Upaya Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia

Oleh: Poltak MS, S.Pd. Profesor David T Ellwood, De­­kan Harvard Kennedy School, ke­tika berkunjung ke Indonesia pada ta­hun 2010 lalu pernah meng­ung­kap­kan bahwa merancang dan me­ngem­bang­kan program penang­gu­langan ke­miskinan dan pengangguran yang efek­tif di Indonesia tidaklah mu­dah. Me­nurutnya, paling tidak di­per­lukan em­pat syarat yakni: ekonomi yang kuat, keunggu­lan komparatif jang­ka panjang, kelembagaan dan pe­merin­tah­an yang kuat dan efektif, serta program bagi kaum miskin.

Selanjutnya beliau berpendapat bahwa mengatasi persoalan kemiskin­an dengan mengandalkan program-pro­gram yang karikatif dan darurat (emergency program) hanya akan ber­dampak temporer dan tidak akan per­nah mencukupi. Ber­bagai program penanggulangan kemiskinan harus dirancang dengan seksama dan secara substansial menyentuh akar masalah yang dihadapi masyarakat miskin.

Lalu, kekeliruan apa saja yang telah di­­la­kukan oleh Pemerin­tah kita se­hing­ga program penanggulangan ke­mis­kinan tidak seperti yang diha­rap­kan? Pada hal apa saja kekeliruan itu ter­­jadi? Pe­ngalaman mengajarkan bahwa pelak­sanaan berbagai prog­ram penang­gu­langan kemiskinan sering tidak berjalan efektif karena adanya kekeliruan cara pandang perancang pem­­­bangunan dalam memahami kemiskinan.

Distribusi Kesejahteraan

Kemiskinan bukanlah fenomena Single Dimension, bukan semata ma­salah kekurangan pendapatan atau ma­salah penyedia­an modal berusaha saja. Jika cara pandang seperti ini yang diterap­kan dalam menyusun ranca­ngan program penang­gulan­g­an kemis­kin­an, maka hampir dapat dipastikan berbagai ke­gaga­lan akan terus terjadi.

Tidak sedikit bukti yang menunjuk­kan bahwa program penang­gulangan ke­miskinan yang dimaksud untuk merangsang perkem­­bangan kegiatan pro­duktif keluarga miskin bisa men­jadi bias begitu saja akibat beberapa fak­tor, seperti faktor struktural, ke­tidak­berdayaan, kerentanan keluar­ga mis­kin dan akibat tidak didukung oleh kesiapan basis so­sial masyarakat mis­kin secara me­rata. Bagaimana wa­rung atau toko ke­cil di kampung mam­pu ber­tahan hi­dup ketika sejumlah mi­nimarket dan su­permarket meram­bah ke sana? Ba­gaimana mungkin pe­tani bisa me­nik­mati margin keuntu­ngan yang pro­por­sional ketika dalam ke­nya­taan me­reka selalu tersubor­di­nasi oleh teng­kulak atau pedagang pe­rantara?

Bagaimana mungkin pelaku usaha ke­­cil menengah (UKM) dapat ber­saing dalam ketatnya persaingan antar pro­­duk sejenis bila Pemerintah mem­buka keran impor secara jor-joran de­ngan alasan untuk menjaga stok dalam ne­geri dan stabilisasi harga pro­duk? Ba­gaimana mungkin bila akses kese­hatan hanya bisa dinik­mati oleh kaum ber­duit yang memiliki kemampuan mem­­bayar premi asuransi yang dapat dinikmati ketika menjalani peroba­tan medis?

Kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan dan hanya meng­utama­kan kesamaan kesempatan berkom­pe­tisi, seringkali justru membuahkan hasil yang tidak egaliter, karena ke­bijakan yang terlalu menekankan unsur persamaan kesempatan saja cen­de­rung bersifat meritokratis. Adalah ke­liru ketika penekanan lebih dituju­kan pada persamaan dalam bersaing dari pada persama­an dalam hasil yang dicapai. Jadi, semacam turunan lang­sung dari individualisme yang dibalut dan dimanusiawikan melalui usaha-usaha yang sepintas tampak pro-poor, tetapi sesungguh­nya merupakan hasil konstelasi nilai-nilai yang mencer­min­­kan kompromi persamaan kesem­pat­an semata namun nir-keadilan.

Di Indonesia, kekurangan pokok yang harus diperhatikan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan ada­lah orien­tasi para perencana pem­ba­ngunan dan elite politik yang terlalu me­musatkan perhatian pada pe­ning­katan kuan­titas produ­ksi atau hasil se­cara linier se­hingga kebutuhan sis­tem produksi men­dapat tempat yang lebih utama dari­pada kebutu­han rakyat yang sebenarnya.

Selama ini banyak bukti yang me­nun­jukkan, paket-paket program pe­nanggulangan kemiskinan di Indonesia memang lebih banyak berorien­tasi pada peningkatan program dari­pada mendistri­busikan kesejah­ter­aan yang seharusnya menjadi tuju­­an uta­ma. Paket bantuan permodalan dan ban­tuan teknologi yang diberikan pe­merintah, meski dimaksudkan untuk men­dong­­­krak pendapatan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sesung­guh­nya lebih bertujuan untuk mening­kat­kan produ­ksi demi kepentingan eks­por dan peraihan devisa.

Lebih tragis lagi, sering terjadi tin­dakan pemerintah yang mengatas­na­makan pembangunan itu tidak me­m­berikan manfaat nyata bagi usaha pe­nanggulangan kemiskinan, tetapi justru berdampak menggerogoti kemampuan swadaya lokal. Penetrasi teknologi dan bantuan modal usaha ke sejumlah wi­layah dan komuni­tas masyarakat miskin, benar di satu sisi telah berhasil mendong­krak angka-angka produksi dan  me­ngantarkan Indonesia ke tahap swa­sembada dalam berbagai sektor pro­duksi.

Namun, tak bisa diingkari bahwa kesenjangan di saat yang sama justru makin melebar dan potensi masyarakat banyak yang tersungkur digerus mo­dernisasi.

Memihak Masyarakat Miskin

Program penanggulangan kemiskin­an yang dilaksanakan di Indonesia se­yogianya tidak terjebak pada program-program yang bersifat karitatif dan populis, tetapi harus lebih meng­edepan­­kan program-program yang lebih di­rancang untuk jangka panjang.

Hanya yang menjadi persoalan se­karang, sejak kebijakan otonomi dae­rah diberlakukan, elite politik yang terpilih sering kali merasa hanya me­miliki waktu memimpin hanya lima ta­hun saja. Maka sering terbersit di be­nak mereka, dari­pada menyusun program penanggu­la­ngan kemiskinan jangka panjang yang hasilnya akan diklaim kesuksesan pe­mimpin peng­ganti­nya, yang terjadi ke­mu­dian ba­nyak pemimpin lebih suka memilih dan melaksanakan program yang sifatnya populis dan instan, meski hasilnya sangatlah temporer. Di mata me­reka, program yang populis lebih penting dari pada program yang sifat­nya investasi dan akumulasi secara berkelanjutan.

Upaya untuk menanggulangi kemis­kinan yang efektif, mening­kat­­kan posisi tawar masyarakat miskin terhadap se­mua bentuk eksploitasi dan superor­di­nasi, selain membutuhkan kondisi per­ekonomian yang mantap, prasyarat lain yang dibutuhkan tak pelak adalah pe­luang-peluang sosial (Social Opportunities) yang benar-benar memihak ma­syarakat miskin. Selain itu perlu kesa­daran para perencana pembangunan ser­ta elite politik untuk memahami perso­alan kemiskinan tanpa harus terkon­taminasi oleh kepentingan politik praktis.

Sepanjang cara pandang elite politik dan para perencana pembangunan masih belum sepenuhnya steril dari ke­pen­tingan politik, sepanjang itu pula upaya untuk menangani kemiskinan akan tetap menjadi utopia. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi