Dari sekian banyak profesi yang populer, dokter merupakan salah satu profesi yang memiliki aspek perpajakan yang cukup komplek. Kompleksitas aspek perpajakan profesi dokter terletak pada fleksibilitas dokter dan ruang lingkup aktivitas profesionalnya yang begitu luas. Banyak dokter memiliki pekerjaan tetap di suatu rumah sakit, baik di rumah sakit pemerintah sebagai PNS maupun pegawai di rumah sakit swasta. Sembari menjadi pegawai tetap, seorang dokter bisa bekerja di sebuah atau beberapa rumah sakit sebagai tenaga ahli. Di samping itu, banyak dokter yang juga melakukan aktivitas profesionalnya di luar rumah sakit dengan menjalankan praktek pribadi di rumah, mengelola klinik bersama, sampai penggunaan keahliannya sebagai pembicara, narasumber di suatu seminar atau forum lainnya.
Yang perlu digarisbawahi sebelum mengulas sedikit lebih dalam adalah bahwa profesi dokter hanya bersinggungan dengan Pajak Penghasilan. Bagaimana dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)? sejauh seorang dokter hanya menjalankan aktivitas profesionalnya di bidang medis, maka atas jasa profesionalnya tidak dikenai PPN mengingat jasa medis memang bukan obyek PPN. Lain hanya jika seorang dokter memiliki usaha lain seperti apotek. Meski apotek sangat terkait dengan dunia medis, namun apotek sangat jelas merupakan kegiatan terpisah di luar profesi dokter. Seorang dokter yang memiliki usaha apotek atau usaha lain di luar profesi dokter, tentunya tetap berpotensi bersinggungan dengan kewajiban PPN apabila memiliki omzet usaha melebihi 4,5 Milyar dalam setahun.
Bagaimana perhitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dokter? perhitungan pajak penghasilan dokter pada umumnya sangat variatif tergantung ruang lingkup kegiatan profesionalnya. Hal penting yang diperlukan sebelum menghitung kewajiban pajak dokter adalah memilah jenis kegiatan profesional yang dilakukan untuk selanjutnya dicari bagaimana perlakukan pajaknya. Sebagai ilustrasi, seorang dokter yang dapat dikatakan mapan lazimnya memiliki tiga kegiatan utama, yaitu pertama sebagai pegawai tetap di sebuah rumah sakit yang atas statusnya mendapatkan gaji per bulan. Kedua, sebagai tenaga ahli yang melakukan praktek di sebuah atau beberapa rumah sakit, melakukan visit pasien, melakukan operasi dan lain sebagainya. Dalam hal ini seorang dokter biasanya mendapatkan imbalan dalam bentuk fee atau komisi. Ketiga, membuka praktek dokter di rumah atau klinik bersama dengan mendapatkan penghasilan dari biaya pemeriksaan yang diterima langsung dari pasien.
Dari ilustrasi di atas, pada dasarnya tarif pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan seorang dokter adalah sama yaitu tarif pajak sesuai Pasal 17 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu tarif progresif mulai dari 5%, 15%, 25% sampai 30% sesuai range lapisan penghasilan. Apa yang membedakan dalam penerapannya? pembedanya semata pada dasar pengenaannya atau dalam terminologi pajak disebut Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dalam status seorang dokter merupakan pegawai tetap, DPP nya adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang perhitungannya sama halnya dengan PKP karyawan pada umumnya yang meliputi gaji, tunjangan, dan lain-lain selama setahun dikurangi biaya jabatan, iuran pensiun, termasuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dalam hal seorang dokter bertindak sebagai tenaga ahli, DPP yang digunakan tidak lagi menggunakan PKP sebagaimana pegawai tetap melainkan menggunakan persentase tertentu yaitu sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima. Jelas sekali perhitungan pajak bagi dokter atas statusnya sebagai tenaga ahli lebih sederhana dibanding perhitungan atas statusnya sebagai pegawai tetap. Hal ini sangat logis dikarenakan aktivitas dokter sebagai tenaga ahli sangat dinamis dan beragam dari segi jenis, intensitas, maupun tempat dimana tindakan medis dilakukan. Untuk itu diperlukan mekanisme perhitungan yang lebih cepat dan mudah.
Bagaimana halnya dengan penghasilan dokter dari praktek pribadi di rumah atau klinik bersama? dalam kasus ini Dasar Pengenaan Pajak dihitung dari penghasilan bersih setelah dikurangi PTKP. Sebagaimana halnya pelaku usaha lain, dalam menentukan penghasilan bersih praktek pribadi dokter ada dua cara yang bisa dilakukan yaitu melalui pembukuan normal, atau dengan penggunaan persentase tertentu yang disebut Norma Penghitungan. Norma Penghitungan ini besarnya tidak sama antara ibukota provinsi dengan kota lainnya. Sebagai catatan, di Jakata atau Medan, Norma Penghitungan penghasilan bersih untuk dokter adalah 50% dari pendapatan bruto. Untuk penghasilan di luar kegiatan utama seperti bonus dari perusahaan farmasi atas penggunaan obat-obatan, pajak dihitung dengan mengalikan tarif progresif dengan jumlah bruto yang dibayarkan.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung pajak dokter adalah pada saat menuangkannya dalam SPT Tahunan dimana Wajib Pajak hanya mendapat sekali kesempatan mengurangkan PTKP. Padahal penghasilan yang diperoleh bisa jadi dari banyak sumber dan aktivitas yang masing-masing pajaknya dihitung dengan membebankan PTKP. Inilah salah satu kegunaan SPT, dimana penghasilan dari berbagai jenis kegiatan digabungkan nilai bersihnya untuk kemudian dihitung ulang pajak penghasilan-nya dengan menggunakan satu pengurangan PTKP. Konsekuensinya, besaran PPh-nya sangat mungkin lebih besar dari PPh yang telah dipotong oleh bagian keuangan rumah sakit. Tidak mengherankan sering kali terjadi, seorang dokter terkejut mendapati perhitungan PPh yang menjadi “Kurang Bayar” pada saat akan melaporkan SPT Tahunan. Nah, dengan semakin gencarnya pemerintah menggali potensi pajak dan mengingat tingginya persepsi ekonomis profesi dokter, evaluasi dini terhadap pemenuhan kewajiban pajak penghasilan dokter menjadi hal yang urgen dan sangat disarankan.***