Pelajaran

PELAJARAN

Irfan Alma

Pelajaran berharga adalah langkah

tapak yang runut tentang setiap jejak yang lahir di bumi setiap hal akibatnya

jengkal demi jengkal pada tawa dan tangis pada sekumpulan orang asing yang selalu bertepuk tangan berbahagia di altar tertinggi negeri

lihat ada simbol pribumi berdasi

setelan apik minyak wangi tumpah

tapi tanpa celana !

pribumi yang tanpa permisi pada pribumi lainnya untuk tertawa lepas diatas jamban untuk makan dan berdandan di atas liang lahat nenek moyangnya pelajaran itu adalah nalar

tentang betapa kita harus tahu diri

bahwa kita nanti pasti mati

SURAT KETERANGAN MISKIN

Irfan Alma

Ada sekelumit kisah rumit tentang pendidikan di negeri peri orang-orang jungkir balik menelisik ramai tak perduli padahal ada harga diri bukan untuk dibagi sampai berkali-kali

 

sekolah adalah berkah buku kapur dan papan tulis murah sekolah bukan menjual marwah apalagi karena rupiah

bagi orang pongah

 

aduhai alangkah prihatin lihat fakta dada membatin apa benar terlalu miskin hingga tega nyakitin

 

puisi adalah pencitraan pada tuan

kaki dan mata yang meminta dalam makna puisi bukan pakaian mahal

kata pertama yang dalam semangkuk ceria  segelas harapan itulah jantungnya puisi bukan kata perkata yang patah bukan pula tak berharga

berharap pakaian terindah milik patuan

puisi adalah mimpi tuan milik tuan penghamba duniawi yang lupa

 

 

KARENA PASRAH

Rifan Nazhif

Ketika darah itu tertumpah

dari kisah perjuangan dan susah

sibiran tulang harus berserah

pada perintah yang tak bisa dibantah

seorang ayah mengasah gelisah

ketika didedah semua berserah

pada suka cita karena pasrah

(Palembang, Agustus 2017)

 

Tak Ada Tumpuan

Rifan Nazhif

Seribu hewan ternak kau sumbangkan

rasa bangga kau busungkan

seorang dermawan tiada tandingan

raja kurban setiap tahunan tapi pernahkah kau renungkan asal darah yang kau haturkan murni dari jalan yang memiliki tujuan atau hanya kau memberikan kotoran tak ada tumpuan, sama sekali tak ada tumpuan

(Palembang, Agustus 2017)

 

N i a t

Rifan Nazhif

Pada jalan ini tak ada yang dia haturkan

harta-benda tak pula terkurban

hanya mencoba jiwa suci dikumpulkan

semoga nian diberikan ketulusan

dalam niat yang beraturan

(Palembang, Agustus 2017)

 

HARTA

Rifan Nazhif

Apa yang kau persembahkan

kepada si miskin

hanya tertawa dan cemoohan

ketika mereka baru dapat jutaan

dari tangan yang ditadahkan

kau seperti setan kegatalan

padahal harta yang kau dapat

banyak dari perampokan

(Palembang, Agustus 2017)

 

HAJI #1

Annisa Tri Sari

Sebening air mata kasihmu

mengantarkan perjalanan panjang

menuju rumah paling megah

didamba berjuta-juta orang

dari segala penjuru

ibu, matamu menetes

katamu rindu

Sketsa KONTAN, Agustus 2017

 

HAJI #2

Annisa Tri Sari

Ingin kukembalikan waktu

atau kukembalikan langkah

nyatanya rentang masa akan sangat jauh melebihi penantian, melebihi detik demi detik detak dada haru

kau masih mengulang segala langkah

segala rangkaian ibadah

dalam kepalamu

Sketsa KONTAN, Agustus 2017

 

HAJI #3

Annisa Tri Sari

Sambil melihat-lihat televisi

kau memelihara kenang

aku melihat di matamu

kau ingin kembali

ke tanah suci

menyempurnakan ibadah

tapi apakah daya

orang-orang telah memasang nama

menggantungkan pada tiang-tiang terdepan kita mesti mengalah

Sketsa KONTAN, Agustus 2017

 

HAJI #4

Annisa Tri Sari

Ibu, suatu malam kau bertanya

membuat debar jantungku cepat sekali

membuat getar tubuhku menyala

'adakah kita akan pergi bersama?'

Sketsa KONTAN, Agustus 2017

 

AURORA

Abd. Rahman M

Kita memandangi langit yang sama

gemuruh dan angin menutup satu pintu keresahan kita menanti langit menjelma aurora di ujung kampung yang kita rindukan akan kurekatkan satu sayap rinduku di hatimu yang paling cerah

Prapat Janji, 2017

 

CATATAN BUKU HARIAN

Abd. Rahman M

Di lembar buku harian terbaca masa

yang bermekaran bunga-bunga

di celah belukar terselip pancaran

sinar surya setinggi galah kemudian ada sepasang perkutut bernyanyi penuh suka cita sungai-sungai mengalir di muaranya merekah kenangan padi-padi berbaris rapi membungkuk memuja Ilahi di lembar buku harian terbaca masa yang pecah dihantam ombak kenang

Prapat Janji, 2017

BUNGA YANG BERMEKARAN

Abd. Rahman M

Bunga yang mulanya bermekaran terbakar api cemburu reranting pohon yang kekar menjadi penghulu

di antara tawa riang sang camar

semenjak matahari menjelma pongah

hutan-hutan penuh dengan asap

merahnya api menjilati nafsu anak manusia

 

daun-daun layu jantungnya berhenti berdetak bibirnya lebam

sungai-sungai berhenti menyuarakan cita-cita tak ada lagi padi yang menguning hamparan sawah lelah termakan dusta dan rimbunnya hutanku akankah tinggal cerita dongeng?

Prapat Janji, 2017

 

PENYESALAN

Abd. Rahman M

Di bait terakhir buku itu terlukis senja

mula-mula rindu disimpan disatukan dalam kantung kenang terbentang dalam sajadah pada doa-doa tubuh itu kaku, pucat memandangi langit dan memandangi tanah yang beraroma pekat

 

terkenang waktu terpajang panjang

masa terlewati bimbang

dalam sajadah itu dituliskan cerita

riwayat perjalanan menuju ilahi

Prapat Janji, 2017

 

KESETIAAN

Liven R

Pada bingkai masa

membaca jejak di tanah

rintik hujan dan embun membasahi               

dasawarsa berlalu

adakah cinta berubah?

serupa nyanyian katak di musim hujan

menjadi kenangan terindah di musim panas pada satu jilid riwayat

berharap cinta jangan terkhianati....

 

MENCARI

Liven R

Pada persimpangan itu saat laju kereta waktu memisahkan ada debu dan kerikil di tiap setapak mencari dan menyusuri cahaya yang menyilaukan

gapai tangan pada kekelaman hingga pada luka yang mendewasakan

kita kerap belajar arti kehidupan hingga pada pusara kelak akhir nama terukir

 

HITAM-PUTIH

Liven R

Semenjak mata hati mampu kulihat warna itu cahaya malaikat bersama laron terbang di sepanjang jembatan

sirnakan kabut jelang jatuh rintik hujan

juga, searoma tanah gersang di antara luka membirukan sekelebat bayang seringai iblis di sinilah kita....

 

KISAH KITA

Liven R

Di kota ini...

pada langit tempatku berkanvas

ada biru di ufuk sana

merah mengisyaratkan seribu kesan

lembayung tempat asa berpaut

kelam merangkul sendu dalam diam 

tetapi, kisah manusia kerap merupa kelabu airmata menyempurnakan kisah pada diri saling bercermin biar, biarkan... bisikan lirih menopang rapuh jiwa....

 

TANGIS IBU PERTIWI

Erlangga

Sedih menyayat hatinya

menetes air mata dipipi

anak-anaknya bertikai, berseteru

saling mengalahkan, anak-anaknya

saling fitnah, saling menjatuhkan

bumi berpijak ibu pertiwi

basah oleh darah..!

kapankah pertikaian akan berakhir?

kapankah saling fitnah berkesudahan?

kapankah ibu pertiwi tak menangis lagi?

                   

TEMAN SETIA PAK TUA

Erlangga

Tubuh rentanya ringkih terbungkuk

rapuh tulangnya menyimpan nyeri

engkau telah dimakan zaman

seharusnya engkau tak berada

di jalan-jalan kota lagi pak tua

dimana panas dan hujan menerpamu

ratusan kendaraan melesat disekitarmu

dimanakah keluargamu, pak tua..?

mengapa engkau sendiri menghadapi

hidup..? Hanya sebuah becak dayung

yang keadaannya pun sama

dengan keadaanmu renta, ringkih dan rapuh, yang selalu setia menemanimu

menelusuri jalan-jalan kota kapankah kalian berpisah, pak tua..?

tak akan, sampai kematian datang menjemput, kau bilang..

                

KOTA SEMUT

Erlangga

Padat dan sesak di kota ini

jalan-jalan tak muat lagi

menampung ribuan kendaraan

gedung-gedung terus dibangun

tak peduli mereka..

Medan menjadi kota semut

DENGAN DZIKIR DAN DOA

Erlangga

Kenangan masa lalu tak pergi jua dari ingatanku tersayat hati perihnya masih terasa kini hanya waktu penyembuh luka tetapi masih berbekas

tak hilang olehnya aku hanya bertahan dengan zikir dan do'a

 

MENEMUKANMU

Irwan Effendi

Desir luka telah tertutup sudah ketika kau datang merampungkan semua cerita aku bukan lagi perindu yang ingin dimabuk cinta maka sebelum senja memerah telah kubuatkan perahu untuk kita menuju dermaga

izinkanlah aku selalu menjaga setiap helai nafasmu sebab tak ada yang lebih berharga kecuali kesetiaanmu yang tak mengenal waktu hingga ombak di laut cemburu ingin cepat-cepat menenggelamkan perahu

yang lama kita kayuh.

Medan,  Agustus 2017

 

DI PENGHUJUNG MALAM

Irwan Effendi

Gelisah malam diselimuti kabut

bertabur kisah di balik gemerlap cahaya ada yang terlelap dalam indahnya ada yang mabuk dalam buainya alunan musik seperti bius

yang menyesatkan angan hingga langkah terperosok jauh bagai perindu yang hanyut ditelan cumbu

 

gelisah malam menyimpan rahasia

di balik gelapnya selalu lupa kita bertanya esok pagi adakah yang masih terjaga lihatlah wajah-wajah yang semakin tua malam tak lagi menyisakan apa-apa kecuali amis luka dan setetes air mata yang tak tahu rimbanya.

Medan,  Agustus 2017

 

SUARA

Irwan Effendi

Suara itu mulai kudengar lagi

berbisik lirih dihembusan angin

semalam tangisnya yang dingin

telah membangunkanku

di antara serpihan waktu

air mataku luruh gelisah batin bercampur haru dengan apa kusambut kehadiranmu sedang malam masih menjeratku melewati jalanan terjal dan berliku lelahku telah membatu

 

suaramu terus memburu detik jam terus berpacu roda nasib masih tergolek lesu sedang tanganku tak lagi mampu merakit ranjang buat tidurmu

ini kali ketiga aku menunggu seperti menunggu kekasih di persimpangan waktu semoga tangismu membawa cerita baru di antara sisa-sisa nafasku yang mulai kaku.

Medan,  Agustus 2017

 

DI BALIK CAHAYA

Irwan Effendi

Bayang-bayang resah tak juga terbaca

telah retak cermin di hadapan mata

terus mencari dan meraba kota-kota terus menjelma bagai tubuh kekasih yang menebarkan aroma minta dikecup dan dijamah hingga malam rebah di balik seserpihan cahaya

cintaku telah hilang di antara tumpukan luka masih ingin bercanda-canda tak ingin terjaga

 

bayang-bayang resah tak juga terbaca

meski sesekali maut berbisik-bisik di telinga tapi peluit kereta tak pernah memberi tanda kapan kakiku berhenti melangkah sampai kekasihku lelah

sekujur wajahnya telah berlumuran air mata.

Medan, Agustus 2017

()

Baca Juga

Rekomendasi