Namun, satu bulan lalu, persahabatan mereka selama dua dasawarsa nyaris berakhir setelah hasil pemilihan presiden Kenya, yang berisi persaingan ketat, diumumkan.
Kedua teman lama itu, seperti juga jutaan orang lain di Kenya yang ikut dalam pemungutan suara, berbeda pendapat mengenai hasil yang diumumkan oleh badan pemilihan umum negeri tersebut.
Meskipun demikian, mereka mampu meninggalkan sejarah yang tak menyenangkan itu dan mereka sekarang berdoa agar tak terjadi kekejaman di daerah kumuh yang selalu dicatat sebagai tempat bergolak penuh kekerasan pasca-pemungutan suara.
Oloo dan Wanjiru berusia pertengahan 30-an tahun dan tak membiarkan apa pun menjelang pemungutan suara-ulang di Kenya pada 17 Oktober.
Mereka, kata Xinhua —yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat malam, menggunakan makanan, unsur yang paling menyatukan, untuk menyebarkan perdamaian terutama antara masyarakat Kikuyu dan Luo, tempat Presiden petahana Uhuru Kenyatta dan pesaingnya dari oposisi, Raila Odinga, berasal.
“Saya masih ingat dengan sangat jelas peristiwa mengerikan yang terjadi setelah pengumuman hasil pemilihan presiden pada 2007. Saya dan Wanjiru sedang mengerjakan kegiatan rutin menjual pakaian di satu pasar tak jauh dari ini, ketika seorang teman saya menelepon dan memberitahu saya agar membantu Wanjiru bersembunyi sebab keadaan tidak bagus,” kata Oloo.
“Saya takut peristiwa serupa dapat terjadi bulan lalu, setelah oposisi mempermasalahkan pemungutan suara, tapi syukurlah, keadaan tidak seburuk kondisinya 10 tahun lalu, sebab kami akan menghadapi pemungutan suara lagi dalam waktu kurang dari satu bulan, kami ingin membuktikan masyarakat Kikuyu dan Luo dapat hidup berdampingan secara damai siapa pun yang menang dalam pemungutan suara,” kata Oloo kepada Xinhua.
Kedua perempuan tersebut sekarang menggunakan resep yang dipinjam dari kebudayaan Kikuyu dan Luo untuk mendinginkan temperatur politik yang tinggi di daerah kumuh, yang memiliki sebanyak 250.000 warga. Kibera terdiri atas 13 desa yang berjejalan di dalam satu daerah seluas 2,5 kilometer persegi.
Sekalipun mereka tidak memiliki tempat permanen untuk menggelar dagangan mereka, mereka pergi dari desa ke desa untuk menjualan makanan di lorong penuh orang dan mereka tidak malu untuk menyampaikan misi mereka kepada siapa saja yang mau mendengarkan.
“Salah satu makanan saya adalah ikan, yang kebanyakan disantap di wilayah barat Kenya dan ‘githeri’, campuran buncis dan jagung— makanan yang terkenal di Wilayah Kenya Tengah. Kami membuat setiap pembeli kami menyadari misi kami dan sejauh ini tanggapannya bagus,” kata Wanjiru.
“Ada tempat kami dicap hotel bergerak Kikuyu-Luo dan ini adalah tanda yang jelas bahwa usaha kami diperhatikan. Apakah Raila atau Uhuru menjadi presiden, saya dan teman saya Oloo tetap akan kembali ke daerah kantung kami dan membayar sewa, dan ini adalah pesan kami kepada setiap orang di Kenya,” wanita itu menambahkan.
Pada 17 Oktober, Kenya dijadwalkan menyelenggarakan pemilihan presiden lagi dan doa Oloo serta Wanjiru ialah perdamaian yang sekarang mereka nikmati akan tetap hidup sekalipun setelah hasil pemungutan suara diumumkan.
Saat politisi Kenya terus berburu suara dan menjual manifesto mereka kepada pemilih, kedua perempuan tersebut telah mencurahkan waktu mereka untuk berdoa bagi perdamaian dan persatuan.
“Bukan rahasia bahwa sebagian politikus Kenya berkeliaran untuk memecah rakyat Kenya berdasarkan garis etnik. Kami mungkin memiliki sumber daya untuk menjankau semua rakyat Kenya seperti politisi tapi kami percaya upaya kecil kami akan memberi hasil yang besar,” kata Oloo.
“Memelihara perdamaian mesti menjadi kewajiban setiap warga; kami tak memiliki tempat lain yang dinamakan rumah. Jika kami membakar Kibera hari ini, kami akan terusir ke jalan dan mengemis makanan,” tambah Wanjiru. (Ant/Xinhua-OANA)