(Refleksi 72 Tahun Pancasila)

Pancasila Realitas Bangsa Indonesia

Oleh: Prof.Dr.Monang Sitorus,M.Si

KITA sangat prihatin mendengar, menonton dan mem­baca media cetak kejadian Rabu malam 24 Mei 2017, teror bom kembali mener­pa negeri ini. Kali ini terjadi di ter­minal Kampung Melayu Jakarta Timur yang bera­kibat tiga orang anggota Polri gugur dan 15 orang lainnya luka-luka. Bom Kampung Melayu hanya berselang dua hari pascabom yang meledak di Manchester Inggris yang menewaskan 22 orang, bom di Bangkok yang melukai 24 orang, dan serangan ISIS di Marawi Philipina bagian selatan. Teror bom Kampung Melayu menuntut kita “kesadaran kolektif” agar tetap menjaga kewibawaan Pancasila dan NKRI.

Hari Kamis 1 Juni 2017 ini, merupakan hari kelahiran Pancasila sekaligus menuntut kita untuk memagari dan  menjaga NKRI dari serangan apapun. Kejadian teror bom Kampung Melayu tentu saja sangat mempri­hatinkan dan wajib kita kecam, karena telah meneror rasa aman dan ketentraman warga, membunuh dan melukai anggota Polri serta warga masyarakat yang tidak berdosa, dan terjadi dua hari menjelang bulan yang agung dan suci, yaitu Ramadhan. Anak-anak bangsa  Indonesia yang  sudah berkorban harta nyawa dan keringat darah, melahirkan Pancasila sebagai landasan atau pedoman bertindak dalam kehidupan kita sehari-hari, tentu saja wajib kita jaga agar NKRI tetap jaya dan berkibar-kibar.

Sesungguhnya, bila kita renungkan kesak­tian Pancasila tidak perlu lagi diragukan yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Oktober, dimana pada beberapa tahun lalu satu hari sebelumnya telah terjadi tragedi G30SPKI, dan syukur Negara kita tercinta Indonesia selamat dari upaya pemusnahan tersebut. Pada tanggal tersebut pemberontak berhasil menguasai dua sarana komunikasi yaitu RRI Pusat dan Pusat Telekomunikasi masing-masing di Jalan Merdeka Barat dan di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI pagi jam 07.20 dan jam 08.15. pemberontak mengumumkan tentang terbentuknya “Dewan Revolusi” di pusat dan di daerah-daerah. Dewan Revolusi merupakan sumber segala kekua­saan dalam Negara Republik Indonesia. Juga diumum­kan, gerakan tersebut ditujukan kepada “Jen­deral-Jenderal” ang­gota Dewan Jenderal yang akan mengadakan coup terhadap pemerintah.

Terujinya kesaktian Pancasila tentu saja membuat kita tidak ragu lagi  menjaga persatuan untuk melawan siapapun yang ingin merongrong kewibawaan Pancasila dan NKRI dan menjadikan Pancasila menjadi lan­dasan atau pedoman bertindak dalam kehi­dupan kita sehari-hari. Hal ini diperkuat oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila yang ditetapkan 1 Juni 2016. Keputusan Presiden itu mene­tapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila dan tanggal  1 Juni merupakan hari libur nasional. Latar belakang lahirnya Kepres itu tentu saja agar anak-anak bangsa memahami bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamal­kan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne­gara.

Terukurnya kesaktian Pancasila secara ilmiah juga diper­kuat  hasil survey yang dirilis  Lembaga Survei Indonesia Denny JA yang dilansir harian Analisa 20 Mei 2017 pada halaman 7 menyajikan berita 75% responden menginginkan demokrasi Panca­sila, 8.7% ingin negara Pancasila, 2.3% ingin demokrasi liberal, dan 15.9% tidak menja­wab. Seba­nyak 75% responden ingin peme­rintah untuk menegaskan kembali komitmen menjadikan demokrasi Pancasila sebagai alat perekat. Bahkan ada responden sebanyak 68.7% me­ngatakan de­mokrasi Pancasila dimaksud bukan demo­krasi Pancasila era Orde Baru. Survei itu juga melihat situasi nasional setelah Pilkada DKI 2017, ada sebanyak 72.5% responden tidak nyaman dengan berlanjutnya polarisasi ma­syarakat pro dan kontra Ahok. Kita patut menga­presiasi hasil survei tersebut untuk meyakin­kan kita dan menegaskan kembali kepada kita betapa hebatnya dan pentingnya Pan­casila itu sebagai alat perekat bangsa.

Sekali lagi mengapa harus ada Pancasila?, jika kita  telusuri dalam literatur politik klasik, sesungguhnya negara dibentuk oleh manusia sebagai sebuah tuntutan “fitrah” manusiawi. Karena manusia menurut kodratnya meru­pakan zoon politikon, makhluk yang hidup dalam polis atau kota. Sehingga menurut Aristoteles (384 SM), suatu makhluk yang menurut kodratnya yang hidup dalam polis atau kota, pasti meru­pakan seekor binatang atau seorang dewa. Mak­sudnya, makhluk serupa itu bisa berada di bawah manusia atau bisa melebihi manusia, tetapi tidak meru­pakan seorang diri. Maka yang terjadi dalam hidup manusia adalah apa yang disebut filsuf Thomas Hobbes, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Dan ke­ma­syarakatan manusia atau kehidupan sosial pun tidak lebih dari apa yang disebut darwinisme sosial. Darwinisme sosial, sebuah terminologi ala Darwin yang secara longgar untuk menaf­sirkan kemasya­rakatan manusia yang terus bersaing dan ber­juang sebagai layaknya binatang dengan insting hewaninya, bertarung mencipta­kan dan menggunakan istru­men konflik untuk mem­perta­hankan eksisten­sinya dalam memper­juangkan keinginannya, sehingga yang terjadi ada­lah yang kuat memakan dan melumat yang lemah yang pada gilirannya bisa menim­bulkan perpecahan sesama umat manusia. Disinilah pentingnya Pancasila sebagai alat perekat agar tidak terjadi perpecahan  sesama anak bangsa di negeri ini.

Untuk menghindari situasi seperti itu,  sejak jauh-jauh hari Protagoras (485 SM), seorang filsuf, mengatakan tim­bulnya negara sering kali diawali ketika manusia yang mula­nya hidup sendiri mengalami kesulitan dalam meng­hadapi berbagai macam ancaman ketika memenuhi kebu­tuhannya. Artinya, kebu­tuhan manusia yang tidak terbatas itu tidak mungkin dapat dipenuhinya jika seorang diri. Maka ia mulai berkumpul dengan yang lainnya dalam polis atau kota-kota, dan kumpulan kota yang satu dengan kota lainnya, lalu mucullah negara, apakah itu negara kesatuan maupun negara federal. Indonesia telah memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati. Sejatinya, apa pun bentuknya negara yang dipilih warganya, sesungguhnya negara berdiri sebagai jawaban atas “fitrah” manusiawi untuk hidup bersama sebagai makhluk sosial, yang selalu didasarkan pada keadilan dan hormat pada orang lain dan saling menghargai sesama umat manusia dengan persaudaraan yang harmonis tanpa membeda-beda­kan yang satu dengan yang lain.

Atau tujuan dibentuknya negara menurut Aristoteles berperan sebagai wahana membangun ma­sya­rakat yang ber­keadaban berlan­daskan pada hukum, persaudaraan, norma, mau­pun aturan sehingga tercipta keadilan dan kese­jahteraan bagi semua umat manusia dalam sebuah negara yang dibentuk. Dengan tujuan dan peran seperti itulah akhirnya lahir atau berdirilah berbagai negara modern dipen­juru dunia untuk melindungi dan men­sejahterakan warganya dimanapun berada.  Secara sub­stansial  akan tampak ada yang melindungi yaitu negara dan dilin­dungi yaitu rakyatnya.

Jika kita renungkan selama 72 tahun tepatnya  1 Juni 2017 sebagai hari kelahiran Pancasila sebagai dasar negara, dan  pertama kali dirumuskan dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemer­dekaan Indonesia), tampak bahwa filosofi Pancasila itu  telah memiliki dimensi berakhlak mulia, ber­martabat dan berbudaya. Maka cara membelanya harus dengan cara mu­lia, bermartabat dan  berbudaya. Artinya, keliru kalau mem­bela sesuatu yang mulia, bermartabat dan berbudaya  dengan cara yang tidak terpuji. Kita berharap teror bom Kampung Melayu yang terjadi Rabu malam 24 Mei 2017 merupakan teror terakhir di negeri tercinta ini.

Hasil perjalanan perenungan filosofis di atas, maka para the founding fathers kita mendirikan negara Republik Indonesia tahun 1945, kemudian mereka menyusun Undang-Undang Dasar 1945 pada Pembukaan alinea keempat  secara tegas dikatakan “... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejah­teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melak­sanakan ketertiban dunia yang berdasarkan ke­merdekaan, perda­maian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar nega­ra Indonesia, yang ter­bentuk dalam satu susunan negara Republik Indonesia yang berke­daulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema­nusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerak­yatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per­musya­waratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Cita-cita realitas the founding fathers  kita, penuh makna filosofis itu, bukan sekedar daftar timbunan kata-kata yang indah, dan enak dibaca dan diungkapkan, atau rangkaian idio­logi yang gagah dan perkasa. Tegasnya, untuk mewu­judkan pesan-pesan the founding fathers, kita harus menciptakan semangat persatuan dan persau­daraan serta  kebangsaan  yang sungguh-sungguh untuk mengha­dapi reali­tas hidup di negeri ini. Cita-cita di atas tentu saja hanya da­pat diimplementasi dengan menggunakan Pancasila sebagai alat perekat bangsa. Tegasnya, tanpa Pancasila maka yang terjadi adalah yang kuat memakan dan melumat yang lemah akhirnya bisa menim­bulkan perpecahan di negeri ini.  Disi­nilah pentingnya Pancasila sebagai alat perekat agar tidak terjadi perpecahan di negara kita.

Akhir kata semoga hari peringa­tan lahirnya Pancasila 1 Juni 2017 menjadi momen penting untuk memperkukuh per­saudaraan kita dan Pancasila  benar-benar menjadi realitas dalam kehidupan sehari-hari dalam  berbagai aspek kehidupan kita.***

Penulis guru besar Fisip Universitas HKBP Nommensen,  promotor dan co-promotor (S-3) Pascasarjana Universitas Negeri Syiah Kualah Banda Aceh.

()

Baca Juga

Rekomendasi