Mengulik Sejarah Kurban: Memanusiakan Manusia

• Oleh: Muhammad Idris Nasution

Tragedi-tragedi kemanusiaan yang kerap menghiasi wajah media massa belakangan ini amat memilukan sekaligus memalukan. Memilukan, karena tragedi-tragedi itu terjadi dengan tragis, tanpa belas-kasih dan menyesakkan. Memalukan sebagai manusia, karena tragedi-tragedi itu terjadi tanpa mengacuhkan sisi-sisi kemanusiaan. Sebut saja misalnya kasus pembakaran seseorang yang diduga mencuri di masjid, pembakaran dan pembunuhan seseorang oleh pacar, kawan atau anak sendiri karena hal sepele, kasus pemerkosaan, sampai kasus-kasus perdagangan manusia (human traficking): segala bentuk jual beli terhadap manusia dan juga eks­ploitasi terhadap manusia itu sendiri seperti pelacuran, penyekapan atau perbudakan.

Ini adalah fakta mencengangkan yang, bukan hanya masih ada tetapi banyak  terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Di mana ada manusia, tapi tidak berperilaku dan tidak memperlakukan manusia lain selayak manusia.Agama hadir untuk meretas dan memberantas tingkah-pola seperti ini. Agama hadir untuk memuliakan manusia dan menempatkan manusia sesuai dengan fitrahnya. Agama hadir untuk menuntun manusia agar memanusiakan manusia.

Sam Ratulangi, dalam salah satu filosofinya yang paling populer, ada mengatakanSi tou timou tumou tou, ‘manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia’.Menurut O. Notoha­midjojo, inilah salah satu tujuan dari pembentukan hukum, di samping keadilan. Para pakar pendidikan juga me­ngatakan bahwa tujuan pendidikan ada­lah dalam rangka memanusiakan manusia.

Dalam Islam, tarbiyah memanusiakan manusia dapat dilihat dalam ber­bagai aspek ajarannya, salah satunya dapat ditelusuri dari sejarah ritual kurban. Dalam Al-Quran, cerita kurban pertama kali dilakukan oleh dua anak Nabi Adam, Qabil dan Habil (QS Al-Ma’idah: 27). Tetapi cerita kurban pa­ling representatif dan ikonik adalah ce­rita Nabi Ibrahim yang hendak mengurbankan anak yang disayanginya, Ismail. Kisahnya dapat dilihat dalam QS Ash-Shaffat: 102-108.

Kisah pengurbanan Ismail ini bukan sekadar untuk menguji ketaatan dan kepatuhan kedua ayah-anak tersebut. Pengurbanan ini bukan sekadar untuk mengukur kadar cinta dan pengorba­nan dua orang mulia tersebut. Tetapi, dengan mengulik latar belakang serta situasi dan kondisi teologis-sosial masyarakat ketika itu, pengurbanan ini juga merupakan jawaban Tuhan ba­gaimana memperlakukan manusia dan di mana posisi sejati manusia.

M. Quraish Shihab, dalam bukunya, Membumikan Al-Quran, dan menuliskannya kembali dalam bukunya, Secercah Cahaya Ilahi, mengungkap asal-usul kurban Nabi Ibrahim.Nabi Ibrahim a.s., ungkap beliau, hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan. Beliau hadir pada masa ketika diperselisihkan tentang boleh-tidaknya manusia dijadikan sesajen kepada Tuhan. Satu pihak membolehkan dan pihak lain tidak membolehkan, karena manusia terlalu mulia untuk tujuan tersebut.

Melalui Ibrahim, lanjut beliau, secara amaliah dan tegas larangan tersebut dikukuhkan. Bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar untuk dikorbankan, tetapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Pe­nyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun –bila panggilan telah tiba –wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya de­ngan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih-sayang-Nya kepada manusia, maka praktik pengorbanan semacam itu tidak diperkenankan. Demikian ulasan beliau.

Dari ulasan di atas, kita dapat memetik beberapa mauizhah. Pertama, manusia adalah hamba Tuhan; Dia layak memperhambakan mereka, tetapi Dia tidak mengizinkan manusia untuk me­ngorbankan hamba-Nya sendiri kepada-Nya.Dia tidak memperkenankan tindakan manusia mengorbankan manusia lainnya dalam rangka memuliakan Diri-Nya.

Dahulu, praktik seperti ini kerap dilakukan manusia kepada dewa-dewa yang mereka anggap sebagai Tuhan. Orang-orang Caananites mengorbankan anak-anak dalam sebuah ritual untuk menyenangkan dewa mereka, Dewa Moloch. Orang-orang Mesir kuno menghanyutkan wanita tercantik di an­tara mereka ke sungai Nil sebagai pe­ngorbanan untuk Dewi Kemakmuran. Suku Aztec juga terkenal dengan ritual mereka mengorbankan manusia. Demikian juga orang-orang Viking yang mengorbankan pemuka agama mereka untuk Dewa.

Mengorbankan manusia untuk Tuhan, itu dilarang oleh Tuhan. Lalu ba­gaimana pula terlarangnya mengorbankan manusia ‘hanya’ untuk kepen­tingan manusia? Bagaimana pula terlarang­nya mengorbankan manusia untuk memenuhi hasrat membabi-buta manusia belaka? Mengorbankan manusia, membunuh dan membakar mereka, menyiksa dan mengeksploitasi mereka karena urusan perut atau amarah belaka? Sejarah kurban di atas mengingatkan bahwa Allah demikian mengasihi dan memuliakan manusia, sehingga mereka tidak boleh dikorbankanbegitu saja. Seperti itulah Allah mendudukkan ma­nusia, maka demikianlah semestinya manusia memanusiakan manusia, memperlakukan manusia sesuai hakikat dan tujuannya, bukan seperti binatang.

Kedua, ulasan di atas juga membeber sebuah peringatan bahwa lara­ngan mengorbankan manusia untuk Tuhan, bukan karena kedudukan manusia itu sendiri, tetapi karena kasing-sayang Allah. Catatan ini amat penting agar manusia tetap ditempatkan di posisi sejatinya. Manusia tidak selevel de­ngan Tuhan. Kedudukan manusia sa­ngat hina dibanding Tuhan. Ia layak dikorbankan jika Tuhan memang memin­tanya. Karena itu, bagaimana pun Tuhan memuliakan manusia, ia mesti tetap didudukkan sebagai manusia, ia tidak boleh ditempatkan sebagai Tuhan. Manusia dilarang mendewakan atau menuhankan manusia.

Ini adalah fenomena lain, di sam­ping fenomena tragis, di mana manusia memperbudak manusia. Ada pula manusia yang menuhankan manusia. Seiring keberadaan manusia-manusia tertentu yang bersikap selayak Tuhan saja. Karena dia seorang kiyai lantas dilarang berbeda pandangan dengannya. Karena dia seorang habib lantas dilarang mengkritiknya. Karena dia seorangustaz lantas dianggap suci, tidak mungkin salah. Lantaran dia kaya, lantas dianggap dapat mengabulkan sega­la. Lantaran dia pejabat, lantas dihormati seperti keramat.

Manusia adalah manusia. Manusia bukan Tuhan, yang dalam genggaman-Nya segala kebutuhan. Manusia bukan malaikat, yang suci dari berbagai dosa dan maksiat. Namun manusia pun bukan binatang, yang boleh disembelih dan dijadikan objek dagang. Manusia yang satu sama dengan manusia lainnya sebagai hamba Tuhan.

Demikianlah semoga ulasan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab.

***

Penulis adalah Imam Masjid Nurul Huda Asrama Brimob Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi