Di Balik Busana Abaya Perempuan Arab

SEBAGIAN besar perempuan di negara-negara Teluk menghabiskan Rp31 juta untuk membeli baju, sepatu, dan perlengkapan kecantikan.

Jawaher Alyoha menganggap urusan busana secara serius. Perempuan berusia 21 tahun dari Uni Emirat Arab ini meng­habiskan lebih dari US$1.000 atau se­kitar Rp13 juta setiap bulan untuk membeli pa­kaian, sepatu, dan tas dan jarang sekali keluar rumah tanpa menata rambut dan memakai make up.

Sama seperti perempuan Emirat pada umumnya, Alyoha mengenakan gaun hitam sepanjang tubuh yang dikenal de­ngan abaya. Abaya dipakai sebagai lapisan luar baju dan kerudung hitam, yang disebut shailah untuk menutupi rambut ketika berada di luar rumah.

Dengan mengenakan pakaian seperti itu, hanya sedikit kawan dekat dan anggota keluarga yang pernah melihat seluruh pakaiannya. Abaya biasanya ditanggalkan di rumah atau acara-acara khusus untuk perempuan. Namun demikian, Alyoha tak berhenti berbelanja.

“Untuk merasa nyaman, kami memakai baju bagus di dalam abaya,” katanya. “Sa­ya ingat suatu ketika seorang guru asing suatu hari bertanya apakah kami hanya mengena­kan piama, dan saya bilang ‘tentu tidak!’”

Baju paling mahal yang pernah dibeli oleh mahasiswi jurusan media ini adalah baju karya perancang Italia Valentino, seharga 8.000 dirham atau sekitar Rp27 juta. Namun katanya, ia juga berbelanja di toko-toko biasa seperti H&M dan Zara.

Hal serupa juga dilakukan oleh Noura Hassan, 24 tahun, yang menyebut diri seba­gai penggila belanja.

Mahasiswi asal Sharjah, yang telah me­ngenakan abaya selama sepuluh tahun terakhir itu menuturkan:

”Jika saya punya uang, saya suka mem­be­lanjakannya. Setiap minggu saya mem­beli sesuatu yang baru dan dalam satu bulan saya menghabiskan lebih dari 3.000 dirham (sekitar Rp10 juta) untuk membeli baju dan sepatu, dan kadang-kadang lebih dari itu.”

Noura Hassan mengaku pa­ling gila de­ngan sepatu yang ia padukan dengan aba­ya. Koleksi sepatunya meliputi dua pasang sepatu hak tinggi Christian Louboutin, sepatu satin hak rendah Manolo Blahnik dan beberapa sepatu olahraga berhiaskan kristal merek Christian Dior.

Walaupun hanya dilihat oleh segelintir orang, baginya pakaian sangat penting. “Pakaian yang indah dan berwarna membuat saya bahagia,” ujarnya.

Mewah

Perempuan dari negara-negara Teluk yang kaya akan minyak, seperti Arab Sau­di, Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Qatar tergolong orang-orang yang suka ber­pe­nampilan mewah di dunia. Minat mereka akan busana mewah meng­geliatkan pen­jua­lan di Timur Tengah.

Rata-rata warga Teluk membelanjakan US$2.400 atau sekitar Rp31 juta setiap bulan untuk belanja perlengakapan kecan­tikan, baju dan cendera mata. Data itu berasal dari hasil survei spesialis barang-barang mewah Timur Tengah, Chalhoub Group. Dikatakannya 78 persen dari mereka yang disurvei meyakini bahwa me­reka harus mengikuti tren terbaru.

“Dunia Arab tak terisolasi dari apa yang terjadi di belahan dunia lain dalam konteks mode dan tren dan jika perempuan Teluk melihat selebriti mengenakan sesuatu, maka mereka pun menginginkan hal yang sama,” jelas ahli spesialis ritail, Shamail Siddiqi, dari perusahaan kon­sultan A.T. Kearney.

“Hal yang unik di sini, meskipun ba­nyak perempuan yang mungkin sedikit konservatif dalam berpakaian, dan banyak perem­puan mengenakan abaya, sebanar­nya mereka adalah konsumen barang-ba­rang mewah,” katanya.

Pusat dari perkembangan pesat pakaian ini adalah Uni Emirat Arab, yang lebih liberal dibandingkan negara tetangga Arab Saudi. Di Arab Saudi, semua perempuan diwajibkan untuk menutup sekujur tubuh­nya tapi Uni Emrat Arab tidak mengha­rus­kan perempuan mengenakan abaya, mes­kipun sebagian besar tetap menge­na­kan abaya.

Bagaimanapun tak seperti generasi tua, perempuan muda Emirat kini memilih abaya yang bagian depannnya terbuka.

Dengan mal-mal yang serba gemerlap, Dubai yang sudah menjadi pusat ritail di kawasan kini juga punya Distrik Desain Dubai (DD3). Dubai juga menggelar pameran mode, Fa­shion Forward Dubai, salah satu pameran mode paling populer di Timur Tengah.

Ini ditambah lagi dengan kedatangan orang-orang Rusia, Eropa, Tiongkok, dan Amerika yang punya kekayaan bersih luar biasa besar. Mereka biasanya menginap di hotel-hotel bintang lima di Dubai. Oleh karena itulah, perempuan Uni Emirat Arab begitu tertarik dengan pakaian global.

“Karena cuaca panas melanda hampir sepanjang tahun, pusat-pusat perbelanjaan menjadi tujuan satu-satunya dan jelas itu mendorong penjualan,” kata Zahra Lyla, blogger mode yang tinggal di Dubai.

Peduli

Perancang Emirati, Fatma AlMulla, sosok yang berada di belakang merek FMM, menuturkan: “Perempuan di sini benar-benar peduli tentang pakaian mereka. Mereka tak sekadar me­ngenakan pakaian seadanya di dalam abaya karena mereka khawatir jika abaya terperangkap di eskalator dan kemudian robek. Mereka harus berhati-hati!”

“Citra itu penting di sini,” kata blogger Zahra Lyla

“Jika perempuan mengenakan abaya ter­buka, ia ingin terlihat mengenakan pa­kaian bagus di dalamnya jika abaya terse­but terbuka karena kena angin.”

Selain itu, meskipun perempuan Emirat menutup tubuh di tempat-tempat umum, ada ba­nyak acara khusus perempuan yang mereka datangi. Lyla sendiri adalah pe­rempuan Emirat tapi tak mengenakan abaya dan memberikan penjelasan berikut.

“Ketika mereka berkumpul bersama teman-teman dan keluarga, mereka ingin me­mamerkan yang mereka pakai,” jelas­nya. Ini dilakukan untuk menunjuk­kan bahwa mereka mengikuti tren dan desain yang tengah berkembang.

Menurut Effa Al Dabbagh, seorang perancang yang punya butik di Jumeriah, Dubai, pilihan pakaian merupakan ma­salah kebanggaan.

“Perempuan yang mengenakan abaya bangga akan pakaian mereka,” jelasnya.

“Saya tahu jika saya berpakaian mena­rik dan memperhatikan diri sendiri dan pe­duli akan penampilan, maka saya merasa enak dan saya melakukan itu untuk saya sendiri, bukan untuk orang lain.” (bbc/bsc/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi