Inspiratif Lewat Prestasi

Oleh: Adelina Savitri Lubis. SIMPONI 4 Romantic Pieces Op. 75, karya Komponis, Antonin Dvorak dimainkan begitu apik dalam duet instrumental antara violinis Winston Leywantono dan pianis Winny Ley­wantono dalam kegiatan Charity Concert bertajuk Musical Travelogue, di Charles Wesley Hall  Medan, Jumat (11/8).

Seperti ada debar yang menyayat ketika mendengarnya. Irama biola dan piano bersahutan. Tanpa canggung seolah menyihir penonton yang hadir. Bak roller coaster, bunyi gesekan biola dan denting piano itu naik turun. Kadang kala menghentak, kemudian pelan dan bunyinya kian memelan hingga menjauh. Dramatis.

Ini adalah dunia bunyi, di antara bunyi-bunyi lain yang tidak terhitung banyaknya. Selain Winston dan Winny, ada juga Bella dan Wilson. Empat muda-mudi Medan ini berhasil memukau penonton yang hadir lewat pertunjukan ekspresi bunyi yang mereka mainkan.

Komponis, Wilson Leywantono, violinis (pebiola) Winston Leywantono, pianis Winny Leywantono dan Bella Anesia, boleh jadi malam itu mereka bukan sekadar ‘beramal’ melalui skill bermusik yang dimiliki. Keempat anak muda yang semuanya lahir di Medan ini, juga menitipkan pesan tersirat kepada masyarakat Indonesia, khususnya di Medan, nama mereka telah tercatat dalam pelbagai konser musik klasik dunia untuk mengharumkan nama Indonesia.

Bahkan satu di antara mereka, Bella Anesia baru-baru ini memenangkan juara ketiga pada kompetisi musik internasional Salzburg Grand Orize Virtuoso 2017. Bella juga berkesempatan melakukan pertunjukan solonya dalam perhe­latan musik bergengsi itu di Mozarteum, Salzburg, Austria.

“Bella bahkan membawa bendera Indonesia saat berada di sana. Dia mengabadikan fotonya membentang bendera merah putih dengan latar belakang gedung Mozarteum,” ucap Billy, ayah Bella kepada Analisa di sela-sela konser.

Bukan main prestasi yang Wilson, Wisnton, Winny, dan Bella telah peroleh selama ini. Tapi di sini pula menariknya. Bagi keempatnya, berprestasi adalah gaya hidup. Bahkan dengan usia mereka yang relatif masih dini, keempatnya enggan berhenti untuk terus berprestasi. Setidaknya yang terjadi di atas panggung pada malam itu, mengung­kapkan ragam pesan yang mereka sampaikan lewat drama bunyi-bunyian.

Sebanyak tujuh karya para komponis dunia yang dihadirkan di atas panggung itu, syahdu terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Pilihan karya komponis seperti Fritz Kreisler, Johannes Brahms, Ludwig van Beethoven, Camille Saint Saens, Antonin Dvorak, dan Sergei Rachmaninoff yang dibunyikan oleh Bella, Winston, dan Winny di atas panggung terdengar begitu imajinatif.

Ada satu yang menarik, di antara tujuh karya gemilang itu, Wilson Leywantono juga berhasil mencipta karyanya sendiri. Simponi yang berjudul Piece for Violin and Piano 1, dibawakan secara duet instrumental oleh Winston dan Bella malam itu, menimbulkan reaksi decak kagum para penonton.

Kepada Analisa, pria yang terpilih dalam program pertukaran pelajar di Zeneakademia di Budapest, Hungaria. Pada September – Desember 2015 lalu, mengaku karya bunyinya itu terinspirasi atas pengalamannya selama di sana. Bermula karena teman sekamarnya di asrama, warga negara Italia yang kerap memainkan simponi piano sonata dari Komposer Bela Barto. Suara berisik yang dihasilkan dari simponi ini sebetulnya membuat dia tidak tahan mendengarnya. Akhirnya dia pun mencoba untuk mengubah simponi itu sedikit, agar enak di dengar. Menurutnya simponi piano sonata memiliki tiga bagian.

“Pada bagian ketiganya itulah saya menemukan sebuah pemikiran untuk menganalisis bunyinya. Persis dokter ketika sedang melakukan proses pembedahan kepada pasiennya. Saya mengubah sedikit pada 30 detik terkhir simponi itu, supaya lebih enak didengar,” katanya.

Terlepas dari itu, sebagai anak Medan, para alumni dari Methodis Charles Wesley Medan ini sangat bersyukur mendapatkan pengalaman belajar yang membut mereka kaya akan ilmu dan prestasi. Hal ini terungkap dari penuturan mereka ketika bersekolah di negeri orang.

“Di sana orang-orangnya ramah, mulai dari pihak kampus hingga para musisi. Begitupun sesekali saya merindukan rumah, juga rindu makanan Medan,” kata Wilson.

Menurutnya, musik bukan hanya sekadar kompetisi, tapi karena semua musisi mencintai musik. “Dengan kata lain, dengan mencintai pilihanmu, maka prestasi akan menghampirimu.”

Bella yang didaulat untuk memberikan testi­moni, justru mengimbau agar para generasi muda menanamkan sikap mandiri. Persis dia yang rajin mencari informasi mengenai kompetisi bermusik di dunia melalui layanan internet. Bella telah membuktikannya dalam pengalamannya. Award Grand Prize itu merupakan hasil dirinya sendiri mencari informasinya. “Intinya kita harus berusaha sendiri, secara mandiri,” tegasnya.   

Sementara itu, Winston justru mengatakan dukungan sekolah terhadap kemampuan dan kualitas yang dimiliki siswa sejatinya adalah 10 persen. Sisanya adalah tergantung diri sendiri.

Sisi lain pengalaman dan prestasi yang dimiliki anak-anak muda Medan ini, menjadi satu tamparan bagi kita. Tak pernah ada yang tahu perihal prestasi mereka yang inspiratif ini. Hal ini juga yang disesalkan Billy. Secara pribadi dia menyadari bahwa selalu ada orangtua-orangtua yang mengi­ngin­kan anak-anaknya berhasil di jalur musik. 

“Saya pikir cukup banyak anak Medan yang berbakat dan layak berkompetisi di dunia, namun sa­yangnya anak-anak itu kurang mendapat du­kungan,” ungkapnya.

Padahal ke depannya, musik akan menjadi tren di Medan. Artinya Billy ingin menegaskan dunia telah membuka mata terhadap kualitas musisi di Medan. Menariknya bukan di kelas musik populer, namun pada musik klasik. Beberapa anak Medan bahkan telah mengajar di beberapa negara Asia, mengajar tentang musik, ucapnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi