Oleh: Damiri Mahmud.
Salah satu dari tiga butir “Sumpah Pemuda” (“Ikrar Pemuda”?) ialah: “Kami putra-putri Indonesia mengaku berbahasa satu,bahasa Indonesia”. Telah pula disepakati, Bahasa Indonesia (BI) diambil dari Bahasa Melayu (BM ). Secara historis bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu…. Seperti tertera dalam pengantar KBBI edisi keempat, Depdiknas, Jakarta 2012.
Dalam perkembangannya selama 88 tahun, dalam era globalisasi, kita melihat BI banyak dirasuki oleh bahasa daerah serta bahasa asing. Tak ketinggalan pula dalam bidang istilah.
Dalam mata pelajaran tata bahasa BI sendiri, istlah-istilahnya telah banyak diganti. Kita sudah tak mengenal lagi istilah: kata sifat, kata kerja, kata benda dan kata bilangan. Sudah berganti dengan adjektiva, verba, nomina dan numeralia. Begitu pula istilah awalan, sisipan, akhiran. Sudah bertukar dengan istilah: prefik, infik, sufik, konfik simulfik, dan seterusnya.
Kita selalu cenderung merasionalkan makna. Apalagi pemakaian BI sebagai bahasa umum sudah tak terkira-kira banyaknya. BI yang katanya berasal dari BM itu sudah banyak sekali dirasuki oleh bahasa daerah dan bahasa asing.
Di sini dicontohkan satu istilah baru dalam zaman Orde Baru yaitu istilah prasejahtera. Istilah ini tentu sangat berbau politik untuk menyembunyikan kenyataan yang terdapat pada rakyat. Kemudian istilah ini dibagi pula dalam kategori: prasejahtera I, prasejahtera II dan sejahtera.
Ketika datang era Reformasi, tiba-tiba muncul istilah “raskin”, kemudian nongol lagi “askeskin”. Istilah ini merupakan akronim yang rumit. Pada saatnya sangat popoler di kalangan rakyatnya: beras untuk rakyat miskin, dan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin.
Sangkin popolernya orang-orang berebutan dan berbondong-bondong untuk mendapatkan kartu dari istilah baru itu. Rakyat ternyata tidak malu-malu lagi menyatakan dirinya miskin seperti di zaman Orde Baru itu. Bahkan kenyataannya terjadi keributan, saling tuduh dan perkelahian karena saling curiga yang mendapat kartu bukan termasuk kategori miskin. Fenomena ini terasa lucu dan mengejutkan (atau sebaliknya: mengharukan ?) Ada semacam ironi.
Apakah satu istilah memang harus dirasionalkan? Orang Inggris menyebut negerinya Father land. Kita mengatakan Ibu Pertiwi. Mengapa untuk satu makna yang sama terjadi dua istilah bertolak belakang? Mengapa di Inggris orang menyebut negerinya dengan jenis kelamin maskulin sedang negeri kita feminin?
Apabila kita mencoba merasionalkannya pula, berarti kita telah mengobrak-abrik latar belakang satu budaya.
Hal ini sudah pula kelihatan dalam beberapa acara, diskusi dan seminar yang saya hadiri di era Reformasi ini. Tatkala masuk ke acara lagu kebangsaan dan hadirin diminta berdiri saya menyangka akan bergema lagu “Indonesia Raya” WR Supratman. Ternyata keliru. Ini selalu ditukar dengan lagu “Indonesia Pusaka” Ismail Marzuki atau “Tanah Airku” Ibu Sud.
Selidik punya selidik, banyak yang keberatan dengan istialah “tanah tumpah darahku” dalam lirik Indonesia Raya itu. Patutlah kita suka bunuh membunuh sesama kita, lagu kebangsaannya saja menyaran kita menumpahkan darah! Akan tetapi itu tidak fair. Benarkah begitu? Bukankah istilah “tanah tumpah darahku” itu dipungut oleh Supratman dari latar budaya Melayu -yang notabene asal Bahasa Indonesia-? Bukankah istilah itu punya pemahaman yang konotatif? Kiasan kepada seorang ibu yang selalu menumpahkan darah ketika melahirkan bayinya? Maknanya setiap warga Negara di negeri ini telah berkorban untuk menegakkan suatu bangsa.
Ada pula kita dengar komunitas cendikiawan yang telah siap dengan rumusan untuk menukar satu kata dari lirik Indonesia Raya itu. “Di sanalah aku berdiri” menjadi “Di sinilah aku berdiri”. Menurut mereka, sudah tidak logis lagi kita menyebut NKRI ini sebagai “Di sana” acara itu saya dengar di Radio Delta Jakarta yang dipandu oleh Sahnaz Haque. Mereka pun katanya telah siap menyusun berkas untuk diajukan ke DPR.
Ketika dibuka diskusi interaktif saya mengajukan keberatan. Saya sebutkan jika diubah-ubah lirik kebangsaan itu akan hilanglah suasana dan nilai sejarahnya. Harus diingat, ketika WR Supratman mencipta dan mengumandangkan lagu itu pada 28 Oktober 1928, NKRI belum terwujud. Attau masih “di sana”. Masih dalam cita-cita, masih harus diperjuangkan. Memang kalau dipikirkan sudah tidak rasional lagi kita menyebut Indonesia ini sebagai “di sana”. Jika diubah akan hilanglah suasananya, derap langkah perjuangan yang mengusung NKRI itu. Sekaligus hilanglah nilai sejarahnya.
Ada dua istilah santun dalam pergaulan sehari-hari. Acara tertentu dalam masyarakat kita, menunjukkan kepribadian dan budayanya. Seperti minta diri dan minta izin. Istilah minta diri selalu terdengar saat tamu akan pulang dari rumah famili atau sahabat.
“Kami minta diri dulu ya…”
“Ah, mengapa buru-buru sekali. Kan sudah lama kita tak jumpa.”
Ungkapan seperti ini selalu ditemui dalam bacaan buku sekolah tahun 1950-an dan 1960-an. Kini pun di beberapa daerah tertentu masih digunakan.
Sedangkan minta izin, selalu kedengaran dalam berbagai acara atau musyawarah, terutama dalam khalakah pengajian. “Minta izin, Tuan…”, sela seorang murid atau pendengar di tengah seorang Ustaz berhenti sejenak dalam ceramahnya. Dalam siding atau rapat kalangan intelektual sekarang hal itu disebut interupsi.
Sebuah mobil, sebiji pendapat, sebutir keputusan, memang tak rasional. Hal itu menunjukkan si pengungkap berasal dari negara agraris.
“Untuk sebuah nama…” bunyi sepenggal ungkapan lagu pop.