Oleh: Hasan Sitorus
HEBOH, Air Sungai Bah Bolon Memerah, demikian judul berita pada halaman 1 harian ini, Selasa 8 Agustus 2017. Diberitakan bahwa masyarakat Kota Pematang Siantar heboh karena air Sungai Bah Bolon yang melintasi pusat kota itu berubah warna dari yang biasanya keruh menjadi merah.
Tentu timbul pertanyaan, mengapa warna air sungai itu bisa berubah ? Berdasarkan Ekologi Perairan, perubahan warna air dari perairan umum, seperti sungai, danau, dan laut pada periode tertentu dapat disebabkan 2 faktor, yakni : a) terjadinya penyuburan yang berlebihan dalam air (Eutrofikasi) akibat meningkatnya senyawa hara dalam air yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi alga air (Blooming Algae), dan b) perubahan warna akibat buangan senyawa kimia yang mengandung zat warna.
Perairan sungai terutama yang beraliran lambat (lentik) pada lokasi tertentu dengan kecepatan arus kurang dari 20 cm/detik, bila menerima masukan unsur hara fosfor (P) dan nitrogen (N) dalam jumlah signifikan pada periode tertentu yang berasal dari buangan domestik (limbah rumah tangga, tinja dan urin), limbah pertanian yang mengandung pupuk dan limbah industri yang mengandung bahan organik, akan merangsang proses pertumbuhan alga secara berlebihan (Blooming Algae) dalam sungai. Bila di perairan itu yang meledak populasinya adalah alga merah (Rhodophyta) dengan kepadatan tinggi, maka warna air langsung berubah menjadi merah, dan tampak seperti darah. Bila alga hijau (Chlorophyta) yang meledak populasinya, maka warna air berubah menjadi hijau, dan bila warna air berubah menjadi coklat kekuningan, maka populasi alga coklat (Phaeophyta) kemungkinan besar penyebabnya.
Proses perubahan warna sungai yang terjadi dalam beberapa hari dapat dipastikan sudah terjadi blooming algae. Berbeda bila disebabkan buangan limbah kimia yang mengandung zat warna, perubahan warna hanya sebentar karena bahan warna itu langsung hanyut terbawa arus sungai dan warna air pun berubah seperti semula. Perubahan warna air akibat buangan senyawa kimia misalnya zat pewarna tekstil maupun buangan industri penyamakan kulit yang menggunakan krom heksavalen, juga dapat menyebabkan perubahan warna air yang signifikan, namun hanya sebentar.
Pada keadaan senyawa hara tinggi masuk dalam air, maka tumbuhan air baik yang uniseluler (sel tunggal) maupun multi seluler (ber sel banyak) akan terangsang untuk membelah diri secara terus menerus 1-3 hari sehingga populasinya sangat padat. Pada periode itulah akan tampak perubahan air secara signifikan dibanding dalam kondisi normal.
Bila terjadi perubahan warna air yang signifikan menjadi merah, atau hijau atau coklat, apa implikasinya terhadap sistem kehidupan dalam air ? Dengan kata lain, apa dampaknya terhadap ekosistem perairan bila terjadi blooming algae?
Perlu kita pahami bahwa tumbuhan air (alga/ganggang) memiliki klorofil yang melakukan fotosintesis pada siang hari. Proses ini akan menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida dalam air ketika mata hari bersinar. Oleh sebab itu, pada siang hari kandungan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) akan maksimum dan cukup untuk kebutuhan seluruh organisme air. Tetapi pada malam hari, bila terjadi ledakan populasi tumbuhan air, maka kondisi itu akan mengancam kehidupan hewan air.
Pada malam hari tumbuhan air melakukan respirasi sebagaimana hewan air, membutuhkan oksigen dan mengeluarkan gas racun karbon dioksida, sehingga terjadi lonjakan kebutuhan oksigen organisme air. Akibat populasi alga yang sangat tinggi, maka bisa terjadi kandungan oksigen dalam air menjadi habis atau kadar kritis untuk kehidupan hewan air. Menurut ilmu ekologi perairan, kadar oksigen kritis untuk kehidupan hewan air adalah 2 ppm, dan bila kadar oksigen sudah dibawah angka itu, dipastikan akan menyebabkan kematian massal hewan air. Peristiwa kematian hewan air (ikan) secara massal biasanya terjadi pada waktu dinihari, karena pada periode waktu itulah bisa terjadi kadar oksigen terlarut kurang dari 2 ppm.
Melihat hal ini, sesungguhnya perubahan warna air perairan umum menjadi merah, hijau atau coklat adalah tanda terjadinya ketidak normalan dalam ekosistem. Jadi hal itu bukanlah sesuatu yang kita inginkan dan menimbulkan kehebohan bagi masyarakat, seolah-olah telah terjadi peritiwa alam yang luar biasa. Pada hal bukan, kondisi itu hanyalah dampak dari aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan atau gangguan terhadap keseimbangan struktur komunitas biota dalam air.
Bila terjadi perubahan warna air, maka pihak yang berwenang seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan instansi lain yang terkait dengan pengelolaan sungai dan perairan umum lainnya, harusnya cepat bergerak untuk melakukan penelitian faktor penyebab terjadinya perubahan warna air itu. Dengan melakukan pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi air di tempat terjadinya perubahan warna air akan dapat diketahui dengan pasti penyebabnya, apakah karena faktor eutrofikasi atau karena bahan pencemar senyawa kimia zat warna, sehingga bisa memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat. Hal ini diperlukan sebagai langkah antisipatif dari instansi terkait untuk mengendalikan pencemaran perairan umum, bukan hanya sekadar menjadi tontonan yang menghebohkan warga.
***
Penulis Dosen Tetap di Universitas HKBP Nommensen Medan