Maharani si “Anak Bertuah”

Oleh: J Anto.

SUATU hari usai pulang sekolah, tanpa sempat mmengganti seragamnya, bocah perempuan itu menyandarkan sepeda mini di halaman depan rumahnya. Lalu ia bergegas memanjat pohon rambutan yang tengah berbuah lebat. Pohon rambutan itu berada di depan rumah bergaya arsitektur Belanda. Bocah perempuan itu anak dari pasangan suami-isteri, H Sjamsuddin dan Hj Chairani Mozasa.

H Sjamsuddin saat itu menjabat sebagai Kabag Umum PTPN V. Keluarga ini dikaruniai tiga orang anak, dua pe­rempuan dan satu laki-laki. Mereka menempati rumah perkebunan yang ada di Desa Sei Karang, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang. Banyak rumah bergaya Belanda di kompleks itu. Peka­rangan rumah luas, banyak ditumbuhi tanaman buah. Tak hanya rambutan, ada juga mangga.

Dari atas dahan pohon, bocah perem­puan itu nangkring sembari menikmati beberapa buah rambutan yang telah ma­sak. Saat sedang asyik-asyiknya menik­mati manisnya daging rambutan, dari jendela rumah di bawah, ibunda bocah perempuan itu berteriak lembut,  "Maharani anak bertuah, turun dari pohon, nanti kamu jatuh...."

Perempuan itu yang tak lain Hj Chai­rani Mozasa. Bocah perempuan yang masih SD itu, tak lain Rita Maharani, desainer batik dan songket deli sekaligus pemilik Galeri Maharani.

"Sejak kecil sampai sekarang, ibu saya memang tak pernah memarahi saya, ibu selalu memanggil saya Maharani anak bertuah," tutur Rita Maharani.

Maharani itu artinya bertuah. Konsis­ten dengan nama yang diberikan kepada puteri bungsunya, Chairani, dalam ingatan Rita, selalu berkata yang baik terhadapnya. Sekalipun ada perilaku puteri bungsunya seperti memanjat pohon rambutan itu. Berkata baik dipercaya merupakan sebuah doa.

Tak sia-sia sang ibunda memanggil anak­nya dengan sebutan anak bertuah. Dalam perjalanan waktu, beberapa tuah atau kebaikan memang menghampirinya.

Saat di SMA IV Medan, antara 1986 -1989, Rita terpilih sebagai Putri Ratu se-Sumut yang diadakan sebuah produk kecantikan Jakarta. Ia pun terpilih untuk bersaing di tingkat nasional, sayang belum beruntung. Ia juga pernah meraih Juara III Putri Citra, ini juga sebuah produk kecantikan. Terakhir ia terpilih sebagai Puteri Matahari yang diadakan sebuah perusahaan mal terbesar di Indonesia.

Sejak kecil, Rita memang jatuh cinta dengan dunia model. Saat SMP dan masih ting­gal di Sei Karang, ia banyak me­ngo­leksi majalah remaja seperti Gadis, sementara saat SMA di Medan ia mulai mengoleksi majalah Femina. Dari kedua majalah itulah ia mengenal dunia fashion dan modeling. Bagi perempuan kelahiran 22 September 1970 itu, dunia fashion, memberinya rasa percaya diri.

Masukan Mode

Sang ibunda juga menjadikan anaknya sebagai desainer gratisan sejak kecil. Saat memesan baju ke penjahit langganannya, putri bungsunya selalu diajak. Rita di­minta memberi masukan tentang mode baju yang dipesan.

Kebiasaan itu berlanjut sampai seka­rang. Chairani sampai sekarang tetap me­ngenakan busana-busana hasil ran­cangan si putri bertuah itu.

Menjadi model dan memeragakan busana di atas catwalk memang bukan hal baru baginya. Kegiatan itu sempat terputus setelah ia menikah dengan Dzulmi Eldin pada 1991. Namun bakat itu kembali menemukan aktualisasinya saat dirinya menjadi Ketua Dekranasda Medan.

Kebijakan pemerintah melestarikan dan mengembangkan batik agar menjadi pakaian nasional, memantiknya untuk berkarya. Baginya, berbagai busana batik medan hasil rancangannya, tak semata karena ia ingin membuat ikon baru Kota Medan. Sebagai pekerja kreatif di bidang budaya,  ia juga ingin kreasi busananya menjadi identitas budaya kekinian yang bisa bersanding dengan budaya busana yang sudah ada.

Bu­kan hanya itu, lewat ragam hias ikon Kota Medan, ia juga ingin berparti­sipasi memromosikan objek wisata sejarah. Busana adalah media promosi yang mudah mengundang rasa penasaran orang.  "Saat dikenakan ke luar Sumut, orang akan bertanya, wah ini batik kok ada motif becaknya, ada motif istana, ini batik dari mana?"

Saat itulah kesempatan baik baginya untuk mengenalkan batik medan sekali­gus kekayaan objek wisata yang ada di Medan.  Sementara lewat ragam hias motif songket melayu klasik, Rita juga ingin meruwat kearifan lokal yang ditinggalkan generasi pendahulunya. Tak lain, agar generasi muda tak terputus dengan jejak budaya yang pernah ditoreh pendahulu mereka.

Untuk menampung dan mewujudkan kreasi batik medan, di galerinya, ia di­bantu lima penjahit muda lulusan sekolah khusus menjahit. Namun berba­gai corak hias dari kearifan lokal, tak hanya di­te­rapkan dalam busana, tapi juga merambah ke berbagai suvenir, seperti kerajinanan perak, tas, koper, dan berba­gai pernak-pernik lain.

Sekalipun sebagian masih mengan­dal­kan sumber daya dari perajin di Jawa, tapi misi Rita adalah memantik perajin lokal untuk berkreasi seperti rekan mereka di Jawa. Galeri Maharani yang dikelolanya juga dimanfaatkan menam­pung berbagai produk dari pelaku UKM.

"Saya ingin kehadiran galeri ini juga memberi tuah bagi orang lain, terutama pelaku UKM," tuturnya dengan senyum mengembang. Begitulah Rita Maharani yang nama Maharani diambil ibunya dari nama seorang Ratu di India.

()

Baca Juga

Rekomendasi