Oleh: H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc
SUDAH mafhum, bahwa syawal adalah bulan peningkatan amal pasca menunaikan ibadah puasa Ramadan. Peningkatan amal yang dimaksud tak sekedar pemahaman singkat. Sekedar banyak melakukan puasa sunnah dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Memahami makna syawal sebagai bulan peningkatan juga harus menyesuaikan dengan esensi dari pelaksanaan ibadah puasa Ramadan sebelumnya. Sehingga dengan pemahaman yang baik terhadap ibadah yang dilakukan akan memberikan dampak signifikan dalam kehidupan, bukan hanya sekedar melakukan ibadah saja.
Lantas apa yang kita pahami dari esensi puasa Ramadan sebulan yang lalu? Bisakah bias dari ibadah-ibadah yang dilakukan di Ramadan yang lalu tetap berkesan saat kita tidak bersama Ramadan? Bisakah doa minal aidin wal faizin itu melekat di hari-hari kehidupan kita di dunia ini tanpa hanya diucapkan di bulan Syawal saja? Inilah yang mestinya kita pahami saat ditinggal Ramadan dan saat berada di bulan Syawal ini?
Bila direnungi dan ditelusuri bahwa amal dan sikap yang kita lakukan selama di Ramadan telah membentuk diri kita menjadi orang yang sukses dunia-akhirat. Sayangnya, kita tak menyadari hal tersebut, meski sudah berpuluh kali kita bertemu dengan Ramadan. Seharusnya, umat Islam itu bakal menjadi orang kaya dan sukses ketika mampu mengenal dan memahami esensi kehadiran Ramadan.
Pertanyaannya, apa sebenarnya esensi dari amal dan sikap kita di Ramadan? Jawabannya adalah seperti apa yang pernah dicetuskan oleh Abdullah bin Mas’ud. Beliau berkata, “Addi maf-taradhallahu ‘alaika takun a’badan naas waj-tanib maharimaallah takun azhadan naas war-dha bimaa qasaamma Allahu laka takun agh-nan naas (Laksanakanlah dengan sempurna apa yang diwajibkan Allah SWT kepadamu, niscaya kamu menjadi orang yang ibadahnya paling baik. Jauhilah apa saja yang dilarang Allah SWT, niscaya kamu menjadi orang yang paling zuhud. Terimalah dengan senang hati rezeki yang Allah berikan kepadamu, niscaya kamu menjadi orang yang paling kaya).
Ketika kita melakukan ibadah dengan semaksimal mungkin, kapan pun itu, baik di Ramadan atau di luar Ramadan, akan membentuk kita menjadi orang yang bertakwa. Meski rill yang sering kita dengar, bahwa puasa membentuk ketakwaan. Padahal, ibadah apa pun jika dilakukan dengan maksimal akan membentuk kita menjadi pribadi yang bertakwa. Puasa Ramadan hanya sebagai contoh dari amal yang jika dilakukan dengan maksimal akan membuahkan ketakwaan dan pengampunan atas dosa-dosa yang lalu. Padahal, amal ibadah yang lain juga bisa membuahkan ketakwaan dan pengampunanan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. Bukankah Allah memang menyuruh kita untuk benar-benar bertakwa kepada-Nya, Ya ayyuhal ladzi na-amanut taqhullaaha haqqa tuqaatihi wa la tamutunnta illa wa antum muslimimun “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kamu mati kecuali kamu tetap dalam Islam.” (QS. Ali Imran: 102)
Ketika kita sudah beribadah dengan maksimal, bukankah kita telah menjadi orang yang sukses dunia-akhirat? Di dunia sukses karena telah mampu menjalankan tugas kita dengan sebaik-baiknya, yaitu beribadah kepada Allah. Di akhirat sukses lantaran kita memiliki amal yang bisa menolong kita untuk mendapatkan rahmat Allah, sehingga kita berhak mendapatkan ampunan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya.
Selain menjadi ahli ibadah, dalam Islam orang yang sukses juga harus bisa menjadi orang yang zuhud. Karakter orang yang zuhud adalah karakter diri yang tidak tergiur untuk mengikuti keinginan hawa nafsunya dan bujukan kesenangan dunia. Sekiranya pun dunia diberikan kepadanya tak membuatnya terlena, apalagi sampai lupa ibadah kepada Allah SWT.
Karakter orang yang zuhud adalah karakter orang yang sukses dunia-akhirat. Sebab untuk mendapatkan sesuatu tak akan pernah melakukan yang diharamkan Allah, baik yang haram dari sisi zatnya maupun yang haram dari sisi sifatnya. Meski hal tersebut halal, tapi jika untuk melakukan atau mengambilnya harus melakukan cara yang syubhat, maka orang zuhud pasti akan meninggalkannya. Kondisi inilah yang membentuk karakter orang zuhud sebagai orang yang sukses dunia-akhirat.
Sukses di dunia karena apa pun yang dilakukan dan dihasilkannya akan selalu digunakannya untuk kepentingan agamanya. Sukses di akhirat karena dia bisa menjawab pertanyaan dari mana harta yang didapatnya dan untuk apa digunakannya dengan baik dan sempurna. Rasulullah SAW bersabda, La tazuulu qadama abdin hatta yus-ala ‘an arba’in. ‘an umrihi fimaa afnaahu wa ‘an ‘ilmihi maa fa’ala bihi wa ‘an maalihi min aina aktasabahu wa fima an-faqahu wa ‘an jismihi fimaa ablaahu. (”Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara:(1) tentang umurnya untuk apa ia habiskan?; (2) tentang ilmunya untuk apa ia amalkan?; (3)tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan?; dan (4) tentang badannya untuk apa ia gunakan?.
Islam bukanlah agama yang anti kekayaan atau suka dengan kemiskinan. Malah Islam mengajarkan bagaimana menjadi kaya yang sebenarnya. Meski banyak orang Islam yang melupakan konsep kaya yang diajarkan agamanya. Bagaimana konsep kaya yang diajarkan dalam Islam? Kaya dalam Islam adalah, ketika ridha dengan apa yang diberikan Allah kepada-Nya. Ketika rezeki yang diberikan Allah dalam jumlah banyak, maka sikap yang dimiliki ikhlas dan bersyukur kepada Allah. Begitu juga ketika diberi Allah rezeki yang sedikit, sikapnya tetap ikhlas dan bersyukur kepada Allah. Inilah karakter orang kaya. Banayaknya rezeki tidak membuatnya angkuh. Ketika sedikit rezeki yang didapatnya tak membuatnya mengeluh.
Sungguh, inilah sebenarnya yang kita pelajari di Ramadan yang lalu. Ketika kita bisa sahur atau tidak, kita tetap berpuasa. Kita tetap bersyukur. Tanpa kita sadari, kita telah membentuk diri kita menjadi orang yang taat beribadah, zuhud dan kaya. Semoga di bulan Syawal ini kita tetap menjadi pribadi yang senantiasa taat beribadah, zuhud dan kaya dalam pandangan agama. Amiin
Penulis adalah Tenaga Edukatif di MTs dan MAS Muallimin UNIVA Medan