Oleh: Hasan Sitorus
Dalam Tajuk Rencana harian ini pada Kamis, 3 Agustus 2017 dengan judul “Kemacetan Jadi Keluhan”, yang diuraikan secara komprehensif tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kemacetan di Kota Medan, perlu kita pikirkan solusi atau kebijakan untuk mengatasinya secara konprehensif, konseptual dan implementabel.
Secara nyata, kita warga kota Medan telah merasakan kemacetan parah pada jam-jam tertentu di kota ini, yang membuat kita menjadi stress dan mengeluarkan berbagai umpatan sumpah serapah yang tidak jelas sasarannya. Kemacetan dapat menyebabkan kita terlambat sampai di kantor, terlambat anak-anak sampai di sekolah, terlambat menepati janji binsis dan terlambat lainnya, yang kita rasakan sangat merugikan.
Kejadian seperti ini jadi rutinitas yang akan kita hadapi setiap hari di kota ini dan akhirnya pasrah pada situasi yang ada. Bahkan kita lihat instansi terkait yang bersentuhan dengan masalah lalu lintas, pengaturan angkutan umum dan pemerintah kota Medan, tidak bisa berbuat banyak mengatasi kemacetan ini. Alasannya masuk akal, bahwa jumlah Kendaraan sudah lagi tidak seimbang dengan kapasitas jalan raya di kota ini. Menurut data dari Dinas Perhubungan Kota Medan (2016), jumlah Kendaraan bermotor mencapai 2,7 juta unit dengan panjang jalan 3.191,5 km dan rasio kecepatan 23,4 km/jam serta Volume Capacity Ratio 0,76. Kendaraan pribadi 97,8 persen, Kendaraan umum 2,2 persen, Kendaraan roda dua 75,95 persen dan roda empat 24,05 persen .
Bila faktor utama penyebab kemacetan di kota ini adalah ketidak seimbangan jumlah Kendaraan dengan infrastuktur jalan raya, maka diperlukan 2 kebijakan utama (main policy) untuk mengatasi kemacetan ini, yakni : a) pembangunan sistem transportasi massal di perkotaan, dan b) pendekatan instrumen hukum pembatasan jumlah Kendaraan.
Kebijakan Transportasi Massal
Kebijakan pembangunan sistem angkutan massal di perkotaan yang nyaman, murah dan efisien waktu, adalah salah satu solusi mengatasi kemacetan di perkotaan. Dengan adanya angkutan massal dalam kota yang disediakan pemerintah daerah secara memadai jumlahnya, sudah barang tentu akan menjadi pilihan masyarakat untuk melakukan aktivitas bepergian untuk berbagai tujuan di dalam di kota ini.
Penyediaan angkutan massal di perkotaan yang dapat menjangkau antara pusat-pusat kegiatan ekonomi (bisnis) dari zona Medan Barat dan Medan Timur, Medan Selatan dan Medan Utara ke jantung Kota Medan, diyakini akan mendapat sambutan sangat positif dari masyarakat luas.
Tentu syarat angkutan massal ini adalah : harus aman, nyaman, tarif relatif murah atau terjangkau, dan terpadu dengan angkutan dari pinggiran perkotaan. Artinya, masyarakat yang rumahnya berada di pinggiran kota ini relatif mudah terhubung dengan sistem angkutan massal perkotaan, dengan membangun sistem koneksi penumpang di tempat-tempat khusus di pinggiran perkotaan. Misalnya, harus ada tempat koneksi penumpang dari daerah Martubung, Pinang Baris, Marindal, dan Percut menuju pusat Kota Medan. Dengan cara seperti ini, maka masyarakat akan cepat sampai di pusat kota ini, tidak perlu lama menunggu, sehingga sistem ini dipastikan akan efektif dan efisien dari segi waktu.
Menjadi pertanyaan, apakah sistem transportasi massal ini dapat dikembangkan di Kota Medan. Jawabannya sudah pasti dapat dikembangkan, asal ada kemauan dari pemerintah daerah dan legislatif di kota ini. Pembangunan sistem angkutan massal di kota ini tentu membutuhkan dana besar, dan kita harapkan bahwa pembiayaan ini tidak hanya dibebankan kepada APBN dan APBD. Tetapi, pemerintah kota harus mengajak sektor swasta untuk terlibat dalam pembangunan sistem transportasi massal ini. Kita yakin, pasti banyak pihak swasta yang mau menanamkan investasinya dalam pembangunan transportasi massal di perkotaan terutama dengan model angkutan jalan raya bus besar.
Penulis berpendapat bila ada kebijakan yang ingin membangun jalan tol dalam Kota Medan, rasanya untuk jangka panjang tidak banyak membantu mengatasi kemacetan di kota ini. Kita harus belajar dari Kota Megapolitan Jakarta, jalan tol dan jalan layang yang dibangun dalam kota, ternyata malah terjadi kemacetan di jalan tol dan jalan layang dan membuat masyarakat jadi stress di jalan. Oleh sebab itu, alangkah lebih baik membangun sistem transportasi massal di perkotaan, yang dikelola secara profesional dan memberikan keuntungan bagi pemerintah kota, sektor swasta yang terlibat dan khususnya masyarakat pengguna.
Bila hal ini dapat dikembangkan di Kota Medan, sudah barang tentu masyarakat akan lebih banyak menggunakan angkutan massal dalam kota ketimbang membawa Kendaraan pribadi yang dipastikan akan terjebak kemacetan lalu lintas. Selain itu, masyarakat tidak akan selalu terdorong atau terdesak untuk membeli Kendaraan baru atau bekas sebagai sarana transportasi bila sudah ada angkutan massal yang aman dan nyaman di kota ini.
Instrumen Hukum Pembatasan Kendaraan
Kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan dalam upaya mengatasi kemacetan di kota ini adalah penerbitan Peraturan Daerah (Perda) yang membatasi jumlah Kendaraan yang beraktivitas di jalan raya. Caranya adalah, bahwa dalam Perda itu ditegaskan bahwa Kendaraan yang boleh memasuki jalan raya kota adalah Kendaraan yang memiliki tahun pembuatan 5 (lima) tahun terakhir.
Artinya, bila sekarang tahun 2017, maka Kendaraan yang layak beroperasi di jalan raya kota adalah Kendaraan yang diproduksi mulai tahun 2012 hingga 2017, baik untuk jenis roda dua maupun roda empat. Sistem ini telah diterapkan di Kota Singapura.
Mungkin kebijakan seperti ini akan dianggap sebagian pihak diskriminatif, karena Kendaraan lama tidak boleh beroperasi di jalan raya, dan Kendaraan yang relatif baru boleh memasuki jalan raya. Namun perlu dipahami bahwa kebijakan ini memiliki dampak positif yang besar yakni dapat mengurangi jumlah Kendaraan yang beroperasi di jalan raya secara signifikan, dan sekaligus mengurangi terjadinya pencemaran udara akibat pembakaran BBM.
Proses penghentian operasional Kendaraan lama tentu dapat dilakukan dengan tidak menerima atau menghentikan pembayaran pajak Kendaraan lama di Dinas Pendapatan Daerah, dan menaikkan biaya pajak Kendaraan baru secara signifikan, sehingga masyarakat tidak terdorong untuk menambah jumlah Kendaraan baru di rumahnya.
Kendaraan-Kendaraan lama dengan sendirinya akan digeser ke daerah-daerah lain karena tidak dapat lagi beroperasi di perkotaan. Demikian halnya, penambahan Kendaraan baru baik roda dua ataupun roda empat akan bertumbuh lebih lambat dibanding dengan kondisi seperti selama ini, yang bebas tanpa instrumen pembatas.
Di sisil lain, pembatasan kenderaan yang beroperasi di jalan raya kota juga dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan nomor plat ganjil dan genap. Model ini akan bisa efektif bila ada pengawasan yang ketat di lapangan dan melakukan tindakan tegas terhadap pelanggar aturan ini. Melalui sosialisasi yang terus menerus dan pengawasan petugas di lapangan yang tidak pandang bulu, maka sistem nomor plat ganjil untuk hari tertentu dan nomor plat genap untuk hari lain akan berjalan efektif di lapangan.
Banyak pihak meragukan implementasi aturan seperti ini, karena ada yang melaporkan bahwa plat kenderaan dapat diubah atau dimanipulasi secara timbal balik, dan itulah kehebatan orang Indonesia. Oleh sebab itu, bila sistem ini diterapkan di lapangan, maka perlu dilakukan razia terpadu di lapangan dan pemeriksaan plat kenderaan ketika kenderaan berhenti di lampu merah perempatan jalan.
Bila ada orang yang melakukan manipulasi plat kenderaan, langsung diberikan tindakan nyata yang menimbulkan efek jera sehingga orang lain tidak berani lagi melakukannya.
Bila ingin kota ini tidak macet lagi, maka kesadaran warga kota ini juga sangat dibutuhkan untuk memenuhi aturan hukum. Janganlah berprinsip bahwa peraturan itu dibuat untuk dilanggar, ini Medan Bung ! Kita harus sadar bahwa peraturan di kota itu dibuat adalah untuk membuat sistem kehidupan di perkotaan menjadi lebih baik, tertib, aman dan terkendali. Semoga. ***
Penulis dosen tetap di Universitas HKBP Nommensen dan Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan.