Tugu dan Monumen Pahlawan

Oleh: Isnaini Kharisma.

Tak hanya bangunan tua dan museum saja yang menjadi saksi sejarah dan memiliki daya tarik dari peninggalan arsitektur masa lam­pau, monumen pun menjadi kekha­san arsitektur bagi suatu daerah.

Hingga peringatan HUT ke-72 Kemer­dekaan Republik Indonesia, begitu banyak monumen di tanah air yang cukup memaknai arti sebuah kemerdekaan. Arsitek Dr Raflis Tanjung ST MT IAI AA mengatakan, untuk konsep sebuah tugu pahlawan, sangat jelas berkaitan dengan perjuangan rakyat melawan penjajah Belanda di masa itu. Selain berkai­tan dengan semangat daerah yang berjuang, juga menggambarkan bentuk perlawanan dan karakter pahlawannya.

“Tentunya, hal tersebut juga berkaitan dengan kearifan budaya setempat dan hal inilah yang membedakan tugu atau monu­men di satu daerah dengan daerah lainnya,” paparnya.

Sebut saja di Kota Medan, terdapat monumen Ahmad Yani setinggi 11 meter yang berdiri gagah di persimpangan Jalan Sudirman dan Imam Bonjol Medan dan terlihat cukup unik. Hal tersebut tampak dari wajah pejuang revolusi itu menoleh ke kiri, sedangkan tangan kanannya menunjuk ke arah kanan.

"Monumen tersebut maknanya memiliki unsur politik. Ahmad Yani berupaya menun­jukkan jalan yang lebih baik pada waktu itu dan yang menempuh haluan kiri yakni, kaum komunis (PKI) agar mengubah ke garis kanan yaitu partai Islam," katanya.

Raflis menjelaskan, monumen tersebut dikerjakan pada 1965 dan selesai pada 1968. Awalnya, pembuat patung tersebut, Ki Heru, menawarkan dua pilihan untuk monumen taman ini kepada Presiden Soekarno. Dua pilihan itu, yakni Monumen Ahmad Yani dan relief yang bercerita tentang G 30S/PKI.

Dari kedua tawaran itu, Soekarno memilih monumen Ahmad Yani karena pembuat patung tersebut tidak menampik ada hubu­ngannya dengan kondisi politik ketika itu.

Guna mengenang jasa para pahlawan, tak hanya monumen saja, ada juga Masjid Baitul Musyahadah yakni salah satu masjid yang berada di Kota Banda Aceh. Lokasinya yang berada di Jalan Teuku Umar, Desa Geuceu Kayee Jato, Kota Banda Aceh, sekitar 3 km dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Peci Tradisional

Masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Teuku Umar atau Masjid Kupiah Meukeutop dikarenakan bentuk kubahnya mirip dengan Kupiah Meukuetop, kopiah atau peci tradisional Aceh yang kerap digunakan Pahlawan Nasional Teuku Umar ketika memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda.

"Dengan arsitektur yang unik tersebut, tak heran jika masjid ini menjadi salah satu daya tarik dari Kota Banda Aceh," ujar Raflis yang juga pemerhati kota.

Masjid tersebut awalnya bernama Masjid Al Ikhlas, dibangun masyarakat muslim secara swadaya pada tahun 1989. Kemudian pada 1993 diubah namanya menjadi Masjid Baitul Musyahadah. Rancangan masjid pun ditangani cendekiawan terkemuka di Aceh, Ali Hasjmy.

Masjid dirancang dengan bentuk segilima dan merupakan perlambang dari dasar negara, Pancasila. Bentuk dasar segi lima masjid tersebut tampak dengan jelas jika dilihat dari udara.

Selain itu, nuansa tradisional Aceh bertaburan di masjid ini, dari bagian luar, khususnya pada bagian kubah, yang memang didesain dan diberi ornamen hiasan kopiyah asli tradisional masyarakat setempat. Kubah yang sama berukuran kecil, juga ditempatkan di atas mimbar dalam masjid.

Di Kota Langsa, juga terdapat tugu berbentuk elang dan angsa sebagai ikon daerah. Tugu itu dibangun guna mengingat­kan sejarah kota yang berkaitan dengan kedua hewan tersebut. Berdasarkan legenda, Kota Langsa yang bermula dari pengga­bungan Kerajaan Elang dan Kerajaan Angsa, dahulunya daerah tersebut merupakan kuala yang banyak ikannya dan menjadi sumber makanan kedua unggas tersebut.

"Maka itu, bentuk tugu hewan dibuat dalam konsep kontemporer meski sema­ngatnya tetap dari sana (analogi simbol hewan)," ujarnya.

Raflis menambahkan, di Kota Langsa juga terdapat ikon peninggalan kolonial Belanda yakni Gedung Balee Juang. Arsitek­tur bergaya Belanda itu sangat jelas pada gedung yang sudah ada sejak 1920 tersebut. Sebelumnya bernama Het Kantoorgebouw Der Atjehsche Handel-Maatschappij Te Langsar.

"Gedung ini hanya ada di Aceh dan ketika itu di Kuta Raja dan Kota Langsa. Di depan gedung ini, juga ada kantor pos yang sama-sama bercirikan arsitektur Belanda," katanya.

Mengenang jasa pahlawan, juga dibangun sebuah prasasti makam Tengku Amir Hamzah salah satu pahlawan nasional asal Sumatera Utara yang berlokasi di Masjid Azizi, Langkat. Pahlawan yang lebih dikenal dengan nama pena, Amir Hamzah, lahir 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat dan meninggal dunia  di Kwala Begumit, Lang­kat pada 20 Maret 1946. Selain bergelar pahlawan nasional, Amir Hamzah merupa­kan sastrawan Indonesia angkatan Poed­jangga Baroe.

()

Baca Juga

Rekomendasi