Dana Desa yang Terus Digerogoti

Oleh: Asruddin P

BUPATI Pamekasan Achmad Syafii ikut ter­kena Operasi Tangkap Tangan oleh Ko­misi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) da­lam operasi OTT terha­dap Kepala Ke­jaksaan Negeri Pa­meka­san dan Kepala Ins­pektorat Pemkab Pa­mekasan, Rabu (2/8/2017). Mereka di­ge­landang KPK terkait kasus suap dana desa. Dalam kasus suap dugaan perkara korupsi dana desa, KPK telah menetap­kan lima orang tersangka salah satunya ada­lah Bupati Pamekasan, Ahmad Sya­fii.

Kasus tersebut berawal dari adanya la­po­ran Lembaga Swa­daya Masyarakat (LSM) kepada Kejari Pamekasan me­nge­nai dugaan korupsi yang dilakukan Ke­pala Desa Dassokan Agus Mulyadi, ter­kait penggunaan dana desa untuk pro­yek peng­adaan di desa tersebut senilai Rp 100 juta. KPK kemudian melakukan pe­ngintaian yang dilanjutkan dengan operasi tang­kap tangan (OTT). Satgas KPK mengamankan empat orang yakni, Inspektur di Inspektorat Pemkab Pame­ka­san Sutjipto Utomo, Kepala Kejaksaan Ne­geri (Kajari) Pamekasan, Rudy Indra, Pra­setya, Kabag Administrasi Inspektur Pa­mekasan, Noer Solehhoddin, dan se­orang supir di rumah dinas Rudy Indra, di daerah Pamekasan. Diduga, pada saat itu terjadi pe­nyerahan uang senilai Rp 250 juta dari Kepala Desa Dassok, Agus M­ulyadi, dan Noer Solehhoddin melalui Sutjipto Utomo kepada Kepala Kajari Rudy Indra di rumah dinas tersebut.

Satgas KPK juga mengamankan Ka­sie Intel Kejari Pame­kasan Sugeng, dan Ka­sipidsus Kejari Pamekasan Eka Her­ma­­wan di kantor Kejari Pamekasan. Dan ber­dasarkan berdasarkan ketera­ngan dari me­reka, KPK langsung meng­aman­kan Bu­pati Pamekasan, Ahmad Syafii di Pen­dopo Kabupaten Pa­mekas­an. Usai dila­kukan pemeriksaan awal dan gelar per­kara, KPK res­mi menetapkan lima orang tersangka terkait kasus dugaan suap terkait pengamanan perkara penyim­pa­ngan dana desa yang tengah diselidiki oleh Kejari Pamekasan, Jawa Timur.

Atas tindak pidana yang diduga di­la­kukannya, Sutjipto, Agus Mulyadi dan Noer Solehhoddin ditetapkan sebagai ter­sangka pemberi suap dan disangkakan me­langgar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Semen­tara Achmad Syafii yang diduga meng­an­jurkan pemberian suap dijerat dengan Pa­sal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pa­sal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangan Rudy yang men­jadi tersangka penerima suap di­sang­­kakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Pem­be­ran­tasan Tipikor.

Keinginan korup

Nampaknya keinginan korup para pejabat kita belum me­ngendor. Segala ce­lah disisir untuk menggerogoti uang ha­ram, termasuk dana desa yang menjadi jan­tung revolusi perbaikan nasib masya­ra­kat desa, setelah sekian lama desa ter­pinggirkan dari ritualitas pembangunan. Ta­hun ini dana desa yang digulirkan 60 tri­liun.Pemkab Pamekasan bahkan me­ngelola Rp 720 juta per desa.Ini jumlah yang tak sedikit. Harapannya, rakyat ma­kin punya peluang yang besar untuk men­definisikan kepentingannya di desa dan aspirasinya bisa tersalurkan secara lebih demokratis sehingga kesejahte­raan­nya terutama dari segi sosial, politik dan ekonomi dapat tercapai. Problem­nya, besar­nya alokasi dana desa tersebut belum diikuti dengan kapasitas mene­je­rial aparat desa dalam mengelola dana itu, sehingga banyak kali terjadi penyim­pa­ngan pengelolaan keuangan. Awal ta­hun lalu sekitar 0,06 persen desa atas sang­kaan korupsi sempat diperiksa, di mana jumlahnya rata-rata Rp 216,7 juta per desa, yang sama besarnya dengan ku­curan dana desa di 2015.

Pada Oktober 2016, Kepala Desa Kilo, Poso, Sulawesi Te­ngah diproses hukum karena diduga menyalahgunakan uang desa sebesar Rp.140 juta. Pada 31 Juli 2017 kepala desa Krang­gan, Ma­diun, Jawa Timur divonis bermasalah ka­rena meng­gunakan uang desa untuk mem­bayar cicilan utang pribadi.

Nampaknya air liur aparat desa terus me­netes menyaksikan suntikan dana desa yang kian bertambah setiap tahun. Pada 2015 dana desa yang digulirkan men­capai 20,7 triliun yang dibagi ke 74.093 desa, 34 provinsi, 434 kabupaten, 6.382 keca­matan. Kemudian di 2016 terjadi peningkatan dua kali lipat jumlah alokasi dana desa yakni 46,9 triliun, yang dibagi ke 74.754 desa, 34 provinsi, 434 kabupaten, 6.445 kecamatan. Di tahun 2017, dana desa naik lagi mencapai 60 tri­liun untuk 79.954 desa, 34 provinsi, 434 kabupaten dan 6.382 keca­mat­an.Bahkan ada kasus di daerah, di mana ada kelurahan yang menuntut diubah sta­tusnya menjadi desa supaya bisa diguyur dana besar itu

Besaran dana yang cukup signifikan ini sepertinya bagai 'durian runtuh' untuk war­ga desa yang selama ini hidup sangat me­larat. Sayangnya guliran dana tersebut ter­sebut belum ditun­jang oleh regulasi dan tatalaksana pengelolaan anggaran yang sesuai dengan azas peruntukan.

Soal regulasi misalnya bisa dilihat dariaturan yang tumpang tindih antara per­aturan dari Kementerian Desa yang juga sudah diatur oleh Dirjen Bina Desa di Kemendagri. Soal tata laksana misal­nya, terkait unsur pemerataan dan keadil­an alokasi dana desa (ADD) di mana per­aturan menteri desa dan peraturan ke­menterian keuangan mendudukkan kua­lifikasi sendiri-sendiri soal jumlah du­sun, karakter geografis, dan jumlah war­ga miskinnya sebagai syarat mem­per­oleh alokasi dana desa.

Ketidakpahaman

Yang tak kalah penting bagaimana La­poran Pertanggung Jawaban (LPJ) ADD yang secara kualifikasi dari SDM yang mengatur tentang LPJ terkesan ru­mit sehingga potensial atau rawan ma­ni­pu­lasi dan kecurangan.Kadang, kare­na kerumitan itu, disewalah konsultan khusus untuk menyelesaikan laporan yang serba-teknis itu. Namun dalam ke­nyataannya, para konsultan itu 'bermain mata' dengan pemerintah kabupaten (pemkab) dengan melakukan deal-deal untuk mendikte kepentingan pemkab. Kerumitan pembuatan laporan tersebut membuat aparat desa tak mau susah-susah bekerja. Mereka menyewa kon­sultan untuk mengurus semua proses administra­si tersebut. Padahal cara ber­pikir konsultan tentu tidak sama dengan realitas persoalan atau kebutuhan yang ada di desa.

Makanya tak heran jika KPK mene­mu­kan fakta di mana sepanjang tahun 2016 ada 300 laporan penyelewengan yang diterima KPK. Menurut kepolisian ada 61 tersangka dari 48 kasus korupsi ADD dan menurut kejaksaan, sepan­jang 2016 sekitar 62 kasus penyim­pa­ngan dana yang sudah terbukti dengan total kerugian negara mencapai 18 mi­liar.

Bukan saja karena ada niat jahat, na­mun benar-benar karena ketidakpaha­man terhadap aturan-aturan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien dan akun­tabel. KPK pernah mengindenti­fikasi empat celah penyelewengan dana desa di Indonesia.

Ke­empat celah itu ialah regulasi, tata laksana, pengawasan serta kualitas, dan integritas SDM yang mengurus dana desa.

Andai pengawasan internal bisa di­rea­lisasikan, mungkin penyimpangan anggaran desa tersebut bisa ditekan. Ma­salah­nya, inspektorat wilayah di tiap kabupaten kerap tidak terlalu pa­ham de­ngan urusan teknis tersebut, ditambah lagi mereka juga sudah dikelilingi de­ngan pekerjaan-pekerjaan lain yang me­nyita waktu dan energi.

ADD adalah modal sosial-ekonomi yang harus dijaga peruntukannya. Ke depan kita berharap pemerintah harus men­ciptakan sistem pelatihan yang efektif dan kontinu kepada pendamping dan kepala desa. Hasil temuan LSM Ja­ringan Paralegal Indonesia (JPI) me­nye­butkan sebagian kasus korupsi di tingkat desa bukan karena niat keja­hatan kades.

Melainkan karena ketidak­pahaman para kades soal hukum. Ka­rena itu apa­rat desa dan warga desa per­lu didam­pingi paralegal yang akan mem­berikan bantuan hukum sehingga korupsi dan kon­flik hukum di desa bisa dicegah.***

* Penulis adalah Peneliti

()

Baca Juga

Rekomendasi