Mengendalikan Dua Telinga Satu Mulut

Oleh: Gigih Suroso

SERING pertanyaan ini muncul, mengapa kita punya dua telinga dan satu mulut? Tentunya ini bukan hal yang sia-sia jika kita berpikir dan mau menggali, ada hikmah yang tersirat di balik penciptaan-Nya.

Mendengar berarti berhasil menang­kap suara/bunyi dan berbicara berarti mengeluarkan suara. Keduanya terlihat berlawanan fungsi dan tentu punya cara kerjanya masing-masing. Tapi yang jelas, dua telinga yang kita punya, bermakna kita harus lebih banyak mendengar dan kalau kita hanya punya satu mulut, berarti bicara kita harus lebih sedikit bicara.

Mendengar memang bukan hal mu­dah, tapi sering kali yang kita dengar sulit ditangkap, dicerna oleh akal dan hati. Istilahnya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Begini saja, saat guru menjelaskan di depan kelas, mana yang lebih aktif di kelas kita, telinga atau mulut? Kalau ternyata mulut, berarti kelas kita tidak kondusif karena setiap orang sibuk berbicara tanpa ada yang mau mendengarkan. Akibatnya, yang dijelaskan guru, kita tak akan dipahami.

Tapi kalau sebaliknya, ternyata telinga kita yang lebih aktif dan hanya ada guru saja yang berbicara berarti suasana kelas kita kondusif, proses belajar mengajar pun jadi lebih nyaman. Karena hanya ada satu pembicara dan banyak pendengar. Namun, hal ini pula yang sulit terjadi, kita lebih suka berbicara daripada mendengarkan guru di depan.

Contoh di atas juga mengingatkan, betapa kita tak menghargai orang lain karena tak memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara. Telinga kita punya kuantitas lebih banyak daripada mulut, tapi kualitasya jauh bisa lebih buruk daripada mulut. Mengapa? Karena kita sudah terbiasa menggerakkan mulut kita untuk berbicara, walaupun itu tak bermanfaat.

Ada satu hikmah kenapa kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara. Suatu waktu Napoleon Bonaparte sedang berperang di Timur Tengah, ia bermaksud melepaskan 1.200 tawanan Turki yang berhasil disandera Prancis. Saat itu Napoleon sedang flu yang sangat parah.

Ketika melakukan inspeksi pasukan, Napoleon terbatuk-batuk. Karena tak tahan dengan batuk yang terus-menerus, ia mengatakan, ”Ma sacre toux” (batuk sialan), perwira pendamping Napoleon keliru menanggapi gerutuan sang jenderal dan merasa sang jenderal mengatakan, “massacrez taous” (bunuh semua). Akibatnya, 1.200 tawanan Turki dibunuh hanya karena batuk sang jenderal.

Cerita di atas menunjukkan bahwa mendengar tak bisa dianggap remeh, apalagi dalam hal-hal tertentu, seperti mendengarkan orangtua berbicara, guru menjelaskan, dan teman bercerita. Salah informasi atau miscommunication bisa berakibat fatal, karena akan melahirkan tindakan yang salah juga.

Kita pasti pernah mengalaminya. Saat bicara dengan teman-teman, bukannya didengarkan, mereka malah bicara satu sama lain. Tentu rasanya tak enak, diabaikan begitu saja. Begitu pula saat orang lain bicara, kita harus belajar menghargai, dengarkan yang dibicara­kanya. Apalagi jika itu orangtua atau guru, biasanya yang mereka sampaikan adalah ilmu dan nasihat, atau perintah, jadi harus didengarkan dengan baik.

Ketika orang lain bicara lalu kita diam mendengarkan, itu adalah sikap yang baik. Namun akan mengecewakan, ketika orang lain bicara, tapi kita diam, bukan untuk mendengarkan melainkan kita sibuk menunduk, fokus pada smart­phone. Ini fenomena yang sering terjadi, akibatnya suasana kumpul bareng dan diskusi pun jadi tak kondusif.

Banyak mendengar punya banyak manfaat. Selain kita bisa menghargai orang lain saat bicara, kita juga punya kesempatan besar menerima banyak hal dari orang lain, termasuk ilmu dan informasi. Tapi saat kita banyak bicara, kita punya kesempatan menerima banyak masalah, misalnya menyakiti dan menghina orang lain, seperti yang baru-baru ini terjadi di negeri ini.

Dari bicara, bisa mengakibatkan perpecahan dan aksi saling lapor antara saudara setanah air. Gara-gara mulut, perdamaian bisa terancam. Ini juga berlaku di media sosial, hanya saja bedanya kalau di media sosial mata kita yang berfungsi.

Dengan dua mata kita harus banyak melihat, jangan sampai semua informasi yang kita dapat di media sosial kita baca dan kita terima begitu saja tanpa verifikasi. Akibatnya juga bisa bahaya, salah pemahaman. Bukan tak banyak dari kita yang terjebak dalam berita hoax dan menyebabkan masalah besar. Misalnya, saling bully, pencemaran nama baik, sampai tindakan radikalisme.

Sejak sekarang kita harus mulai mem­biasakan diri untuk menahan mulut, berpikirlah sebelum berbicara, kalau tak bermanfaat lebih baik diam. Ada kata bijak yang menyebutkan, semakin banyak bicara kita, semakin jelas tampak kualitas diri kita. Banyak dari kita yang bicara, tapi isinya kosong tak bermakna, seolah ingin memberi tahu orang lain tentang kebodohan kita.

Akhirnya, mari kita menjadi generasi yang cerdas. Di negeri ini terlalu banyak orang yang suka bicara, ada yang isinya janji, ada yang hoax, ada pula isi pembicaraannya ujaran kebencian. Kita jaga mulut masing-masing, karena kata-kata itu bisa menembus yang tak bisa ditembus oleh jarum, hati. Banyaklah mendengar, arti lainnya kita disuruh untuk banyak menerima informasi dan menghargai orang lain.

* 18.02.17

()

Baca Juga

Rekomendasi