Oleh: Purwandi
FAY menatapku penuh harap. Sepasang matanya yang teduh memandangku tanpa kedip. Nampaknya ia begitu antusias menanti jawaban pasti dari bibirku. Tapi, sampai hampir lima menit aku hanya mengunci mulut. Rasanya bibir ini sungguh sulit untuk mengucap kata pendek, ya atau tidak.
Ya, sukar sekali meluncurkan kata itu. Kalau kuucapkan ‘ya’ berarti aku mengingkari hati kecilku. Andai kujawab ‘tidak’, ah..., aku khawatir Fay akan tersinggung, dan menganggapku telah mulai berani membantah permintaannya.
Tapi..., akhirnya hati kecilku mengalah juga. Kuanggukkan kepala walau terasa berat. Sekali lagi, aku telah mengingkari hati nuraniku. Ya, demi Fay, cowokku terkasih.
“Iya, gitu dong!” Fay tersenyum gembira. Raut wajahnya menyiratkan kelegaan dan rasa puas yang tiada terkira. Kontras dengan suasana hatiku yang mengelabu.
“Jawab begitu saja nunggu sampai aku kesemutan, Nia!” ujarnya, mencoba bercanda. Namun, aku cuma tersenyum tipis tapi getir.
“Oke, nanti malam kamu kuantar ke salon langganan Mama,” Fay meraih tangan kananku dan membelai-belai jemariku. “Rambutmu harus dipotong model Nike Ardilla, model rambut terakhirnya sebelum dia meninggal dunia.”
Huuuh...! Nike, Nike, Nike Ardilla lagi! dumelku dalam hati. Walau sudah lebih dari 20 tahun artis cantik itu pergi untuk selama-lamanya karena kecelakaan mobil, namun Fay tepatnya mama dan papa Fay masih juga tergila-gila kepadanya. Fay, sebagai putra tunggal mereka, dan remaja dari generasi masa kini, ikut-ikutan ngefans sama artis sebaya ibuku itu. Koleksi kaset, DVD, poster, hingga majalah, tentang artis tenar era tahun 1990-an itu, tertata rapi dan bersih di rak lemari keluarga Fay. Kabarnya, sekali waktu, Fay bersama mama dan papanya pergi ke karaoke hanya untuk menyanyikan lagu-lagu kenangan artis multitalenta itu. Yeah..., benar-benar Nike-mania sejati!
“Hei, hei, kok malah bengong!” suara berat Fay menyentakkan lamunanku tentang keluarga Fay yang unik itu. Bagaimana tak unik? Mulai dari mama, papa, sampai Fay, si anak yang masih belasan tahun itu, ngefans berat sama idola jadul itu.
Konon, sejak mama dan papa Fay masih pacaran hingga sekarang, mereka masih aktif menjadi pengurus Nike Ardilla Fans Club (NAFC) di Kota Pekalongan. Mereka pun sering dengan sukarela menjadi donatur untuk acara-acara yang bernuansa Nike Ardilla. Hm..., sungguh luar biasa! Belum ada yang menandingi rekor kefanatikan fans berat Nike Ardilla di negeri ini.
“Jangan bengong melulu, nanti dipatok ayam lho, hehehe...,” Fay terkekeh. “Pulang, yok?” Ia menggandeng tanganku meninggalkan taman sekolah menuju parkiran. Suasana sudah lengang. Para penghuni sekolah sudah meninggalkan gedung ini. Hanya ada empat motor parkir di sana. Yang satu milik Fay, yang lainnya pasti milik guru-guru yang lebih suka menyelesaikan tugasnya di sekolah daripada di rumah.
“Aku yakin kamu bakal menang dalam kontes nanti,” ujar Fay setelah kami berboncengan. Aku hanya menghela napas pendek. Masih segar dalam ingatanku, beberapa bulan lalu Fay begitu menggebu-gebu membawaku ke guru vokal, melatihku bernyanyi yang benar, biar aku bisa menang dalam Lomba Lagu Nike Ardilla, untuk memperingati hari ulang tahun artis asal Bandung itu.
Aku pun tak berani membantah, walau dalam hati kecilku, aku sangat tidak suka. Bukannya aku benci seni suara. Tapi aku menyadari bahwa suaraku cukup jelek kalau tak bisa dibilang pas-pasan. Ah, ada-ada saja para Nike-mania itu, artis sudah meninggal dunia, tapi hari ulang tahunnya masih saja dirayakan.
Hampir satu bulan aku terpaksa tekun berlatih nyanyi, terutama lagu-lagunya Nike Ardilla, dari album pertama sampai yang terakhir. Hasilnya, aku harus puas tumbang di babak penyisihan. Tapi, Fay tetap menghiburku.
“Mungkin keberuntungan belum berpihak, Nia,” ujarnya kala itu. “Lihat itu para rivalmu yang berhasil masuk final, suaranya 'kan gitu-gitu saja. Nggak bagus-bagus amat. Mungkin saja para jurinya ‘miring’ dalam memberikan nilai.”
“Ah, sudahlah, Fay. Aku nggak kecewa kok. Mungkin akunya saja yang nggak punya bakat nyanyi.”
“Heeh, jangan pasrah saja, dong!” tukasnya tak suka. “Kamu harus berlatih lebih bagus lagi, Nia. Jadi, nanti kalau ada lomba lagi, kamu bisa berhasil!”
* * *
Nah, ketika baru-baru ini ada pengumuman Kontes Mirip Nike Ardilla di sebuah radio swasta di kotaku, Fay-lah orang pertama yang mendorongku untuk ikut. Tadi setelah bubaran sekolah ia membicarakan hal itu di taman sekolah.
“Namamu sudah sangat populer di kota kita, Nia. Aku yakin kamu pasti bisa menyisihkan saingan-sainganmu. Sayang kalau kamu melewatkan kesempatan emas ini,” bujuk Fay tadi.
Tapi aku tak langsung mengangguk atau menggeleng. Sebenarnya aku cukup tersiksa dengan programnya selama ini. Hobiku sejak SMP, yakni menulis cerpen dan akan kukembangkan ke arah serius semenjak kelas 2 SMA beberapa bulan lalu, terpaksa kutelantarkan demi Fay. Ya, demi Fay, cowokku tersayang, yang telah lengket denganku sejak kami sekelas di kelas 2 IPS ini. Bangga rasanya bisa melangkah bersamanya, karena Fay termasuk cowok idola di sekolahku.
Postur tubuhnya oke, tinggi dan tegap. Kulitnya kuning langsat. Tampangnya? Tak kalah deh dengan tampang para artis sinetron cowok yang setiap hari muncul di televisi. Prestasi belajarnya juga lumayan bagus, satu peringkat di atasku, yakni peringkat empat. Yang membuatku semakin salut, ia cukup sederhana. Meski di rumahnya ada tiga mobil milik orangtuanya yang pengusaha tekstil itu, ia lebih suka naik motor yang tak bisa dikategorikan baru lagi untuk ke sekolah. Karena itu aku tak berani membantah setiap permintaannya, meski hal itu sangat bertentangan dengan suara hatiku.
Semua ini kulakukan karena aku takut berpisah dengannya. Maka tadi akhirnya aku mengiyakan permintaannya. Sekali lagi aku harus mengalahkan hati nuraniku.
“Sudah sampai, Nia,” suara Fay yang berat membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru turun.
“Jangan lupa, habis Maghrib kamu harus sudah siap. Nanti kujemput, oke?”
Aku mengangguk lemas. Tak dapat kubayangkan, bagaimana nanti reaksi ibu, Mas Ryan, serta teman-teman di sekolah, setelah nanti melihat perubahan pada rambutku, yang semula panjang sepunggung menjadi pendek di atas bahu ala rambut mendiang Nike Ardilla sebelum pergi menghadap Tuhan.
Aku masih terpaku di muka pintu pagar sampai motor Fay hilang dari pandangan.
* * *
Hampir semua pengunjung di salon itu menatapku tanpa kedip. Aku jadi risih dipelototi demikian. Mereka saling berbisik. Aku jadi salah tingkah. Rasanya ingin berbalik lagi meninggalkan ruangan yang sangat harum ini. Tapi Fay mencoba menenangkanku.
“Cuek saja. Mungkin mereka mengira melihat kembarannya Nike Ardilla,” bisik Fay sambil menggandengku menuju ruang potong rambut. Wanita sebaya ibu mengajakku tersenyum.
“Ooo, ini ya, temanmu itu, Fay?” sambut wanita sebaya ibuku itu. “Wah, benar-benar mirip almarhumah Nike Ardilla,” ujarnya meyakinkan. Kemudian wanita pemilik salon itu menyerahkanku kepada karyawatinya untuk melayaniku sebaik-baiknya.
“Harus persis model rambut Nike Ardilla, ya?” pesannya kepada gadis yang akan ‘membantai’ rambut kesayangku sambil menunjuk poster besar Nike Ardilla.
* * *
Alhamdulillah, ibu dan Mas Ryan tak marah melihat perubahan model rambutku. Tapi, reaksi teman-teman di sekolah sungguh luar biasa.
“Aduh, serasa deh melihat Nike Ardilla lagi. Jadi, kita nggak perlu repot-repot buka Youtube lagi, hahaha!” komentar Ayu heboh. Yang lain pada ikut-ikutan heboh.
“Wah, Kania benar-benar mirip banget Nike Ardilla, teman-teman!” sambung Wina, cewek paling bongsor alias gendut di kelasku. “Hm..., jangan-jangan kamu memang reinkarnasinya Nike Ardilla, hiiii...,” lanjutnya lagi semakin ngelantur.
“Hiih, kamu ini ngelantur, Win. Kalau ngomong asal saja!” tukasku tak suka.
“Aku nggak ngelantur atau sedang ngelindur, Kania yang cantik...,” tangannya yang gempal merangkul pundakku yang tipis. “Kamu emang cantik, manis, dan... mirip banget almarhumah Nike Ardilla. Benar ‘kan, teman-teman?” ia meminta dukungan teman-teman sekelas.
“Betul, betul, betul!” sambut mereka menirukan si Upin dan Ipin di televisi. “Kalau nggak percaya, lihat aja di Youtube, hehehe....”
Kelas semakin heboh oleh berbagai celotehan ngawur mereka. Akhirnya aku tak lagi memedulikan kata mereka. Senang juga sih dipuji demikian. Bagaimana tak senang disamakan dengan almarhumah Nike Ardilla, artis legendaris Indonesia itu? Dia cantik, suaranya bagus, terkenal, dan jiwa sosialnya amat menonjol. Meski sudah meninggal 22 tahun lalu, tapi nama dan lagu-lagunya tetap dikenang berjuta penggemarnya di tanah air dan Asia Tenggara.
Setiap hari ulang tahun maupun hari kematiannya, selalu diperingati para penggemarnya. Makamnya pun selalu ramai para peziarah, yang tak hanya dari kalangan orang tua, tapi juga para remaja yang pada saat dia meninggal mereka belum lahir.
Sebenarnya, dalam hati kecilku, aku juga mengagumi artis muda berbakat pada zamannya itu. Tapi, aku 'kan bukan dia? Aku tak pintar menyanyi seperti dia, karena aku memang tak punya hobi menyanyi. Aku sering menyanyi karaoke di beberapa radio swasta hanya untuk menuruti permintaan Fay. Tak lebih dari itu. Jadi, tak ada sedikit pun keingananku menjadi artis terkenal seperti dia, apalagi menjadi penggantinya.
Aku memang bangga dikaruniai Tuhan wajah secantik artis terkenal itu. Namun, sekali lagi, tak tebersit sedikit pun di hatiku aku ingin menjadi artis terkenal seperti dia. Cita-citaku cukup sederhana, ingin menjadi pengarang yang baik seperti Marga T, Mira W, Asma Nadia, Dewi Dee Lestari, Ayu Utami, Ahmad Tohari, Gola Gong, dan sebagainya. Namun, untuk berterus-terang pada Fay, aku selalu tak sanggup.
Aku hanya mampu meredamnya dalam hati. Suasana seperti ini berjalan terus hingga kini, tanpa sedikit pun aku mampu mengelak dari permintaan Fay. Mungkinkah karena aku telanjur mencintainya, sehingga harus mengorbankan diri sendiri?
Hari itu aku murung terus di sekolah. Sampai teman-teman heran. Lebih-lebih Fay.
“Ada apa, Nia, seharian ini kamu kok murung terus?” Fay penasaran, menanyaiku terus dalam perjalanan ke rumah.
“Ah, nggak apa-apa kok. Aku hanya kurang enak badan,” aku berdalih, menyembunyikan perasaanku yang saat ini seperti berperang; harus berterus-terang pada Fay atau harus rela dan pasrah saja menjadi boneka mainan cowok itu? Kalau tak kukatakan secepatnya, Fay akan tetap menganggapku senang dengan ‘program-program’-nya itu. Tapi, kalau kukatakan terus-terang, maukah dia menerima alasan-alasanku? Kebimbangan menyelimuti hatiku.
* * *
Fay menatapku tak percaya. Aku menunduk. Tapi hatiku terasa lapang kini, terbebas dari himpitan beban batin. Apa pun kata Fay nanti, aku telah siap dengan jawabanku.
“Tapi, aku sudah mendaftarkanmu, Nia. Masak sih kamu batalkan?” Wajah Fay memerah. Rupanya dia tak suka dengan keputusanku.
“Itulah keputusanku, Fay. Aku nggak sanggup terus-menerus mendustai diri sendiri dan kamu. Baru malam inilah sanggup aku katakan dengan sejujurnya sama kamu,” aku berusaha tenang merangkai kalimat demi kalimat.
“Tapi, mengapa selama ini kamu nggak mengatakannya?”
“Karena aku nggak mau kamu tersinggung, Fay,” ujarku pelan. “Aku nggak ingin kamu kecewa. Tapi sekarang, dengan terpaksa aku harus mengatakannya semuanya.” Lalu, kukatakan juga tentang keinginanku menjadi pengarang, bukan sebagai penyanyi atau artis.
Fay diam. Sesekali ia menghela napas panjang. Kemudian ia berjalan mondar-mandir di teras rumahku. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu, atau... merenung?
Ya, baru sekali ini di malam Minggu, kurasakan suasana yang cukup tegang ini. Biasanya malam panjang kami selalu berhias canda ria. Karena aku selalu menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Bukan seperti malam ini. Aku malah membuka suara hatiku yang sesungguhnya. Sanggupkah Fay menerima kenyataan ini?
“Maafkan aku, Fay, kalau kamu kecewa banget oleh keterusteranganku ini,” kataku pelan, setelah ia duduk di hadapanku lagi.
Fay menatapku, lalu meraih tanganku. Ada seulas senyum terukir di bibirnya.
“Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Selama ini akulah yang mengatur segala gerak langkahmu, tanpa aku mau tahu bahwa caraku ini membuatmu sangat tersiksa,” ujarnya tenang. “Selama ini aku telah menjadikanmu obyek fantasiku. Kamu pasti tahu, aku dan keluargaku begitu ngefans dengan almarhumah Nike Ardilla. Maka, dengan menjadikanmu pengganti Nike Ardilla, aku, papa, dan mama, seperti melihat Nike Ardilla hidup kembali.” Tatapannya menerawang jauh, ke arah gemintang di langit cerah. Cuaca malam sedang cerahnya, walau bulan hanya menggantung separuh.
“Tapi, sekarang aku sadar, kamu bukan Nike Ardilla. Kamu bukan boneka. Kamu gadis biasa yang punya perasaan dan keinginan pribadi yang tak seorang pun berhak menghalanginya. Maukah kamu memaafkanku, Nia? “
“Ah, lupakanlah, Fay. Masalah itu nggak usah dipikirkan lagi, oke?”
“Sungguh?”
“Suer, deh!” Aku tersenyum.
Dan Fay menatapku penuh arti.
* Kota Batik Pekalongan, 23 Maret 2017