Komunitas Seni Sakato

Bakaba Kesenirupaan

Oleh: Arif Budiman.

Sosiolog Amerika Howard S. Bec­ker dalam buku Art World, me­man­­dang seni tidak bisa berdiri sen­diri. Ka­rya seni sebagai produk/karya ko­lektif, bukan lagi sebagai kre­asi in­dividu. Seni sebagai kon­struksi so­sial dapat dipaha­mi sebagai keterli­batan seni­man­nya dan ke­kuatan sosial yang memungkinkan mem­beri nilai ter­hadap karya seni – dan apresiasi.

Kekuatan sosial itu berupa kerja ko­laboratif untuk me­ngu­kuhkan se­buah eksistensi ba­gi seniman. Ek­sis­tensi diba­ngun dengan harmonisasi ke­­hi­dupan sosial yang baik. Di se­nirupa hubungan seniman ter­jadi pada ku­rator, kolektor, kri­tikus, galeri, pe­me­rintah, artlover dan komunitas.

Masuk dan beraktifitas di ko­mu­nitas seni, salah satu cara untuk me­nguat­kan keberadaan seniman di da­lam atmosfir ke­senian. Hubungan so­sial seni­man dalam skala kecil akan ter­­bentuk di dalam komunitas.

Sebagai referensi, Komuni­tas Seni Sa­kato adalah salah sa­tu komunitas ke­senirupaan di Yogyakarta yang eksis dan cer­merlang hari ini. Dikatakan eksis bisa dikoreksi bersama da­ri ak­tifitas kesenian yang di­lakukan. Ser­ta produk seni (ka­rya) yang dihasilkan seni­man­nya. Seperti beberapa ka­rya seni di dalam laman ini.

Sekilas sejarah, Komunitas Seni Sa­kato dirintis sejak 1995 di Yog­yakarta. Sebelumnya ber­nama Sang­gar Sakato. Per­nah diketuai Kasman Ks. Seni­man patung profesional. Ta­hun 90-an hingga 2000-an pro­jek pa­tungnya dibangun dima­na-mana. Ke­mudian Jumaldi Alfi seniman pro­fe­sional dari Kelompok Senirupa Jendela (KSRJ). Kelompok senirupa yang dalam berkarya selalu ku­at de­ngan ‘isu’ – wacana ke­senian.

Sejak dikoordinatori Alfi (2009-2013), Sakato mengu­bah nama dari ‘Sang­gar’ men­jadi ‘Komunitas’. Ba­rang­kali nama ‘komunitas’ lebih bersi­fat terbuka dan berhasrat bisa meng­ako­modasikan lebih ba­nyak kecen­dru­ngan gagasan, seniman. Mungkin di luar ko­munitas Minangkabau. De­mi­­ki­an ditulis Suwarno Wisetro­tomo tahun 2010 dalam catat­an kurasinya untuk Sakato. Mengapa ada pergantian na­ma. Sampai sekarang nama itu masih eksis.

Dengan nama komunitas di­harap­kan seniman dari sa­kato bisa ber­in­teraksi dengan dunia luar (bukan Mi­nang) dan melepas kukungan pri­mo­dia­lisme. Artinya anggota komu­nitas bisa sangat lincah berin­teraksi dalam dunia kesenian. Sejak diganti nama, nam­pak­nya Sakato memang licah ber­ge­rak kian kemari.

Anggota komunitas ini, awalnya mahasiswa seni dari Minangkabau yang menem­puh pendidikan tinggi seni di ISI Yogyakarta. Setelah tamat, beberapa mahasiswa memu­tus­kan untuk terus berkesenian di Yogyakarta. Anggota yang menetap inilah anggota tetap di Sakato.

Anggota Sakato mem­be­kali diri terlebih dahulu untuk menjadi integrated professional artist. Lewat belajar di lembaga kesenian inilah, bekal sesungguhnya bagi anggota un­tuk survive berkarya di Sa­kato.

Tidak ada embel-embel se­ni­man otodidak. Keahlian seni (cannoi­seur­ship in art) yang di­miliki oleh seniman bisa di­pertanggungjawabkan. Dalam se­tiap gelaran pameran pun ada seleksi yang dilakukan oleh Sakato.

Buktinya, setiap tahun Sa­kato selalu membuat presen­tasi visual terhadap karya-ka­rya senimannya. Seperti pa­me­r­an senirupa BAKABA. Di­mulai sejak 2010 lalu. Sam­pai 2017 ini, gela­ran senirupa BAKABA sudah mema­suki gelaran ke 6.

BAKABA menjadi ruang kom­petitif bagi seniman Saka­to untuk memper­kenalkan olahan artistik dan gagasan/ide kekaryaan dari tiap anggo­tanya.

Jasdeep Sandhu menyebut­kan, “BAKABA bagi saya me­rupakan –mung­kin satu-satu­nya– pameran ko­mu­­nitas di Indonesia. Bakaba ber­usaha ke­ras untuk ikut masuk dalam arus se­nirupa yang semakin de­ras dan kom­petitif. Ini sa­ngat menarik. Banyak se­ni­man terhormat saling bahu mem­bahu dengan generasi lebih muda,” kata Direktur Gajah Galeri di Singa­pura.

Pameran ini tidak hanya se­kedar hasil diskusi antara establish artist dan emerging artist. Lebih dari itu. Keseri­usan dan antusiasme anggota Sakato untuk memajukan se­nirupa Indonesia.

Pameran seni rupa BAKA­BA bisa disebut pertanggung­ja­waban seniman dalam hal ini Sakato kepada publik seni. BAKABA menampilkan ber­a­gam jenis karya rupa seperti karya lukis, patung, fotografi, grafis, keramik dan ragam media rupa lainya.

Sakato kini diketuai Erizal As, seniman muda dengan ra­cikan warna dan garis yang me­nawan pada karyanya. Eri­zal tentu tidak sendiri. Dia di­dukung oleh seluruh anggota Sa­kato.  Termasuk seniman; Ris­man Marah, Syaiful Ad­nan, Yusman, Rudi Mantova­ni, Jumaldi Alfi, Handiwir­man, Yunizar, Gusmen Heria­di, Stefan Buana, Ali Umar dan seniman muda lintas ang­katan lainya.

Jika dicermati, kelebihan ko­munitas Sakato adalah se­lalu mem­berikan kebebasan kepada anggotanya dalam ber­karya. Baik dalam mencipta­kan karya seni. Maupun mem­bangun struktur sosial dengan membuat kelompok perupa da­ri mana pun. Termasuk mendirikan ruang-ruang kese­nian seperti arts space atau galeri.

Tidak ada keterikatan atau kesepa­kan tertentu dalam mem­bangun kese­nian. Asal­kan untuk kemajuan kese­nian, Sakato selalu memberikan du­ku­ngan.

Kini Sakato beranggotakan 200 se­niman. Sebuah komuni­tas senirupa yang besar. Sakato hari ini, bukan lagi suatu ko­munitas atau kelompok yang memiliki satu pilihan penguca­pan seni yang sama. Satu este­tika karya seni. Satu pandang­an kesenian. Satu panda­ngan kehidupan. Serta satu bentuk apa­pun. Kecuali, satu ‘kata’ (sa­kato) da­lam keputusan ber­sama. Pendeknya, Sakato itu beragam!

Secara sadar atau pun tidak, tercipta keberagaman yang bersifat kompetitif. Akan te­tapi bisa juga dibalik, kompe­titif yang selalu menciptakan suatu keberagaman. Dalam ar­tian penca­pai­an-pencapaian ke­senian dan kehi­dup­an satu anggota berbeda dengan ang­gota seniman lainnya. Bukan seperti pertandingan atau adu keahlian untuk men­cari yang menang atau kalah.

Posisi Sakato sebagai ‘ru­mah be­sar’. Komunitas seba­gai tempat be­r­kumpul, saling ber­tukar tangkap pi­kiran. Ber­tukar dan berbagi informasi. Ser­ta saling menghidupkan ik­lim ke­senian antar anggota.

Munculnya banyak komu­ni­tas seni, akan memberikan dam­pak dan duku­ngan terha­dap eksistensi kesenian di su­a­tu negara. Struktur kesenian akan se­makin kuat. Karena ba­nyak yang tu­run tangan dalam membangun ak­tifitas keseni­an. Komunitas Seni Sa­kato, ada­lah sedikit dari bagian itu, untuk seni rupa Indonesia.

Penulis: penyuka seni rupa & desain dari Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.

()

Baca Juga

Rekomendasi