Agar Ki Dalang Tak Kepaten Obor

Oleh: J Anto

NASIB seni pertunjukkan wayang kulit di Sumatera Utara bak bentuk wayang kulit itu sendiri, kurus kering. Ibarat badan tinggal kulit. Padahal era 1970-1980-an pertunjukan wayang kulit laris manis.

Bahkan ada festival pertunjukan wayang kulit segala. Namun sejak 1990-an, pentas wayang kulit kepaten obor (mati obornya). Lewat Sanggar Kesenian Kridho Laras, Ki Sunardi Rediguno, mencoba memper­tahankan eksistensi pertunjukkan wayang kulit. Medianya dengan memadu orkes campur sari.

“Wah kowe ki piye sih?" Suara laki-laki itu terdengar meninggi.

"Sing bener ki piyeLha wong sedulure lagi cilaka, kok malah meneng wae. Dadi apa gunane kowe?” ujar laki-laki itu lagi. Suaranya lebih meninggi lagi. Sepasang matanya ikut-ikutan melotot.

Mangke rumiyin tah Kakang Prabumangke rumiyinmengka kula paringi keterangan,” mendadak suara laki-laki berubah lembut.

“Keterangan apa? Nyatane saiki piye cubaPara Kakang Pendawoa pada rembug-rembug. Wah ciloko iki.” ujar laki-laki itu dengan nada suara tinggi.

"Hehe begitulah kalau saya sedang ndalang memerankan tokoh Baladewa yang brangasan. Banyak penonton komentar lalu nyeletuk, oh dalangnya persis Baladewa, brangasan!" ujar laki-laki itu sembari terkekeh. Ia adalah Ki Sunardi Rediguno, dalang kelahiran Medan, 21 Januari 1950 ini, sudah mendalang sejak umur 12 tahun.

Di ruang tamu rumahnya yang penuh perangkat gamelan dan peralatan musik modern, Rabu (14/6) siang, Ki Sunardi Rediguno tengah memberi contoh adegan yang terjadi antara Baladewa dan Kresna, adiknya. Saat meteka tengah ada masalah. Dalam jagad pewayangan, Baladewa dikenal memiliki sikap brangasan (keras kepala), sebaliknya Kresna dikenal bersikap lemah lembut.

Harus Sanggit

Sebagai dalang, Ki Sunardi dituntut untuk mampu menghidupkan karakter dua tokoh yang saling bertolak belakang itu saat melakukan dialog, terutama lewat intonasi suara masing-masing tokoh.

"Bagi saya, seorang dalang yang baik itu harus mampu membuat sanggit penonton," tuturnya. Sanggit itu, saat tokoh dalam cerita pewayangan tengah dalam keadaan sedih, seperti adegan perang Baratayudha, ada tokoh Pandawa gugur, maka intonasi suara dalang harus mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Membuat penonton ikut merasa sedih, terhanyut adegan atau jalan cerita.

Ki Sunardi lalu memberi contoh lain. Saat membawakan lakon Wisanggeni lahir, penonton menangis waktu Batara Bromo hendak memisahkan Arjuna dengan istri karena mendapat mandat Batara Guru. Padahal isteri Arjuna saat itu sedang hamil. Tapi karena itu perintah Batara Guru, maka Batara Bromo harus melaksanakan.

Dalam istilah Sunardi, seorang dalang dituntut mampu mendramatisasi saat beraksi di atas pentas. Dramatisasi tak hanya dibangun lewat suara, bahasa, tapi juga mimik dalang.

"Usai pementasan, bukan hanya penonton yang bilang ikut nangis waktu adegan perang Baratayudha, tapi sinden saya pun nangis," ujarnya dengan senyum mengembang.

Sebaliknya saat membawakan karakter tokoh Baladewa yang brangasan, Sunardi harus mampu menghadirkan intonasi yang memperdengarkan orang tengah nesu, marah. Adegan antara Baladewa dengan Kresna pun jadi hidup. Penonton ikut tercekam saat adegann berlangsung, tak jarang ada penonton yang nyeletuk: "Woi, dalangnya juga brangasan, mirip Bala­dewa!"

Namun tiap dalang menurut dalang senior di Medan bahkan di Sumut itu, punya ciri khas masing-masing. Ki Manteb Sudarsono, misalnya, dikenal mantap sabetan wayangnya, bukan suaranya.

Tangan Ki Manteb lincah memainkan wayang seperti para pesilat. Ki Anom Suroto punya ciri khas gandem atau nge-bas suaranya. Purbo Asmoro dikenal sebagai dalang yang pituture (petuah-petuahnya) bagus. Sedangkan Ki Enthus Susmono, dikenal sebagai dalang politik. Suka menertawakan anggota DPR habis-habisan.

Keluarga Dalang

"Lha kalau saya mengikuti ajaran ayah yang menerima ajaran dari embah saya, harus mampu sanggit saat mendalang," katanya. Sunardi sendiri belajar mendalang dengan cara nyantrik sama ayahnya, Redi­guno, salah satu dalang terkenal dari Medan pada dekade 1920-1950-an. Sementara Rediguno belajar mendalang dari ayahnya, Wiroguno alias kakek Ki Sunardi yang jug seorang dalang pada era kuli kontrak.

Wiroguno, datang ke Tanah Deli pada 1890. Pekerjaan utamanya adalah mantri ukur di sebuah perkebunan tembakau. Sedangkan Rediguno, datang menyusul ke Medan pada 1901, saat masih betumur 16 tahun. Dengan kata lain, Ki Sunardi seorang dalang turunan. Ia berasal dari keluarga dalang.

"Kalau ditelusur, saya dalang generasi kesembilan," katanya. Dalang generasi setelahnya, menurut bapak empat anak itu, tinggal menunggu dari cucu-cucunya. Keempat anaknya tak ada yang tertarik mengikuti jejaknya.

Ki Sunardi sendiri mulai belajar menda­lang karena selalu ikut ayahnya saat mendalang. Ia memulai dengan ikut mena­buh gamelan. Mulai saron, gong, kenong, demung, dan lenthem. Waktu itu ia masih kelas III SR. Saat umur 12 tahun, ia mulai dipercaya ayahnya untuk mucuki. Itu pekerjaan untuk memainkan wayang untuk adegan tertentu, misalnya saat peperangan atau menata gunungan.

Waktu SMP ia mulai dipercaya untuk full mendalang, tapi saat siang hari. Mulai pagi sampai sore. Pada 1960-an, pentas wayang kulit hampir tiap hari ada. Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Utara, dulu sempat disebut jakon (Jawa kontrak), jadel (Jawa Deli), kini familiar disebut Pujakesuma, umumnya akan menanggap wayang kulit saat mengadakan pesta.

Mulai pesta perkawinan, sunatan, atau pesta nazar tertentu. Dalang laris manis ditanggap orang yang punya gawe. Hiburan saat itu masih terbatas. Selain pentas wayang kulit, pertunjukan lain yang kerap ditanggap adalah ketoprak, wayang orang atau ludruk. Tapi di antara semua kesenian tradisional Jawa itu, tetap wayang kulit yang paling laku.

"Dulu sempat ada pameo, pesta sebuah keluarga Jawa tak afdol kalau belum gantung gong," katanya. Gantung gong itu artinya ada pertunjukan wayang kulit. Wayang kulit juga laku karena orang Jawa saat itu juga masih banyak percaya dengan hitung-hitungan hari baik. Pesta hari perkawinan harus ditentukan berdasar pencocokkan hari lahir kedua calon pengantin menurut perhitungan primbon Jawa.

"Kalau hari nikahnya pada Senin, ya diputuskan hari itu juga pestanya," tutur Ki Sunardi. Jadi mau hari apa saja, asal sesuai primbon Jawa, pesta harus digelar.

Beda dengan sekarang ini. Saat perhi­tungan hari baik mulai banyak ditinggalkan orang, sebuah perhelatan umumnya diada­kan pada Sabtu atau Minggu. Di luar itu, jarang ada yang mau buat pesta. "Khawatir tak ada tamu yang datang,"tuturnya.

Pertunjukan wayang kulit biasanya digelar lesehan pakai tikar, karena acara pesta dulu belum menggunakan bangku. Kelir atau layar, ukurannya 4-5 meter terbuat dari kain mori, diikat pada dua batang bambu yang ditancapkan ke tanah. Untuk menghi­dupkan kelir dipakai lampu petromaks. Penonton membawa tikar sendiri untuk duduk. Mereka berdatangan dari Kedai Durian sampai Binjai menggowes sepeda. Pedagang dadakan pun bermunculan.

"Pokoknya ramai sekali," tuturnya. Ia sendiri karena sudah kesengsem mendalang sejak remaja, maka rela meninggalkan bangku sekolahnya. Saat kelas 2 STM, ia memutuskan keluar dan konsentrasi mene­kuni jadi dalang.

Kepaten Obor

Namun jarum jam tak bisa berdetak dari hari ke hari. Teknologi pertunjukan musik makin berkembang. Ragam pertunjukan musik makin bervariasi. Muncul band musik pop, grup musik dangdut, belakangan musik keyboard, yang musiknya bisa beragam, tapi penyanyi cukup satu dua orang. Selera orang pun berubah mengikuti arus perubahan. Minat generasi muda dari keluarga Jawa terhadap kesenian tradisional makin menyu­sut. 

Perlahan kelir pentas wayang kulit pun makin meredup saat alat penerang kelir makin serba canggih, bukan mengandalkan lampu petromaks lagi. Terlebih sejak Badan Koordinasi Kesenian Jawa (BKKJ) bubar pada 1990-an. Lembaga ini dibentuk untuk kepentingan politik Golkar sekitar era 1970-an. Waktu itu pemerintah orde baru tengah melakukan fusi berbagai partai politik menjadi tiga, Golkar, PDI, dan PPP.

Golkar ingin meraup suara orang Jawa di Sumatera Utara saat pemilu. Salah satu strategi mereka adalah mengkoordinir berbagai kesenian tradisional Jawa dalam satu wadah tunggal. Itulah yang disebut BKKJ. Sejak 1970-an BKKJ dibentuk di berbagai kabupaten. Beberapa bupati bahkan  duduk di pucuk pimpinan. Kesenian tradi­sional Jawa pun hingar-bingar.

Wayang kulit pun menemukan masa keemasannya. Dalang wayang kulit bermun­culan, jumlahnya puluhan. Ia termasuk salah satu dalang terlaris.

"Dalam sebulan, saya biasanya hanya libur 5 hari," tutur Ki Sunardi. Bersama rombongan karawitannya, ia sering keliling Sumatera Utara memenuhi undangan pentas. Bahkan sampai ke perbatasan Riau dan Aceh. Pada 1981 ia bahkan terpilih sebagai dalang terbaik dalam Festival Dalang se-Sumut yang diadakan BKKJ. Untuk pentas, ia sering mendatangkan pesinden dari Jawa. Maklum, mencetak pesinden baru bukan hal mudah. Itu karena langgam, lagu Jawa kuno, penuh cengkok, yang tak semua orang bisa melakukan.

"Kalau mendidik seorang penyanyi untuk musik campur sari mudah," katanya. Namun masa keemasan pertunjukan wayang kulit redup sejak 1990-an saat BKKJ bubar. Penerusnya, Pujakusuma, tersedot ke arus politik kontestasi lima tahunan.

Berbagai kesenian Jawa di Medan, Deli Serdang, dan kota-kota lain di Sumut yang ada komunitas orang Jawa pun perlahan hanya tinggal nama. Ada yang mengritik pertunjukan wayang kulit tedup karena honornya mahal dibanding musik keyboard.

Argumen seperti ini membuat Ki Sunardi sedih campur meradang. Pentas wayang kulit butuh personil banyak. Untuk kara­witan saja bisa sampai 20 orang. Honor satu orang main semalam suntuk Rp. 300 ribu, belum lagi honor untuk sinden, dalang, dan biaya tranportasi.

"Memang mahal, kalau keyboard; kan cukup 3 orang. Sampai di pelosok desa malah nganggo wudhasaru, ya murah," katanya ketus.

"Kesenian wayang kulit yang punya banyak pitutur hidup untuk kebaikan hidup manusia kini seperti kepaten obor, tidak ada yang menerangi untuk jadi penunjuk jalan," ujarnya. Tak hanya Pujakusuma, tapi juga pemerintah. Mereka harus berjuang sendiri agar bisa eksis. Siasat budaya pun dilakukan. Itulah yang dilakukan Ki Sunardi agar kesenian wayang kulit di Medan tak terkubur arus perubahan yang ada.

Kridho Laras

Tahun 2000, Ki Sunardi membentuk grup musik campursari yang merupakan perka­winan antara musik tradisional Jawa, yakni gending dengan alat musik modern, konven­sional dan elektrik. Musik cmpursari awalnya dipopulerkan dalang Ki Narto­sabdho di Jawa, saat mengadakan pertun­jukkan wayang kulit.

Pada 1993, Manthous memelopori cam­pursari modern lewat grup musik Cam­pursari Maju Lancar. Manthous mengga­bungkan alat-alat musik tradisional Jawa klasik, seperti gendang, gong, dan gender, dipadu dengan alat musik keroncong seperti ukulele, cak dan cuk, suling, bas betot, serta instrumen lainnya. Ia juga mencoba bereks­primen dengan mengganti bas betot dan gitar klasik dengan bas dan gitar elektrik serta keyboard untuk mengganti suling dan ukulele.

Kehadiran keyboard semakin menghidup­kan musikalitas campursari. Terlebih saat Manthous juga memasukkan perangkat drum. Ki Sunardi menangkap perkem­bangan musik campursari Manthous dengan membentuk Sanggar Kesenian Kridho Laras pada tahun 2000.

Ia tak mengalami kesulitan mengader anak-anak muda yang mau bergabung ke sanggarnya. Ia piawai memainkan beragam alat musik gamelan. Beberapa anak muda yang bergabung juga pemain band. Singkat cerita, pada 2002 saat pesta yang digelar mantan Ketua DPRD Sumut, H. Mudyono, Sanggar Kridho Laras tampil untuk pertama kali.

Sejak itu permintaan manggung untuk mengisi acara perkawinan, bersih desa, acara pemerintahan sampai acara hiburan berda­tangan. Saat manggung, mereja tak menem­bangkan lagu-lagu Jawa  saja, tapi juga lagu pop, dangdut, lagu tradisional Batak, Melayu, dan Karo, Tionghoa, Barat, dll. Tak jarang ada juga yang meminta pertunjukan wayang kulit dan campursari.

"Namun dalam sebulan hanya sekali, bahkan bisa dua bulan sekali," tuturnya. Beberapa kegiatan budaya yang diadakan pemerintah tak jarang juga menanggap mereka. Masalah muncul saat para pejabat yang menonton pertunjukan wayang kulit tak mengerti bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat. Ia sering dipesan agar saat menda­lang dicampur bahasa Jawa ngoko (pasaran) dan bahasa Indonesia.

"Bahasa Jawa ‘kan mendaki-ndaki tingkatannya, ada aturan orang rendahan ngomong dengan raja. Bayangkan seorang ratu ngomong mripatmunetra-mu, lalu diganti dengan matamu kepada ratu lain? Bagaimana itu, ‘kan kasar itu?" ujarnya sembari geleng-geleng.

Tapi karena tak bisa menolak permintaan, kadang ia terpaksa kompromi. "Akhirnya kita jadi seperti sedang ndagel. Masak tutuk-mu diganti mulutmu," katanya sembari terkekeh.

Saat ditanya resep mendalang agar kuat bertahan semalam suntuk, Ki Sunardi tersenyum simpul. Ia tak menampik jika setiap dalang punya resep sendiri. Mulai dari yang bersifat klenik atau lain. Tapi ia sendiri diberi satu ayat Alquran yang harus dibaca sebelum naik pentas.

"Itu saja," tuturnya. Ia kini juga tak patah semangat untuk mengader dalang muda. Keempat anaknya tak ada yang berminat. Walau demikian, ia tetap tak kehilangan harapan. Mungkin suatu saat ada cucunya yang akan tertarik mengikuti profesinya.

Itulah upaya yang tengah dilakukan Ki Sunardi Rediguno bersama anggota Sanggar Kridho Laras untuk memertahankan kelir wayang kulit agar tetap murub (menyala) sekalipun terterpa angin perubahan zaman.

()

Baca Juga

Rekomendasi