Oleh: Hasan Sitorus
DALAM kegiatan talk show bertajuk : “Danau Toba Terjaga, Pariwisata Terpelihara, Masyarakat Sejahtera” dalam rangka Dies Natalis ke VIII Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Universitas Sumatera Utara (USU) pada tanggal 17 Mei 2017 menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek, tidak perlu menerapkan konsep Danau Toba Zero Keramba Jaring Apung (Zero KJA), dengan berbagai pertimbangan sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitar Danau Toba. Tetapi dalam jangka panjang ke depan, kegiatan KJA harus dibersihkan dari Danau Toba untuk mendukung program pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional.
Oleh sebab itu, dalam jangka pendek perlu dilakukan penataan Danau Toba untuk kegiatan KJA. Penanataan bermakna melakukan pengurangan jumlah unit KJA dan proses zonasi perairan untuk kegiatan KJA. Hal ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan kapasitas daya dukung (carrying capacity) ekosistem Danau Toba terhadap kegiatan budidaya ikan dengan sistem KJA. Atau dengan kata lain, perlu dilakukan upaya untuk menjaga keseimbangan aspek ekonomi dan ekologi Danau Toba.
Hal ini selaras dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 188.44/213/KPTS/2017 tanggal 3 Mei 2017 yang menyatakan bahwa produksi ikan budidaya Danau Toba dipatok 10,000 ton per tahun. Berarti telah terjadi kelebihan produksi sekitar 40.000 ton/tahun dari rekomendasi Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar 50.000/tahun untuk kegiatan budidaya ikan di Danau Toba. Juga bermakna sudah terjadi kelebihan sekitar 15.000 unit KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba, karena berdasarkan rekomendasi SK Gubsu tersebut hanya dipebolehkan jumlah KJA setara 5.000 unit, sedangkan KJA yang ada sekarang ini sudah mencapai 20.000 unit.
KJA masyarakat berada di 9 titik yakni Silalahi II, Silalahi III, Paropo, Tongging, Haranggaol, Tigaras, Panahatan, Sibaganding, dan Soalan, sedangkan KJA perusahaan berada di 5 titik yakni Panahatan, Sirungkungon, Silimalombu, Lontung, dan Pangambatan.
Keseimbangan Ekonomi dan Ekologi
Tidak ada yang membantah bahwa kegiatan KJA di Danau Toba dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, dan bahkan ada yang menyatakan bahwa kegiatan perikanan KJA di danau tersebut telah mengentaskan kemiskinan masyarakat sekitar Danau Toba. Selain itu, usaha KJA itu telah berkontribusi terhadap suplai kebutuhan ikan air tawar di wilayah Sumatera Utara. Produksi ikan budidaya dari Danau Toba Tahun 2015 mencapai 82.000 ton, dan tahun 2016 sebanyak 64.000 ton. Bila harga ikan rata-rata Rp 20.000/kg, maka dalam satu tahun diperoleh penerimaan (revenue) dari kegiatan budidaya ikan di Danau Toba sekitar Rp 1,2 triliun/tahun.
Bila jumlah KJA yang beroperasi mencapai 20.000 unit, dan untuk 2 unit KJA dapat dikelola 1 orang tenaga kerja, maka kegiatan budidaya itu dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 10.000 orang. Berarti setiap orang yang terlibat dalam kegiatan budidaya ikan di Danau Toba rata-rata memperoleh penerimaan sekitar Rp 60 juta/tahun atau sekitar Rp 5 juta/bulan.
Angka ini memberikan gambaran bahwa usaha kegiatan budidaya ikan di Danau Toba mempunyai prospek yang cerah, Tidak mengherankan bila banyak masyarakat dan investor dalam dan luar negeri yang tertarik untuk menanamkan modalnya untuk kegiatan budidaya ikan di Danau Toba.
Namun harus kita sadari bahwa kelestarian Danau Toba juga penting, karena usaha budidaya itu pasti menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas air Danau Toba, yakni terjadinya pencemaran air dan berubahnya status mutu trofik air yang merangsang berkembangnya tumbuhan air Eceng Gondok, berkembangnya mikroba yang menyebabkan penyakit gatal-gatal, dan ancaman munculnya gas beracun seperti amoniak, metan dan asam sulfide yang justru dapat mematikan ikan alami dan ikan budidaya di perairan itu. Bahkan secara ekologis, perubahan kualitas air danau dapat mendorong berkembangnya jenis-jenis hewan air yang tidak kita kehendaki kehadirannya seperti munculnya populasi lintah, ikan predator dan punahnya jenis ikan asli habitat Danau Toba.
Dalam kondisi ekologis normal sebagaimana sedia kala, status trofik air Danau Toba termasuk Oligotrofik (danau tidak subur), habitat Ikan Batak (Neolissochilus thienemanni), Ikan Pora-Pora ((Puntius binotatus), Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Mujair (Oreochromis mossambica). Sedangkan kemunculan Ikan Bilih ((Mystacoleucus padangensis), Ikan Nila (Oreochromis niloticus), Ikan Jurung (Tor sp), Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella), Ikan Kaca-Kaca (Chana sp) dan Udang Putih (Penaeus marguiensis) adalah hasil intervensi manusia terhadap ekosistem Danau Toba.
Akibat intervensi manusia yang mengintroduksi berbagai spesies baru ke Danau Toba, maka Ikan Batak, Ikan Pora-Pora dan Ikan Mas sudah sulit ditemukan di perairan Danau Toba. Terlebih-lebih dengan berubahnya kualitas air danau sekarang ini akibat limbah budidaya ikan, limbah domestik, limbah industri, limbah ternak dan lain-lain, menyebabkan jenis ikan asli yang mendukung perikanan tangkap di Danau Toba berada dalam kondisi terancam punah.
Disisi lain, perubahan kualitas air Danau Toba pasti berdampak negatif terhadap aktivitas pariwisata Danau Toba, khususnya aktivitas rekreasi air dan wisata pantai. Oleh sebab itulah, salah satu pertimbangan dalam penerbitan SK Gubsu tersebut adalah terjadinya perubahan mutu air Danau Toba, dimana pada tahun 1996 dinyatakan masih berstatus baik, dan tahun 2016 sudah menjadi tercemar berat.
Suatu hal yang perlu dicatat, bila limbah masuk ke dalam Danau Toba, diperlukan waktu 77 tahun agar limbah itu keluar dari Danau Toba. Artinya, limbah yang masuk ke dalam danau akan memiliki waktu tinggal (residence time) yang sangat lama karena laju pergantian massa air danau (water flushing rate) yang rendah, sehingga bila kadar limbah tinggi maka dampaknya pasti sangat signifikan. Oleh sebab itu, perlu upaya untuk menjaga keseimbangan faktor ekologi dan ekonomi pemanfaatan Danau Toba.
Untuk menyeimbangkan aspek ekonomi dan ekologi Danau Toba, maka langkah yang paling realistis dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah menetapkan zonasi perairan untuk kegiatan budidaya ikan. Semua KJA yang beroperasi harus dipindahkan ke zonasi budidaya yang telah ditetapkan pemerintah, baik milik masyarakat maupun milik perusahaan. Langkah ini dapat mengurangi unit KJA di Danau Toba karena ada kemungkinan lokasi zonasi budidaya tidak lagi dekat dengan pemukiman sehingga banyak warga akan tarik diri dari kegiatan budidaya ikan. Pemindahan KJA ke zonasi tersebut, selain bermanfaat untuk pengendalian jumlah KJA yang beroperasi juga sekaligus akan meningkatkan nilai estetika perairan yang mendukung pengembangan pariwisata Danau Toba.
Langkah berikutnya adalah menjalankan SK Gubsu Nomor: 188.44/213/KPTS/2017, yang mematok produksi ikan budidaya dari Danau Toba sebesar 10.000 ton/tahun. Dalam hal ini penulis menyarankan agar KJA milik perusahaan yang pertama direduksi atau dieliminasi, sedangkan KJA masyarakat lokal masih dapat beroperasi di zonasi yang telah ditetapkan dengan jumlah maksimum 5.000 unit KJA.
Pertimbangan dalam pengurangan unit KJA di Danau Toba adalah potensi pencemaran air danau akibat limbah sisa pakan proses budidaya, besarnya kontribusi kegiatan budidaya terhadap penerimaan daerah dan upaya pelestarian Danau Toba, dan aspek sosial ekonomi masyarakat yang bermukim di sekitar Danau Toba.
Peran Strategis BPODT
Mengingat kawasan Danau Toba telah ditetapkan sebagai kawasan stategis nasional, maka kebijakan pemerintah pusat dengan membentuk Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) diharapkan dapat mengembangkan kawasan ini menjadi destinasi wisata berkelas dunia. Hal mendasar yang harus dilakukan BPODT adalah merubah pola pikir (mind set) masyarakat lokal bahwa usaha di sektor pariwisata di daerah ini mempunyai prospek yang cerah di masa mendatang dan dapat dijadikan sebagai andalan sumber mata pencaharian, sehingga masyarakat yang selama ini melakukan aktivitas budidaya ikan di perairan Danau Toba dapat beralih kegiatannya menjadi pelaku usaha yang bergerak di bidang pariwisata.
Alasan rasional adalah bila kawasan Dana Toba berkembang menjadi destinasi wisata bertaraf internasional, maka efek multiplier dari sektor pariwisata akan mendorong berkembangnya ekonomi kreatif di sekitar Danau Toba. Menurut Direktur Industri Pariwisata dan Kelembagaan Kepariwisataan BPODT, penerimaan dari sektor pariwisata bila berkembang dengan baik dapat mencapai Rp 30 triliun/tahun, bandingkan dengan besarnya penerimaan dari usaha KJA hanya sebesar Rp 1,2 triliun/tahun.
Oleh sebab itu, untuk jangka panjang lembaga BPOD mempunyai peran strategis dalam mengubah cara pandang masyarakat lokal terhadap kegiatan wisata Danau Toba. Dalam kondisi eksisting sekarang ini, masyarakat banyak menilai dan berpandangan bahwa sektor pariwisata itu tidak berprospek cerah. Alasannya masuk akal karena kegiatan wisata hanya signifikan berlangsung pada hari tertentu saja, sedangkan sehari-harinya tidak tampak.
Inilah tantangan BPODT ke depan, bagaimana program-program yang disusun dan dilaksanakan di lapangan dapat menghidupkan aktivitas wisata yang berlangsung setiap hari sepanjang tahun dan merangsang berkembangnya ekonomi kreatif di daerah tersebut. Kita yakin dan percaya bahwa lembaga yang telah dibentuk pemerintah itu akan mampu mengimplementasikan program yang telah ditetapkan dalam cetak biru BPODT mulai jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dengan pembiayaan yang bersumber dari APBN, sektor swasta dan investasi asing.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari lembaga BPODT adalah bahwa masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan dalam rangka pengembangan kawasan wisata Danau Toba haruslah terlibat mulai dari perencanaan program, implementasi dan pengawasan program, sehingga masyarakat merasa ikut berperan dan mendukung program BPODT. Kondisi ini akan memungkinkan masyarakat dapat diajak berdialog dengan satu tujuan mereka akan mendukung program Zero KJA dalam jangka panjang ke depan, sehingga cita-cita Danau Toba sebagai salah satu ‘Bali Baru’ akan terwujud. Semoga. ***
Penulis adalah Dosen Tetap di Universitas HKBP Nommensen Medan.