Ngopi Sembari Nguping Isu Politik Lokal

Oleh: J Anto. AWALNYA kedai kopi hadir sebagai tempat orang bersantai setelah lelah bekerja, sembari bercengkrama dengan kerabat atau pengunjung lain. Namun dalam perkembangannya, kedai kopi di Pematangsiantar tak lagi sekadar memerankan sebagai ruang sosialita, tapi juga pusat untuk 'menguping' dinamika politik lokal sekaligus kerap jadi media mobilisasi sumberdaya politik.

Di tengah wawancara, Jumat (23/6) siang itu, Lim Ming tiba-tiba berbisik, "Itu yang duduk di belakang, orang yang pakai topi adalah salah satu tokoh politik penting di DPRD Pematangsiantar. Dia lagi galau sekarang ini." 

Di kedai kopi berukuran sekitar 4 x 10 meter, siang itu jadi terasa lebih bising. Aroma asap rokok menyambar bulu-bulu hidung. Puluhan meja kursi stainless, sudah terisi penuh. Orang-orang membentuk kelompok sendiri-sendiri. Ditemani bergelas-gelas kopi hitam, kopi susu atau teh manis dingin, dan berbagai camilan, tenggelam dengan tema obrolan masing-masing. 

Dari lalu lintas di samping dan depan kedai, terdengar suara knalpot kendaraan yang lalu lalang saling bersahutan ditingkahi lengking peluit yang ditiup tukang parkir. Namun obrolan orang-orang di kedai seolah tak terganggu sama sekali.  

"Beginilah suasana kedai kopi kami sehari-hari. Kalau ditanya kapan hari paling ramai, saya tak bisa jawab, karena bisa dibilang ramai terus," ujar Lim Ming diiringi senyumnya. 

Kedai kopi itu terletak di simpang antara Jalan Cipto dan Jalan Pematang. Masyarakat Siantar, juga orang-orang yang tengah dalam perjalanan ke Danau Toba, mampir ke kedai itu. Tak salah lagi, inilah Kedai Kopi Massa Kok Tong. Kedai kopi tertua di Pematangsiantar. Umurnya lebih tua dari usia republik. Kedai kopi lain yang juga berusia tak terpaut jauh adalah Kedai Kopi Sedap yang terletak di Jalan Sutomo. 

Lim Ming, tak lain adalah si pemilik kedai kopi itu. Bertubuh tambun dan banyak mengumbar senyum, ia lalu kembali berbisik, menyebut nama orang yang disinggungnya dan kedudukannya di lembaga legislatif Pematangsiantar. Tangan kanan pria kelahiran 1960 itu lalu menyambar kuping gelasnya dan kemudian menyeruput kopi hitam yang tinggal separoh itu. 

"Galau, kenapa galau?"

"Karena lagi disoal kedudukan politiknya oleh teman separtainya, itu kabar yang terdengar," katanya. 

Relasi Sosial dan Politik

Begitulah, sekalipun era banjir informasi telah lama terjadi dan piranti media komunikasi berbasis internet makin masif mendatangi masyarakat dengan ragam informasi, tak terkecuali politik di Pematangsiantar, namun pesona kedai kopi sebagai tempat untuk 'menguping' dinamika politik lokal seolah tak pernah tergantikan. Termasuk bagi para pendatang dari luar kota yang ingin mencari gosip politik terbaru di kota itu. 

Seorang pengacara, Daulat Sihombing, menyebut kedai kopi di Siantar sejak lama memang tak sekadar jadi media untuk membangun relasi sosial, tapi juga relasi politik, bahkan untuk mobilisasi politik. Bahkan Ganda Hutahaean (35), seorang jurnalis, tak menampik  beredarnya kelakar politik yang mengatakan bahwa, "Walikota Siantar diangkat dan diberhentikan dari kedai kopi." 

Guyon politik itu merujuk kisah seorang walikota yang diberhentikan di ‘tengah jalan’ oleh lawan-lawan politik mereka di dewan. Dikabarkan, lawan politik walikota itu merancang skenario dan konsolidasi politik ‘penjatuhan’ di kedai kopi. Sementara si walikota itu sendiri sebelum terpilih,  tergolong sering datang ke sejumlah kedai kopi saat masa pemilihan. 

"Tapi itu kasuistik sifatnya. Siantar memang tak banyak memiliki ruang publik alternatif, kedai kopi pilihannya, selain kedai tuak yang tak banyak diekpos media selama ini," tambah Ganda Hutahaean. 

Keduanya ditemui di Kedai Massa Kok Tong Senin (19/6) sore. Banyak yang menyebut Siantar sebagai kota kedai kopi. Sebutan ini memang tak berlebihan. Juga bukannya tak memiliki klaim sejarah.

Jika ditilik dari tahun berdiri Kedai Kopi seperti Massa Kok Tong (1925) dan Sedap (1935) misalnya, usia kedua kedai kopi itu sudah hampir mendekati satu abad. Sudah lebih tua dari umur republik ini. Kedua kedai kopi itu kini dikelola generasi ketiga. Bahkan ada yang telah dikelola generasi keempat. Ini karena bisnis kedai kopi tak hanya awet bertahan, tapi telah beranak-pinak merambah ke kota lain dan dikelola para buyut. 

Saat ini di Siantar ada seratusan  kedai kopi. Bisnis kedai kopi masif berkembang paskareformasi 1998. Menunya makin beragam, termasuk kulinernya. Disain interornya makin trendy, fasilitasnya juga makin canggih. Meski begitu, tetap ada  kedai kopi yang bertahan dengan konsep lama. Hanya menyajikan racikan kopi yang rasanya telah melegenda  dan membuat ketagihan pelanggan.

Eksistensi Diri

Bagi masyarakat Siantar, kedai kopi memang seolah telah jadi bagian hidup mereka. Menurut Daulat Sihombing, selain harganya masih terjangkau kantong masyarakat, kedai kopi juga telah menjadi media untuk menunjukkan eksistensi seseorang. 

"Sekalipun mungkin seseorang ke kedai kopi bukan untuk ngopi, tapi mereka tetap datang lebih sebagai kebutuhan untuk menunjukkan bahwa ia masih ada, masih eksis," tutur aktivis buruh yang pernah merasakan dinginnya terali besi penjara rezim orde baru itu. 

Ia lalu memberi contoh dirinya. Setelah tak lagi aktif di pergerakan NGO, ia kemudian membuka praktik pengacara. Ia bukan seorang penyuka kopi. Tapi ia selalu memerlukan pergi ke kedai kopi setiap pekan. Sekadar bertegur sapa dengan teman, mantan klien atau kerabat. Istilahnya untuk say hello sembari menunjukkan jika masih aktif sebagai pengacara.

Saat membuat janji pertama dengan calon klien, magister hukum pidana (2009) dari Universitas Muhammadyah Sumut itu, juga memilih kedai kopi sebagai tempat pertemuan. Menurutnya, suasana kedai yang santai membuat calon klien bisa lebih mengungkapkan masalah lebih santai. Jika tercapai perikatan kerjasama, maka pembicaraan dilanjutkan di kantornya. 

Ganda Hutahaen sepakat bahwa harga segelas kopi di Siantar memang tak terlalu menguras isi kantong. Bahkan menurutnya, orang bisa minum kopi satu gelas, tapi ngobrolnya bebas berjam-jam sesuai kebutuhan. Bagi jurnalis Siantar yang kerap berposko di kedai kopi, mereka juga punya keuntung lain. Bisa dapat internet gratis. 

Sumber Liputan

"Di kedai kopi, jurnalis juga biasanya berbagi cerita tentang liputan yang mereka lakukan seharian," ujarnya yang mengelola sebuah media online berbasis konten lokal. Bagi jurnalis yang bertugas di Siantar, kedai kopi juga sumber liputan. Itu bak air sumur yang tak pernah kering. Maklum, anggota dewan, eksekutif, politisi kerap nongol di sana. Jika beruntung  mereka kadang  bisa jumpa pejabat tinggi atau bahkan pembesar negeri. Mulai dari menteri, bupati, walikota, anggota dewan, sampai politisi selibritas dari Jakarta yang mampir di Siantar.

"Pak Oegroseno kalau singgah di Siantar, biasanya manpir ke kedai kami," tutur Budiman Ho, pemilik Kedai Kopi Sedap di Jalan Sutomo. Oegroseno yang dimaksudnya, tak lain adalah Komjen Pol (Purn) Oegroseno, mantan Kapoldasu dan mantan Wakapolri itu. Memang, sudah tak terhitung petinggi negara yang pernah ngopi dan menikmati roti panggang berlapis srikaya tipis yang khas kedai ini. 

"Saya dulu pertama kali berkenalan dengan RE Siahaan saat aktif sebagai walikota juga lewat kedai kopi ini, " ujar Berry CWT, tokoh masyarakat Tionghoa Siantar yang menginisiasi pembangunan vihara Fuk Lian Thang. Ia juga menyebut Marim Purba, almarhum Hulman Sitorus, dan mantan Bupati Simalungun alm. Jabanten Damanik, yang ditemui saat ngopi di kedai kopi kesukaan masing-masing. 

Menurut Lim Ming, kebiasaan nongkrong di kedai kopi bersifat lintas etnis dan lintas profesi. Semua profesi mudah dijumpai di kedai kopi, mulai dari bupati, walikota, PNS, karyawan kantor, tukang becak sampai politikus. Saat ngopi posisi mereka juga setara. Tak ada perlakuan istimewa, bahkan terhadap pejabat penting sekalipun. Bagi pemilik kedai kopi, mereka memang datang sebagai penikmat kopi, bukan untuk urusan lain. Karena itu tak ada sambutan khusus yang harus dipersiapkan. Bahkan untuk urusan pembayaran juga tak ada istilah gratis. 

Ada juga rasa kebersamaan saat orang berada di kedai kopi. Lim Ming memberi contoh posisi tempat duduk pengunjung. Jika sebuah meja dengan empat kursi hanya diduduki 3 orang, sekalipun mereka satu rombongan, namun jika ada orang lain yang hendak bergabung di kursi yang masih kosong, hal itu tak bisa dielakkan. Di kedai kopinya, orang juga mengambil posisi leluasa seperti diinginkan. Kadang dijumpai ada yang duduk sembari menyilangkan kaki. Yang penting bisa membuat obrolan jadi gayeng.

Dalam amatan Ganda Hutahean, masyarakat Siantar memang tipe masyarakat komunal. Sekalipun tinggal di kota, mereka tetap suka bergerombol. Kedai kopi serta tuak adalah ruang yang mampu mewadahi. “Cuma sekarang, kedai tuak tersingkir ke pinggir-pinggir kota, walau komunitas penggemarnya masih ada. Obrolan politiknya bahkan lebih kencang, mungkin pengaruh tuak.” 

Hampir Seabad

Sekalipun Siantar menyandang predikat kota kedai kopi, namun kedai kopi yang memiliki umur panjang boleh dihitung jari. Di antara yang sedikit, seperti disinggung sebelumnya adalah Kedai Kopi Massa Kong Tong dan Kedai Kopi Sedap.  Kedua kedai kopi tersebut banyak mendapat liputan  media massa lokal dan nasional. Tentu tak hanya karena faktor usia, tapi juga racikan kopi mereka yang rasanya dinilai maknyus bagi penikmat kopi. 

Kedai Kopi Massa Kok Tong didirikan pada 1925 oleh Lim Tee Kee, kakek dari Lim Ming dan ayah dari Lim Kok Tong. Lim Kok Tong sendiri adalah ayah dari Lim Ming. Lim Tee Kee merupakan imigran Tiongkok yang berasal dari Hokciu, Provinsi Hokkien. Sebelum sampai di Pematangsiantar, Lim Tee Kee lebih dulu tinggal di Singapura. Di sana ia berjualan rokok. Singapura saat itu masih merupakan wilayah kumuh. Dari Singapura Lim Kee Tee meneruskan perjalanan ke Sibolga sampai akhirnya menetap di Pematangsiantar. 

Pada 1925 bersamaan hari pertama Imlek, Lim Kee Tee membuka tiga usaha kedai kopi sekaligus . Namanya Heng Seng artinya Jaya Abadi. Dua kedai kopi lain yaitu Heng Seng Can dan Heng Hon yang dikelola adik-adiknya. Saat itu Jalan Cipto, lokasi kedai mereka, masih banyak tanah kosong. Pepohonan juga masih rimbun. Kawasan itu banyak ditempati orang Tamil dan orang-orang Konghu dan suku Tionghoa lain. Orang-orang Konghu saat itu dikenal banyak bekerja sebagai tukang bangunan dan perajin emas. 

"Jadi menurut kakek, dulu banyak orang Konghu yang sering bertandang ke kedai kopi Heng Seng," tutur Lim Ming bapak dari 4 anak itu.  Pada 1970-an, saat kedai kopi dikelola oleh Lim Kok Tong, anak Lim Kee Tee, muncul kebijakan nasionalisasi. Nama-nama asing dilarang digunakan. Kedai kopi Heng Seng pun berubah jadi Kedai Kopi Massa. Namun dalam perjalanan waktu, masyarakat Siantar, para penikmat kopi lebih mengenal nama kedai kopi sebagai Kok Tong,  nama si pemilik kedai. Nama Kok Tong akhirnya lebih lekat di ingatan masyarakat dibanding Massa Kok Tong.

Bagi jurnalis seperti Ganda Hutahaean, hal itu tak lepas dari pengaruh pemberitaan media massa yang telah berjasa menciptakan kedai kopi menjadi ikon kuliner khas masyarakat Siantar. 

Hingga kini, kedai ini telah membuka cabang di beberapa lokasi Medan dan Jakarta. Ada yang sifatnya berpatungan dengan pemodal lain, ada yang milik sendiri. Cabang yang sahamnya seratus persen dimiliki sendiri, dimiliki generasi penerus keempat, alias para buyut. Pilihan namanya menggabungkan nama generasi ketiga dan kedua. 

“Maka jadilah kini ada Kedai Kopi Lim Ming Massa Kok Tong. Yang disajikan tak lagi melulu kopi dan kopi susu, tapi juga kuliner lain,” ujar Lim Ming yang juga aktif di perkumpulan Buddha Tzuchi Siantar itu. 

Gurih dan Renyah 

Kedai Kopi Sedap, dulunya bernama Kedai Kopi King Goan Jong, berdiri sejak 1939. Letaknya di Jalan Merdeka, bersebelahan dengan Toko Roti Ganda. Setelah peristiwa Gestok 1965 lalu berubah jadi Kedai Kopi Sedap. Pendirinya adalah Kho Fei Long, kakek Budiman Ho. Sebelum membuka kedai kopi sendiri, Kho Fei Long pernah bekerja di kedai kopi lain. 

Saat Kho Fei Long meninggal, ayah Budiman Ho, saat itu betumur 15 tahun, lalu meneruskan usaha kedai kopi tersebut. Budiman Ho sendiri meneruskan estafet usaha milik keluarganya saat berumur 20 tahun sampai hari ini. Belum ada anaknya yang tertarik meneruskan bisnisnya. 

"Menurut cetita kakek, dulu di Jalan Merdeka ada sekitar 19 kedai kopi. Tapi sekarang yang tinggal hanya dua kedai," tuturnya. Kedai kopi cukup ramai karena saat itu masih ada stasiun taksi. Namanya Taksi Bidadari, melayani rute Siantar - Medan.  

Menurutnya, orang-orang yang datang ke kedai kopinya, tak hanya ingin menikmati kopi hitam racikannya, tapi juga roti panggang dipadu olesan srikaya. Roti panggang itu garing, gurih, renyah serta manis khas srikaya. Kuliner ini jadi menu pendamping saat menyeruput kopi. Ini juga yang membuat kedai tersebut jadi tempat favorit sejumlah pelanggan. 

"Minum kopi dan makan roti panggang itu sudah jadi kebiasaan orang Siantar, bisa jadi pengganti sarapan," tuturnya. Puluhan tahun mengelola kedai kopi, membuatnya paham membedakan biji kopi berkualitas dan yang tidak bisa dipakai. Juga soal roti yang hendak dipanggang untuk pelanggan setianya.

"Roti yang saya panggang harus memiliki lobang pori-pori yang cukup kasar dan kalau digigit tidak lengket," tuturnya mengungkap rahasia kenapa roti panggangnya garing dan renyah. Satu lagi, proses pemanggangan tetap menggunakan arang, tak boleh menggunakan sumber energi lain.  

Jadi, siapa mau ke Siantar menikmati secangkir kopi, mengunyah gurih roti panggang berbalur srikaya sembari mendengar gosip politik lokal terbaru?

()

Baca Juga

Rekomendasi