Belajar Hikmah pada Orang Gila

MANUSIA tidak lepas dari dimensi moral-spiritual di setiap melalakukan intraksi baik secara vertikal maupun horizontal yang hampir tidak mendapat tempat di hati masing-masing pemeluknya. Kita lihat saja fenomena yang tampak kasat mata, tidak jarang di kalangan umat menebar kebencian dengan saling serang (balas dendam) bernada provokasi yang berlomba-lomba mencari simpati publik.

Sangat tepat jika era saat ini kita sebut “Zaman edan (gila)”. Sebagaimana pernah dilontarkan oleh Prabu Jayabaya, disebut zaman edan (gila) lantaran kita sedang di zaman yang sedang gonjang-ganjing dalam menyaksikan hiruk pikuknya zaman yang gila tidak ikut gila tidak dapat bagian yang sehat pada olah pikir masyarakat karena dibelenggu para pembohong bersuka ria, namun berun­tunglah bagi yang lupa, masih beruntung yang ingat dan waspada.

Kata kunci “Ingat dan waspada” terekam dalam sebuah karya seorang ahli tafsir dan hadis, sejarawan sekaligus sastrawan ter­kemuka di zamannya. Yakni, Abu al-Qosim an-Naisaburi (w. 1016 M) dengan judul Kitab Kebijaksanaan Orang-orang Gila (diterjemah­kan dari Uqala` al-Majanin) karya masterpiece tentang sejarah kegilaan dalam Islam (psikologi sufi), yang ditulis lebih dari 1.000 tahun yang silam usianya 400 tahun lebih tua dari Kisah 1001 Malam (hlm. Iv).

Membaca buku ini, kita berekreasi pada lautan samudera hikmah para waliyullah yang gila akan Tuhannya dan bahkan tidak jarang dianggap gila oleh sesamanya, yaitu manusia. Sangat tepat jika, seorang guru sufi termasyhur, Ibnu arabi, menjelaskan bahwa dalam diri seseorang sufi terdapat empat tahap pengala­man dan pemahaman; syari’ah (hukum­keagamaan eksoterik), thariqah (jalan mistik), haqiqah (kebenaran) dan ma’rifah (penge­tahuan).

Tokoh yang diceritakan dalam kitab ini bukanlah tokoh fiktif, tapi nyata yang terekam dalam sejarah Islam yang telah dianggap mampu menempuh salah satu esensi syari’ah, thariqah, haqiqah dan ma’rifah. Tentu, mereka ini bukanlah orang-orang gila biasa. Mereka sosok-sosok yang cerdas, jenius, memiliki akal yang tajam, penuh dengan kata-kata hikmah, bahkan seringkali dianggap sebagai Wali yang nyeleneh oleh sebagian banyak orang. Sebut saja, Uwais al-Qarni, Qois si Majnun, Sadun, Buhlul, Salmunah si Wanita Gila, dll (hlm. Vi).

Dalam cerita Uwais al-Qarni, pemuda Yaman. Beliau tidak dikenali dan miskin bahkan malah banyak orang yang suka dengan mentertawakannya, mengejek-ejeknya, dan menuduhnya sebagai pencuri serta bermacam lagi penghinaan dilemparkan kepadanya. Namun siapa sangka, ia adalah penghuni langit yang bersebunyi di balik tipuan awan. Ia tidak pernah sedikitpun lalai membaca al-Quran, taat kepada orang tuan dan senantiasa menangis karena ketaqwaannya kepada Allah. Pakaiannya hanya dua helai saja, sudah terlalu lusuh untuk dipakai sehingga tidak ada orang yang menghiraukannya.

Secara mengejutkan, Rasulullah saw bersabda: Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah bahawa ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya. Sesudah itu baginda saw, meman­dang kepada Sayyidina Ali k.w. dan Sayyidina Umar r.a. lalu bersabda: Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya untuk kalian karena dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi. (hlm. 200)

Berkenalan dengan tokoh-tokoh agung yang dianggap gila-dalam buku ini-kita digiring agar selalu berendah hati kepada pada siapapun karena mengambil hikmah yang kebijaksana bisa dapat kita ambil dari manapun, bahkan sekalipun dari orang-orang yang dianggap gila. Pepatah mengatakan “lihatlah apa yang diucap­kan, dan jangan melihat siapa yang mengucap­kan”. Tidak menutup kemung­kinan, cerita-cerita serupa dalam buku ini hadir di lingkungan kita sekitar, maka berbaik-baiklah kepada orang gila.

Peresensi: Abdul Gaffar, Mahasiswa Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam (PPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

()

Baca Juga

Rekomendasi