dilanggar, maka orang tersebut bisa celaka. Ada pula orang yang meyakini angka 13 sebagai angka sial, sehingga di hotel-hotel tidak terdapat kamar nomor 13. Ada pula yang percaya bahwa malam Jumat Kliwon adalah malam yang angker. Bahkan ada pula tradisi menguburkan kepala kerbau saat membuat bangunan atau jembatan. Ini adalah sisa-sisa kepercayaan animisme yang membelenggu kemerdekaan manusia.
Dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 170 dan Luqman ayat 21, Allah menyindir mereka sebagai pengikut nenek moyang yang tersesat dan pengikut setan yang mengajak mereka ke neraka. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah!” mereka menjawab,” (Tidak), tetapi kami (hanya) mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang kami.” Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala-nyala (neraka)?
Orang yang terpenjara oleh sejarah tidak akan pernah belajar dari sejarah tersebut. Bagi mereka, baik atau buruk adalah nenek moyang mereka sendiri. Mereka tidak dapat bersikap korektif terhadap nenek moyang, karena pikiran dan sikap mereka telah terbelenggu oleh kebesaran generasi sebelumnya. Orang yang terpenjara oleh sejarah bahkan berusaha mempertahankan kekeliruan-kekeliruan generasi sebelum mereka, karena mereka takut kualat kalau mempertanyakan-apalagi mennggugat atau merombak-tradisi nenek moyang sebelumnya, meskipun irasional dan out of date. Pertimbangan rasio dan nalar tidak mereka perhatikan untuk menapis dan mengkritisi benar atau salahnya pendahulu mereka. Orang yang terbelenggu oleh sejarah akan berpikir mundur dan sulit menatap perspektif ke depan.
Penjara lain yang tak kalah berbahaya adalah masyarakat. Manusia biasanya cenderung mengikuti arus yang berkembang dalam masyarakat. Sekarang, sudah hampir dua puluh tahun era reformasi, masyarakat membelenggu kita dengan berbagai isu yang menyesatkan. Kita dibuat tidak nyaman dengan situasi dan perkembangan sosial politik yang cenderung memanas. Ironisnya, kecemasan ini kadang-kadang ditambah pula dengan informasi sebagian media massa yang tidak fair, provokatif dan membawa “pesan sponsor”. Kita digiring kepada opini-opini yang membingungkan. Bahkan tidak jarang antara fakta dan opini dicampur aduk, sehingga semakin membingungkan kita.
Belenggu-belenggu di atas memenjarakan kita sehingga tidak mampu mempertahankan kemuliaan kita sebagai pribadi yang merdeka. Karena itu, Ramadan ini hendaknya menjadi bulan pencerahan kita untuk kembali kepada kemerdekaan kita yang hakiki. Puasa sebenarnya memberi energi yang besar mengembalikan kita kepada hakikat kita sebagai makhluk merdeka. Dengan puasa kita berusaha menjadi diri sendiri, terlepas dari kungkungan-kungkungan baik dari internal maupun eksternal diri kita. Semoga!