Peran Budaya dalam Menjaga Lingkungan Hidup

Oleh: Meyarni.

Pada 5 Juni masyarakat dari ber­bagai penjuru dunia meraya­kan Hari Lingkungan Hidup. Ka­ta yang lebih tepat sebenarnya, me­refleksikan sejauh mana seti­ap manusia menghargai dan men­cintai lingkungan sekitar­nya. Sayangnya dalam setiap ge­rakan menjaga dan merawat ling­kungan, peran budaya seringkali dilupakan. Seolah-olah persoal­an lingkungan hanya milik para pecinta alam dan mereka yang be­kerja dalam organisasi-orga­nisasi lingkungan hidup. Buda­ya­wan maupun seniman jarang dilibatkan dalam proyek-proyek konservasi itu. Padahal budaya dan lingkungan adalah dua hal yang tidak bisa terpisah. Justru lingkungan itu sendiri seringkali menjadi tema sentral dalam ber­bagai ekspresi maupun nilai-nilai budaya.

Di dalam kebudayaan itu ter­muat nilai-nilai ekologis yang ke­rap diekspresikan lewat berba­gai ritus dan medium budaya. Ba­ik di dalam musik, tari mau­pun sistem adat yang mengatur la­ku kehidupan masyarakat pe­miliknya.

Sebagai contoh budaya ma­sya­rakat Batak Toba. Budaya Ba­tak Toba dikenal sangat kental dengan pesan-pesan ekologis. Mi­salnya, sejak dulu nenek mo­yang masyarakat Batak Toba sa­ngat memantangkan membuka lahan dengan cara membakar. Mem­buka lahan bagi masyarakat Batak Toba, harus melalui berba­gai ritual tertentu. Itupun mesti memenuhi sejumlah syarat yang sangat ketat.

Pertama sekali, seseorang ha­rus menyampaikan niatnya kepa­da orang kampung melalui raja kampung di tempat ia tinggal. Ji­ka disetujui barulah niat itu bo­leh dilanjutkan. Orang Batak tidak boleh sembarang mene­bang kayu di hutan. Karena me­reka yakin, bahwa setiap pohon memiliki kehidupan yang harus dihormati.

Selain itu, mereka juga yakin di setiap pohon ada kehidupan la­in yang hidup di sana dan juga harus dihormati. Karena itu, bi­asanya mereka juga akan berta­nya kepada orang pintar untuk meng­hindari bencana yang tak di­inginkan.

Keyakinan itu membuat me­reka lebih hati-hati dan selektif da­lam memilih pohon yang akan ditebang.  Begitu ketatnya. Tidak heran, jika untuk sekedar mene­bang sebatang pohon saja, orang Batak bisa berlangsung sampai ber­minggu-minggu lamanya. Beberapa syarat itu, seperti yang penulis kutip dari tulisan buda­yawan Batak Toba, Monang Nai­pospos adalah sebagai berikut.

Pertama, pohon yang akan di­tebang harus berumur cukup. Ke­dua, tidak boleh menebang po­hon dalam jumlah banyak hanya di satu titik atau areal saja. Ke­tiga, orang tersebut harus meng­ganti pohon yang ditebang de­ngan 3 tanaman baru. Dalam arti, manakala pohon itu ditebang, segera dia harus menanam 3 bibit baru. Istilah ini kita kenal dengan tanam 3 tebang 1. Secara filo­so­fis, 3 bibit pohon ini dimaksud sebagai pengganti. Sekaligus men­jadi cadangan untuk anak dan cucunya di masa mendatang.

Selain itu, seseorang tidak bo­leh menebang pohon yang ber­ada di pinggir kampung. Atau yang termasuk pohon penyang­gah air. Karena itu mereka harus masuk ke dalam hutan sampai menemukan areal yang cocok. Hal ini dimaksud agar tidak meng­ganggu sistem sumber air di kampung tersebut. Tidak he­ran jika mereka akan menghabis­kan waktu berbulan-bulan untuk mengambil beberapa batang ka­yu.

Menariknya jika ada salah sa­tu syarat yang dilanggar, orang ter­sebut tidak hanya akan men­dapat sanksi adat maupun sosial. Lebih berat, justru sanksi secara spiritual. Biasanya orang terse­but akan merasa bersalah karena melanggar salah satu syarat. Orang tersebut akan merasa di­teror. Batinnya tidak tenang, se­kalipun dia sudah kembali dari hutan.

Karenanya biasanya, setiap ka­li ada hambatan dalam perja­lanan selama proses menebang po­hon itu, akan dikaitkan dengan roh penghuni hutan atau pohon  yang marah. Rasa bersalah ini pun terbukti sangat ampuh.

Biasanya orang tersebut akan menghentikan proses penebang­an pohon dan kembali ke kam­pung. Mereka akan meminta ma­af setidaknya kepada tetua kam­pung dan “orang pintar” yang men­jadi “pendamping” mereka. Me­reka baru akan kembali me­lanjutkan pekerjaannya setelah syarat itu dapat dipenuhi.

Biasanya jarang seseorang mendapat kesempatan dua kali. Begitu ketatnya aturan itu, me­maksa seseorang harus sungguh-sungguh dan memiliki niat yang kuat dan tulus.

Tidak hanya menebang po­hon, demikian juga ketika me­nangkap ikan di Danau Toba.  Para nelayan tidak boleh meng­gu­nakan alat yang dapat merusak ekosistem. Seperti mengguna­kan peledak maupun pukat ha­rimau. Begitu juga dengan jum­lah tangkapan haruslah diambil secukupnya untuk memenuhi ke­butuhan hidup sehari-hari. Ikan yang boleh diambil adalah yang sudah cukup umur serta tidak bo­leh menangkap ikan yang da­lam kondisi pra reproduksi.

Budayawan Tidak Dilibatkan

Demikianlah pantangan dan la­rangan itu termaktub dalam nilai-nilai budaya yang tidak pernah dituliskan namun harus dipatuhi semua orang. Nilai-nilai budaya itu menjadi pegangan masyarakat sehari-hari sekaligus menjadi alat kontrol bagi mereka. Sayang, nilai-nilai budaya itu per­lahan terkikis. Salah satunya karena tidak diajarkan kepada ge­nerasi yang lebih muda. Dalam hal itulah, mestinya posisi buda­yawan menjadi penting dalam setiap pembangunan. Termasuk pembangunan Kawasan Danau Toba yang tengah gencar-gen­car­nya dilakukkan.

Tidak dilibatkannya budaya­wan itu secara nyata  dapat dilihat dari struktur organisasi Badan Otorita Danau Toba (BODT). Seperti kita tahu, pemerintah te­lah mengeluarkan perpres ten­tang Badan Otorita Danau Toba. Peran budayawan nyaris tidak ha­dir di dalamnya. Khususnya pa­ra budayawan lokal yang men­diami  Kawasan Danau Toba itu sendiri.

Padahal justru posisi mereka sangat penting. Bagiamanapun mereka paling paham akan per­geseran nilai-nilai budaya yang terjadi di kawasan itu. Lagipula para budayawan merupakan tong­gak atas eksistensi budaya itu sendiri.

Para budayawan maupun se­ni­man sekedar diberi panggung. Itu sifatnya sangat terbatas. Me­reka sering hanya mendapat pe­ran figuran. Sementara pang­gung utama biasanya dimiliki oleh seniman-seniman dari Ja­karta.

Memang panggung kesenian bukan tuntutan utama sebagai­mana yang dimaksud dalam tu­lisan ini. Lebih dari itu, mestinya budayawan dilibatkan secara struk­tur organisasi. Mereka ha­rus diberikan posisi yang strate­gis, sehingga memiliki wewe­nang dan hak dalam menentukan keputusan. Tidak hanya sekedar memberikan mereka panggung kesenian yang sifatnya seremo­nial dan seringkali tak berdam­pak apa-apa.

Terabaikannya para budaya­wan menurut saya juga tidak le­pas dari pergeseran budaya itu sen­diri. Orang-orang tidak mera­sa penting lagi menjaga dan mem­pertahankan budaya. Sei­ring dengan kemajuan zaman dan semakin canggihnya tekno­logi, orang-orang merasa kebu­da­yaan sebagai aturan usang. Tak lagi relevan.

Karenanya pertanyaan men­da­sar mesti dijawab terlebih dahulu. Apakah kita di zaman glo­bal dan modern ini masih me­merlukan nilai-nilai budaya yang didasari oleh unsur-unsur spiri­tual itu? Ataukah memang kita ha­nya sekedar memerlukan pang­­gung hiburan yang penuh ge­gap gempita dan riuh tepuk tangan, sebagaimana yang seka­rang ini terjadi?

()

Baca Juga

Rekomendasi