Oleh: J Anto.
SAAT orang-orang muda tak lagi meminati kesenian tradisional Batak, sejumlah sanggar budaya di Samosir dalam tiga tahun terakhir justru bergairah mengader calon seniman-seniman muda. Mereka mempelajari tari, music, dan opera Batak. Sinergi antara sanggar dan pemerintah jadi kuncinya. Berapa lama mampu bertahan?
Jarak dari Simpang Sipolha, sekitar 3 kilometer sebelum Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir, menuju Desa Salaon Toba, Kecamatan Ronggurnihuta sekitar 15km. Namun jalan ke sana mendaki, berkelok-kelok, penuh lubang dan batu kerikil. Laju mobil lambat bak ular tengah merayap.
"Ini medannya mobil gunung," ujar Lubis, sopir mobil. Ia berkali harus menarik punggungnya dari sandaran jok mobil agar matanya bisa lebih awas melihat jalan. Butuh waktu 40 menit untuk mencapai desa itu. Hawa panas, Kamis (22/6) siang, menembus kaca mobil. Mesin pendingin mobil tak lagi mampu menahan keringat yang perlahan mulai merembes di sekujur punggung.
Berkali-kali, saat ditelepon, Jawanter Sitanggang hanya berujar. "Terus naik lagi saja Pak, nanti Bapak jumpa jembatan terus naik". Kali lain, saat kembali ditelepon, ia kembali berujar, “Setelah ketemu tempat pembuatan batu bata, naik lagi, lewat sawah terus naik lagi. Kalau sudah ketemu kebun kopi naik terus saja.”
Akhirnya mobil sampai di sebuah rumah bergaya tradisional Batak, 300 meter masuk ke dalam dari jalan umum, kepenatan tubuh mulai hilang. Lamat-lamat, dari sebuah rumah kayu yang terletak di depan rumah tempat mobil di parkir, terdengar alunan gondang Batak.
Rumah kayu itu terletak di atas tanah yang lebih tinggi. Ada tangga kayu untuk mencapai ke atas. Dari bawah, terlihat di pintu jendela rumah kayu menempel papan bertuliskan: Sanggar Seni Budaya "Sari Uli", Desa Salaon Toba, Kecamatan Ronggurnihuta.
Saat masuk ke ruangan sanggar, 20 anak-anak SD usia 8 -12 tahun, hanya tiga yang anak SMP, tengah memainkan lagu Rege-rege lewat pukulan garantung dan tagading, tiupan sarune dan seruling serta petikan hasapi ditingkahi pukulan ogung (gong). Tak berapa lama instrumentalia lagu Rege-rege itu pun berhenti.
Wajah kanak-kanak yang mengenakan kaus merah, seragam sekolah mereka, itu pun tersenyum ceria. Hilang sudah segala rasa penat itu. "Selamat datang, beginilah keadaan Sanggar Sari Uli," ujar Jawanter Sitanggang, pemilik sekaligus pelatih di sanggar itu. Bangaunan sanggar berbentuk rumah kayu seluas 6 x 4 meter. Di dinding kayu yang belum dicat, tergantung sejumlah alat musik tradisional seperti seruling dan hasapi. Ada juga mangmong – ogung-nya instrumen Batak sebelum digunakan ogung dari India – terbuat dari bambu. Panjangnya 40 cm, pada salah satu ujungnya dibiarkan bolong, sedang ujung lain tertutup ruas bambu.
Pada sebuah sisi bambu dibeset kulitnya memanjang 25 cm dan lebar 3 cm. Besetan itu pada bagian ujung atas dan bawah diganjal kayu, sehingga membentuk dan berfungsi sebagai senar pada gitar. Ada tiga ‘senar' pada mangmong. Cara memainkannya cukup dengan memukulkan sebilah kayu ke senar itu. Suara yang dihasilkan memang tak sekeras ogung. Mangmong kini praktis tak lagi dipakai dalam gondang Batak.
Sekalipun terletak di desa terpencil, namun urusan prestasi sanggar yang berdiri sejak 2007 itu tak membuat kecil hati anggotanya. Pada April 2016 mereka masuk 5 besar dalam Lomba Musik Tradisional tingkat nasional di Palu. Di tingkat kabupaten mereka sudah sering meraih juara. Penampilan mereka berkolaborasi dengan Sanggar Jolo New pimpinan Pery Sagala di depan Presiden Jokowi pada Agustus 2016 lalu, di Tuktuk Sigale juga menuai banyak pujian.
Gondang Batak
Sanggar Sari Uli lahir dari harapan besar Jawanter Sitanggang, seniman alami yang tak pernah belajar di sekolah musik itu, agar kekayaan musik dan alat musik tradisional Batak tak ditinggalkan orang Batak. Agar gondang Batak terus mengalun.
Saat masih bocah, seperti anak kampung lainnya di Salaon Toba, ketika menggembalikan kerbau ke ladang, ia terbiasa bermain seruling atau sarune. "Main suling itu agar tidak ngantuk," ujarnya. Jika ngantuk, kerbau merusak ladang orang lain, akibatnya bisa kena denda.
Selain piawai memainkan seluruh alat musik Batak, bapak delapan anak yang jadi guru sejak 1977 ini juga ahli membuat alat-alat musik Batak. Ia memiliki pengetahuan berbagai jenis kayu dan bambu untuk bahan pembuatan alat musik. Saat membuat garantung ia memilih kayu pohon khas Batak, hau eresse, karena nyaring bunyinya serta tidak mudah retak.
Untuk dijadikan bahan garantung, kayu tersebut harus dibiarkan 6 bulan setelah ditebang. Tujuannya agar mengering tanpa harus dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering baru diproses.
Untuk seruling, ia biasa mendatangkan bambu khusus dari Sidikalang. Bambu seperti itu susah diperoleh di Samosir. Pengenalan terhadap alat musik dan nada, menurutnya, muncul dari pepatah “Mata Guru Roha Sisean”.
"Yang jadi guru kita adalah mata, yang jadi anak buah adalah hati. Pengalaman yang pernah kita lihat itulah guru kita. Kita praktikkan," ujarnya. Beberapa alat musik yang ia buat dipakai untuk keperluan sanggarnya. Tak jarang juga untuk memenuhi pesanan sanggar lain.
Keberadaan Sanggar Sari Uli punya dua tujuan sekaligus. Melestarikan musik trasional Batak sekaligus dengan alat-alat musiknya. Anggota Sanggar ini mayoritas anak-anak SD Negeri Salaon Toba tempat Jawanter Sitanggang mengajar, ada juga anak SMP, sekalipun jarang. Minat anak-anak belajar musik tradisional menurutnya cukup tinggi.
Sanggar ini kerap diundang manggung memeriahkan acara-acara pemerintah, tak terkecuali untuk wisata budaya seperti Horas Samosir Fiesta. Ini adalah kalendar wisata budaya tahunan yang digelar Dinas Pariwisata Samosir sejak 2014.
Dulu sebelum sanggar terbentuk, grup musik anak-anak yang dibentuknya bahkan pernah tampil di Istana Negara, Jakarta. Juga mewakili Indonesia di Australia untuk musik tradisional. Barangkali ini daya tarik tersendiri bagi anak-anak. Bermain musik juga jadi hiburan anak-anak karena Desa Salaon Toba minus sarana hiburan.
"Pada 2007, sanggar kami bahkan pernah tampil 5 kali dalam setahun di Jakarta," tuturnya. Baginya kebahagiaan melatih anak-anak bermain musik tradisional memang tak bisa diukur dengan uang.
"Begitu lihat muka anak-anak yang main musik, saya langsung merasa sudah kaya, walau saya miskin," katanya sembari tergelak. Melatih anak-anak usia SD, tentu butuh kesabaran. Belum lagi menghadapi sikap orangtua mereka. Pernah ada tuduhan ia hanya mengeksploitasi anak-anak sanggar untuk kepentingan diri. Namun setelah anak-anak bisa tampil di Jakarta, tuduhan itu pun lenyap. Bahkan ada orangtua lalu minta maaf.
Lelah kadang tak terelakkan. Terutama soal mobilitas anak yang telah dilatih. Umumnya anggota yang tamat SD, memilih melanjutkan ke SMP di Panguraran. Di Salaon Toba sebenarnya ada juga SMP, tapi lebih banyak yang memilih keluar desa. Olohite Sipangkar (12) contohnya. Tahun ini ia melanjutkan ke SMP Negeri di Pangururan. Olo salah satu pemain garantung andalan sanggar. Pernah tampil bermain di depan presiden.
"Di Pangururan ‘kan ada sanggar musik, di sana saya juga bisa main musik," kilah Olo. Irene Kristin Sitanggang (9) yang kini kelas 3 SD, mulai berlatih sejak kelas satu. Ia paling senang bermain tagading. Irene sempat menunjukan kebolehannya saat mengiringi instrumentalia lagu Sibintang Napoasa dan Gondang Sampur Marorot. Selain sudah mahir bermain tagading, Irene juga bisa memainkan seruling.
"Tapi saya paling suka main tagading, suling susah niupnya," ujar sulung dari 2 bersaudara ini. Saat ini di Sanggar Sari Uli ada 30-an anggota yang siap tampil kapan saja jika ada undangan.
Martumba Tak Punah
Jika Sanggar Sari Uli lebih mengonsentrasikan mendidik calon-calon pemusik tradisional Batak, Sanggar Jolo New di Desa Siopat Sosor, Kecamatan Pangururan lebih mendidik calon-calon penari. Sanggar ini lahir karena panggilan jiwa seni Pery Sagala, pendiri sekaligus pelatih utama tarinya.
Perempuan kelahiran Desa Sianjurmulamula ini sejak kecil memang sudah suka martumba, menari sambil bernyanyi. Saat di SMA ia aktif mengikuti berbagai kegiatan budaya. Ketika kuliah di IKIP Negeri Medan 1995 - 2000, ia memilih jurusan seni.
Tamat dari perguruan tinggi, bersama temannya ia membuka tari multietnik di Medan, namanya Sanggar Pesarona. Sanggar ini sering tampil dalam berbagai gelaran budaya di Medan. Di kalangan komunitas seniman Medan, Pery Sagala dikenal sebagai penari sipitu saoean (cawan). Pada 2006 ia diterima sebagai PNS Kabupaten Samosir. Perry pun pulang kampung. Sanggar Pesarona pun bubar. Di Samosir, Perry lalu mendirikan sanggar lagi. Namanya Jolo New.
"Seni memang panggilan hati," ujarnya. Lama meninggalkan Samosir, di kampung halaman ia melihat tak banyak lagi anak-anak yang belajar kesenian tradisional Batak, seperti martumba, sipitu saoean dan tortor. Pada 2005 martumba bahkan bisa dibilang telah punah karena tak banyak ditarikan dan dinyanyikan anak-anak muda.
"Dulu martumba biasa dimainkan anak-anak di kampung saat musim kemarau. Mereka menyanyi dan menari meminta turun hujan," katanya. Martumba biasanya diadakan saat muncul bulan atau bulan purnama sehingga desa jadi terang benderang. Nama Jolo New sendiri memiliki makna memertahankan yang tradisional dan tidak melupakan yang modern.
Martumba biasanya dimainkan 10 laki-laki dan 10 perempuan. Pemain mengenakan ulos Batak dan mandar (sarung). Permainan yang dilakukan biasanyi menampi eme (padi), manduda (menumbuk) padi, marsitekka (melompat di atas bilah bamboo), marjambatan (seperti main ular naga atau kereta api), dan jalan pakai batok kelapa. Pada Batak Fiesta Juni lalu, anak-anak Saggar Jolo New membawakan martumba.
Namun tumba yang diajarkan kini ditafsir ulang, terutama pada syairnya. Isinya dikontekstualisasikan dengan kegiatan. Misalnya saat tampil di Batak Fiesta berisi ajakan untuk datang ke acara tersebut. Juga saat mereka tampil di Jong Bataks Art Festival di Taman Budaya Sumut 2015.
Berbagai prestasi telah diraih sanggar ini, di antaranya sebagai penyaji kudik terbaik Lomba Musik Tradisional Anak-anak Tingkat Nasional 2014 di Teater Kecil TIM, Jakarta, Juara I Tanjungbalai Expo 2014, dsb. Di Sanggar ini sekarang ada 47 orang yang aktif berlatih, mulai anak SD hingga SMA.
Melampaui Tradisi
Sanggar budaya lain yang mulai debutnya sejak 2010, adalah Sanggar Angel Elkanean di Pangururan. Pendiri dan pelatih utamanya Marlita Simbolon. Selain mengajar tari dan musik, sanggar ini sejak 2015 merintis pelatihan opera Batak.
"Karena banyak anggota sanggar yang berbakat seni peran dan nyanyi, sayang kalau talenta seperti itu dibiarkan," ujar Marlita yang juga guru di SMAN 3 Pangururan itu. Gagasan membuat latihan opera Batak muncul setelah ia terlibat dalam pementasan drama kolosal Sisingamangaraja yang diadakan pada peringatan HUT RI 2015. Saat itu sambutan penonton antusias dan positif. Sementara penampilan anggota sanggar juga bagus.
"Sekarang kita sudah punya tiga anggota yang bisa menyanyi untuk opera Batak. Tapi pertunjukkan masih untuk internal," katanya.
Sanggar Angel Elkanean, tak hanya mengajar tari atau tortor tradisional, tapi juga mengkreasi tari baru sejauh tidak keluar dari pakem tradisional yang ada. Ia menyebut, jika dulu penari saoean hanya menyunggi satu saoean, sekarang bisa sampai 7 buah. Menurut ibu daru 6 anak itu, semata agar unsur pertunjukkan lebih menonjol. Beberapa tarian yang dikreasi juga mengambil cerita lisan tentang Sigale.
"Gondang untuk uning-uningan pun ditambah unsur alat musik elektrik seperti keyboard sehingga suasana hidup," tambahnya. Sanggar Elkanean pada 2015 meraih Juara I Lomba Gondang Naposo yang diadakan Pemkab Samosir. Pada 2016 berkolaborasi dengan Sanggar Si Bunga Jambu meraih Juara II untuk lomba yang sama.
Di Samosir saat ini ada 16 sanggar budaya. Dari jumlah itu, ada 4 sanggar yang dalam penilaian Ombang Siboro, Kadis Pariwisata Samosir masuk kategori ready to used karena mereka punya passion dan fashion. Sisanya masih dalam tahap berlatih dan konsolidasi.
Lalu bagaimana sanggar-sanggar ini membiayai kegiatannya? Sanggar Sari Uli, menurut Jawanter Sitanggang menggratiskan iuran anggota. Sedangkan Sanggar Jolo New dan Angel Elkanean tak mewajibkan anggotanya membayar iuran, tapi tak menolak jika ada yang memberi iuran suka rela. Besarnya tak ditentukan.
"Tapi tiap latihan kita imbau agar bawa iuran sukarela untuk dimasukkan ke celengan," katanya. Uang yang terkumpul kelak digunakan membantu biaya jika ada kegiatan budaya, seperti mengikuti Jong Batak Arts Festival di Taman Budaya Medan.
Sanggar Angel Elkanean juga tak membebankan anggotanya untuk membayar iuran. Maklum hampir sebagian besar anggota sanggar orangtuanya adalah petani, beberapa PNS, dan pedagang.
"Dari 50 anggota sanggar, hanya 7 yang bayar iuran sukarela," ujar Marlita. Rata-rata sanggar mendapat hibah dari Kementrian Pendidikan. Biasanya dalam wujud peralatan sanggar, seperti seperangkat alat musik dan kostum. Mereka juga dapat insentif dari Pemkab Samosir. Selain panggung budaya Horas Samosir Fiesta, juga acara-acara seremoni pemerintah selalu menampilkan kesenian tradisional dari sanggar.
"Honor pentas kita potong 30 persen untuk kas sanggar, dikumpulkan untuk tambah inventaris sanggar," tutur Marlita.
Menurut Pery Sagala, mengelola sanggar budaya memang harus dengan panggilan hati. Pery sudah 10 tahun mengelola sanggar. Berapa insentif yang dianggarkan pemerintah, misalnya dalam Horas Samosir Fiesta, itulah yang digunakan untuk membiayai pertunjukan mereka.
Dampaknya, untuk Batak Fiesta misalnya ia dipercaya melatih 300 orang penari. Padahal di Samosir ada 15 guru tari. Saat pesta Danau Toba ia dipercaya melatih 600 penari saoean. "Bagi saya kepercayaan itu sudah uang, karena nama saya disebut saat pertunjukkan," katanya.