Oleh: Prof.Dr.Monang Sitorus,M.Si
KITA sangat prihatin mendengar, menonton dan membaca media cetak kejadian Rabu malam 24 Mei 2017, teror bom kembali menerpa negeri ini. Kali ini terjadi di terminal Kampung Melayu Jakarta Timur yang berakibat tiga orang anggota Polri gugur dan 15 orang lainnya luka-luka. Bom Kampung Melayu hanya berselang dua hari pascabom yang meledak di Manchester Inggris yang menewaskan 22 orang, bom di Bangkok yang melukai 24 orang, dan serangan ISIS di Marawi Philipina bagian selatan. Teror bom Kampung Melayu menuntut kita “kesadaran kolektif” agar tetap menjaga kewibawaan Pancasila dan NKRI.
Hari Kamis 1 Juni 2017 ini, merupakan hari kelahiran Pancasila sekaligus menuntut kita untuk memagari dan menjaga NKRI dari serangan apapun. Kejadian teror bom Kampung Melayu tentu saja sangat memprihatinkan dan wajib kita kecam, karena telah meneror rasa aman dan ketentraman warga, membunuh dan melukai anggota Polri serta warga masyarakat yang tidak berdosa, dan terjadi dua hari menjelang bulan yang agung dan suci, yaitu Ramadhan. Anak-anak bangsa Indonesia yang sudah berkorban harta nyawa dan keringat darah, melahirkan Pancasila sebagai landasan atau pedoman bertindak dalam kehidupan kita sehari-hari, tentu saja wajib kita jaga agar NKRI tetap jaya dan berkibar-kibar.
Sesungguhnya, bila kita renungkan kesaktian Pancasila tidak perlu lagi diragukan yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Oktober, dimana pada beberapa tahun lalu satu hari sebelumnya telah terjadi tragedi G30SPKI, dan syukur Negara kita tercinta Indonesia selamat dari upaya pemusnahan tersebut. Pada tanggal tersebut pemberontak berhasil menguasai dua sarana komunikasi yaitu RRI Pusat dan Pusat Telekomunikasi masing-masing di Jalan Merdeka Barat dan di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI pagi jam 07.20 dan jam 08.15. pemberontak mengumumkan tentang terbentuknya “Dewan Revolusi” di pusat dan di daerah-daerah. Dewan Revolusi merupakan sumber segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia. Juga diumumkan, gerakan tersebut ditujukan kepada “Jenderal-Jenderal” anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan coup terhadap pemerintah.
Terujinya kesaktian Pancasila tentu saja membuat kita tidak ragu lagi menjaga persatuan untuk melawan siapapun yang ingin merongrong kewibawaan Pancasila dan NKRI dan menjadikan Pancasila menjadi landasan atau pedoman bertindak dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini diperkuat oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila yang ditetapkan 1 Juni 2016. Keputusan Presiden itu menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila dan tanggal 1 Juni merupakan hari libur nasional. Latar belakang lahirnya Kepres itu tentu saja agar anak-anak bangsa memahami bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Terukurnya kesaktian Pancasila secara ilmiah juga diperkuat hasil survey yang dirilis Lembaga Survei Indonesia Denny JA yang dilansir harian Analisa 20 Mei 2017 pada halaman 7 menyajikan berita 75% responden menginginkan demokrasi Pancasila, 8.7% ingin negara Pancasila, 2.3% ingin demokrasi liberal, dan 15.9% tidak menjawab. Sebanyak 75% responden ingin pemerintah untuk menegaskan kembali komitmen menjadikan demokrasi Pancasila sebagai alat perekat. Bahkan ada responden sebanyak 68.7% mengatakan demokrasi Pancasila dimaksud bukan demokrasi Pancasila era Orde Baru. Survei itu juga melihat situasi nasional setelah Pilkada DKI 2017, ada sebanyak 72.5% responden tidak nyaman dengan berlanjutnya polarisasi masyarakat pro dan kontra Ahok. Kita patut mengapresiasi hasil survei tersebut untuk meyakinkan kita dan menegaskan kembali kepada kita betapa hebatnya dan pentingnya Pancasila itu sebagai alat perekat bangsa.
Sekali lagi mengapa harus ada Pancasila?, jika kita telusuri dalam literatur politik klasik, sesungguhnya negara dibentuk oleh manusia sebagai sebuah tuntutan “fitrah” manusiawi. Karena manusia menurut kodratnya merupakan zoon politikon, makhluk yang hidup dalam polis atau kota. Sehingga menurut Aristoteles (384 SM), suatu makhluk yang menurut kodratnya yang hidup dalam polis atau kota, pasti merupakan seekor binatang atau seorang dewa. Maksudnya, makhluk serupa itu bisa berada di bawah manusia atau bisa melebihi manusia, tetapi tidak merupakan seorang diri. Maka yang terjadi dalam hidup manusia adalah apa yang disebut filsuf Thomas Hobbes, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Dan kemasyarakatan manusia atau kehidupan sosial pun tidak lebih dari apa yang disebut darwinisme sosial. Darwinisme sosial, sebuah terminologi ala Darwin yang secara longgar untuk menafsirkan kemasyarakatan manusia yang terus bersaing dan berjuang sebagai layaknya binatang dengan insting hewaninya, bertarung menciptakan dan menggunakan istrumen konflik untuk mempertahankan eksistensinya dalam memperjuangkan keinginannya, sehingga yang terjadi adalah yang kuat memakan dan melumat yang lemah yang pada gilirannya bisa menimbulkan perpecahan sesama umat manusia. Disinilah pentingnya Pancasila sebagai alat perekat agar tidak terjadi perpecahan sesama anak bangsa di negeri ini.
Untuk menghindari situasi seperti itu, sejak jauh-jauh hari Protagoras (485 SM), seorang filsuf, mengatakan timbulnya negara sering kali diawali ketika manusia yang mulanya hidup sendiri mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai macam ancaman ketika memenuhi kebutuhannya. Artinya, kebutuhan manusia yang tidak terbatas itu tidak mungkin dapat dipenuhinya jika seorang diri. Maka ia mulai berkumpul dengan yang lainnya dalam polis atau kota-kota, dan kumpulan kota yang satu dengan kota lainnya, lalu mucullah negara, apakah itu negara kesatuan maupun negara federal. Indonesia telah memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati. Sejatinya, apa pun bentuknya negara yang dipilih warganya, sesungguhnya negara berdiri sebagai jawaban atas “fitrah” manusiawi untuk hidup bersama sebagai makhluk sosial, yang selalu didasarkan pada keadilan dan hormat pada orang lain dan saling menghargai sesama umat manusia dengan persaudaraan yang harmonis tanpa membeda-bedakan yang satu dengan yang lain.
Atau tujuan dibentuknya negara menurut Aristoteles berperan sebagai wahana membangun masyarakat yang berkeadaban berlandaskan pada hukum, persaudaraan, norma, maupun aturan sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi semua umat manusia dalam sebuah negara yang dibentuk. Dengan tujuan dan peran seperti itulah akhirnya lahir atau berdirilah berbagai negara modern dipenjuru dunia untuk melindungi dan mensejahterakan warganya dimanapun berada. Secara substansial akan tampak ada yang melindungi yaitu negara dan dilindungi yaitu rakyatnya.
Jika kita renungkan selama 72 tahun tepatnya 1 Juni 2017 sebagai hari kelahiran Pancasila sebagai dasar negara, dan pertama kali dirumuskan dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tampak bahwa filosofi Pancasila itu telah memiliki dimensi berakhlak mulia, bermartabat dan berbudaya. Maka cara membelanya harus dengan cara mulia, bermartabat dan berbudaya. Artinya, keliru kalau membela sesuatu yang mulia, bermartabat dan berbudaya dengan cara yang tidak terpuji. Kita berharap teror bom Kampung Melayu yang terjadi Rabu malam 24 Mei 2017 merupakan teror terakhir di negeri tercinta ini.
Hasil perjalanan perenungan filosofis di atas, maka para the founding fathers kita mendirikan negara Republik Indonesia tahun 1945, kemudian mereka menyusun Undang-Undang Dasar 1945 pada Pembukaan alinea keempat secara tegas dikatakan “... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam satu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Cita-cita realitas the founding fathers kita, penuh makna filosofis itu, bukan sekedar daftar timbunan kata-kata yang indah, dan enak dibaca dan diungkapkan, atau rangkaian idiologi yang gagah dan perkasa. Tegasnya, untuk mewujudkan pesan-pesan the founding fathers, kita harus menciptakan semangat persatuan dan persaudaraan serta kebangsaan yang sungguh-sungguh untuk menghadapi realitas hidup di negeri ini. Cita-cita di atas tentu saja hanya dapat diimplementasi dengan menggunakan Pancasila sebagai alat perekat bangsa. Tegasnya, tanpa Pancasila maka yang terjadi adalah yang kuat memakan dan melumat yang lemah akhirnya bisa menimbulkan perpecahan di negeri ini. Disinilah pentingnya Pancasila sebagai alat perekat agar tidak terjadi perpecahan di negara kita.
Akhir kata semoga hari peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 2017 menjadi momen penting untuk memperkukuh persaudaraan kita dan Pancasila benar-benar menjadi realitas dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan kita.***
Penulis guru besar Fisip Universitas HKBP Nommensen, promotor dan co-promotor (S-3) Pascasarjana Universitas Negeri Syiah Kualah Banda Aceh.