Oleh: Muhammad Husein Heikal. Ilham atas tulisan ini saya dapatkan ketika tengah menaiki angkot jurusan Padangbulan-Pancing. Kala itu, satu hari sebelum Hari Raya Idulfitri 1438 H. Sungguh suasana hari itu ialah sore yang lengang di kota Medan. Sepanjang rute yang cukup jauh ini sama sekali tidak ada kemacetan. Waktu tempuh perjalanan ini usai dalam kurun 45 menit, dari rata-rata biasanya 1 jam atau bahkan sering lebih.
Menurut Google Maps jarak Padangbulan (USU) ke Pancing (Unimed) sekitar 11 km melalui rute tercepat dengan waktu tempuh 36 menit. Maka, waktu 45 menit merupakan waktu yang cukup proporsional dengan rute ini. Namun sayangnya, itu hanya terjadi pada masa Idulfitri berlangsung, dimana sebagian besar warga kota Medan pergi berlibur maupun mudik ke berbagai kota lainnya.
Sementara yang sehari-harinya terjadi, waktu tempuh 1 jam itu menjadi wajar dan tak terelakkan. Sebab bila menyaksikan fakta, ada banyak titik kemacetan kota Medan yang dilalui untuk rute ini. Mulai dari simpang Sumber, melintasi Pajus (sebutan populer Pajak USU) hingga di Simpang Kampus USU berbagai kendaraan harus merayap pelan. Lepas dari lampu merah kita kembali terperangkap macet di area Pajak Pringgan. Jalan Gajah Mada cukup lapang dikarenakan badan jalan yang besar dengan lajur satu arah.
Namun begitu belok ke kiri, meski masih tetap satu lajur memasuki Jalan S. Parman, tepatnya diantara kantor Harian Medan Bisnis dan Sekolah Santo Thomas 1 sering terjadi perang klakson. Parahnya lagi, bila kita terjebak disitu pada saat jadwal anak sekolah untuk pulang. Emosi para pengendara yang memucak menyebabkan tak jarang terlontarnya kata-kata kasar dan makian. Supir angkot dengan beringas terus merengsek menerobos kemacetan. Setelah lolos dengan perjuangan selip-menyelip tekong sana-sini, jalan yang mengharuskan belok ke arah kanan disambut lagi dengan kepadatan volume kendaraan hingga melewati lampu merah Lapangan Merdeka.
Ketika hendak mencapai Aksara macet kembali menemukan momentumnya. Bukan karena pusat perbelanjaan Aksara sudah tidak ada dan telah dirobohkan maka kemacetan tidak terjadi. Justru kemacetan masih mengular bahkan dari Rumah Sakit Pirngadi. Selepas melewati Aksara melewati Simpang Unimed untuk belok kanan, jalan penuh lobang siap menghadang. Jalan ini seolah telah menjadi rintangan sekaligus tempat ajang adu keahlian supir angkot meliuk-liukan angkotnya. Pada akhirnya, tibalah di depan gerbang utama Unimed. Begitu keluar dari angkot kita akan disambut oleh keriuhan pedagang, angkot, para mahasiswa yang bersileweran diantara debu dan panas yang menyengat terik.
Itulah sekilas gambaran kota Medan sehari-hari. Itu baru satu rute perjalanan yang menghubungkan dua PTN di kota ini. Lain lagi cerita, kemacetan di daerah Brayan, Marelan, Jalan Juanda, Jalan Sisingamangaraja, Amplas, Sukaramai, Jalan Gatot Subroto, Sei Sekambing, Helvetia, Jalan Katamso dan lainnya. Kemacetan secara merata telah menjadi santapan sehari-hari warga Medan, kota yang telah menyandang gelar kota metropolitan ini. Sudah berulang kali kota Medan menerima Anugrah Adipura kategori kota metropolitan. Sangking seringnya, penghargaan ini telah kehilangan gengsinya di kota Medan. Kini, kota Medan tengah sesak dengan berbagai produk peradaban. “Medan membangun peradaban,” demikian tulis Nevatuhella (Analisa, 5/5).
Medan sedang membangun fisik kota secara besar-besaran. Bangunan-bangunan pencakar langit mulai muncul. Yang paling menyolok gedung Hotel J.W. Marriot (di depan TVRI stasiun Medan), Jalan Putri Hijau. Center Point di Jalan Irian Barat (Jalan Jawa), persis di depan Stasiun Kereta Api spoor belakang. Dan saat ini pula Podomoro City Deli Medan sedang dalam pengerjaan yang menakjubkan. Bangunan yang masih mempertahankan ada kata Deli ini (eks. Deli Plaza) dipastikan satu yang paling termegah gedung pencakar langit di kota yang sekarang berikon “Medan Rumah Kita”. Maksud ikon ini sama menanggung segala kesulitan dan tentunya tak terkecuali kesenangan-kesenangan dari berbagai fasilitas dapat dinikmati bersama.
Ditengah gemerlap peradaban dan slogan metropolitan inilah, kemacetan berhasil menjadi ikon kota Medan. Tentu ini bukanlah kutukan dari praksis peradaban. Kemacetan dapat diatasi dengan berbagai solusi, seperti peraturan ganjil-genap bagi kendaran pribadi. Ini tentu harus segera dilakukan. Sebab kemacetan di Medan sudah memasuki tahap cukup parah. Pernah saya terjebak mengendarai sepeda motor di pertengahan Simpang Kampus USU hampir setengah jam. Semua kendaraan tidak mampu bergerak, bahkan bergeser sedikit pun tidak bisa. Kala itu lampu merah rusak dan polisi lalu lintas maupun pegawai Dinas Perhubungan belum menunjukkan wujudnya.
Sebagian orang menganggap, angkot adalah biang keladi kemacetan. Tak sepenuhnya saya sependapat dengan hal ini. Namun, sebagai salah seorang pengguna fasilitas publik ini saya pun tak bisa memungkiri hal ini. Angkot Medan populer dengan keliarannya. Melanggar lampu merah, melawan arus, melintas di badan trotoar, melaju dengan kecepatan tidak wajar, dan lainnya. Keahlian para supir angkot ini memang patut diacungi jempol, apalagi bila sudah kebut-kebutan. Tapi sayangnya jalanan umum bukanlah lintasan balapan, wahai pak supir.
Ada alternatif yang ditawarkan dalam tulisan ini untuk mengatasi keliaran angkot Medan. Ada cara agar para supir angkot tidak harus lagi rebutan sewa dengan kejar-kejaran melanggar berbagai peraturan lalu lintas. Caranya ialah dengan cara menjadikan supir angkot sebagai karyawan bagi pemerintah yang digaji secara langsung setiap bulannya. Sementara itu, para penumpang tidak perlu lagi membayar alias gratis menaiki angkot. Apakah ini mungkin terealisasi? Tentu saja bisa, bila niat itu ada.
Bila ini telah direalisasikan, maka angkot Medan akan mulai tertata. Tidak lagi saling berebut mengejar sewa. Ini harus segera dilakukan oleh pemerintah. Sebab dari waktu ke waktu volume kendaraan terus bertambah, tanpa dibarengi pelebaran badan jalan. Jika biaya untuk melebarkan jalan ini terlalu mahal dan anggaran belum mencukupi, maka alternatif ini bisa menjadi solusi. Secara teori ekonomi, seandainya para penumpang angkot tidak lagi perlu membayar, maka saya pastikan akan banyak orang yang lebih memilih naik angkot daripada harus mengeluarkan kendaraan pribadinya dari garasi.
Dengan demikian transportasi publik bernama angkot ini tidak lagi menjadi momok mengerikan di kota Medan. Meremajakan kembali angkot Medan, kira-kira begitulah istilahnya yang harus dilakukan pemerintah kota Medan. Selain itu, peraturan ganjil-genap juga harus segera dipertimbangkan pemerintah untuk diterapkan.
Sebagai penutup, saya teringat beberapa waktu lalu, ayah saya bercerita kepada saya, “Disana tidak ada yang berani menghidupkan klakson. Kendaraan berjalan tertata sesuai aturan. Sama sekali tidak ada kemacetan. Maka, jika disana ada yang menghidupkan klakson, tentu orang itu akan dianggap tengah sakit jiwa atau baru pertama kali ke kota itu.”
Kota itu ialah Bangkok, ibukota Thailand. Lantas di Medan kita sudah tak lagi asing dengan riuhnya suara klakson yang saling nyaring, dan telah merasa suara itu sebagai soundtrack bagi tiap perjalanan kita di dalam kota Medan ini. ***
Penulis adalah Mahasiswa FEB-USU, Analis EconAct Indonesia