Mengenal Hubungan Endometriosis dan Kanker Ovarium

Oleh: dr. Eric Gradiyanto Ongko

APA itu endometriosis? Apa penyebab dan gejala endometriosis? Seberapa erat hubungan endometriosis dengan kanker ovarium? Seberapa besar dampak en­dometriosis terhadap kehidupan seorang pe­rem­puan? Apa persamaan dan perbedaan gejala endometriosis dan kanker ovarium?

Endometriosis merupakan suatu kondisi medis yang menyakitkan di ma­na jaring­an implan endometrium, ter­­diri dari jaringan yang biasa dite­mu­kan dalam rahim, yang terdapat di daerah tubuh yang lain. Hal ini men­­jadi masalah karena jaringan ter­se­but terus bertindak seolah-olah be­rada di dalam rongga rahim dan se­makin menebal, memecah dan ber­darah sela­ma siklus menstruasi wa­nita dan menjadi terperangkap dalam ba­gian tubuh yang di­pe­ngaruhi. Ja­ringan parut dan perlengketan yang ter­ben­tuk ketika iritasi pada ja­ringan sekitar yang terjadi akan menye­bab­kan organ ber­fusi/melekat dan peru­bah­an anatomi.

Di seluruh dunia, 176 juta perem­puan mengalami pe­nyakit ini, de­ngan 5 juta pe­rempuan yang meng­ala­­mi­nya di Amerika Serikat. Ge­jala dari endometriosis secara umum di­alami saat usia pro­duktif, yang paling umum saat perempuan usia 30-40 tahunan dan dapat pula terja­di pa­da perempuan menar­che (kali per­tama menstrua­si).

Kebanyakan perempuan tidak terdiagnosis, dan mem­butuhkan se­kitar 10 tahun un­­tuk menerima diag­nosis di Amerika Serikat. Endo­me­t­riosis merupakan penyakit yang tidak menular. Alergi, asma, sensitif ter­hadap bahan kimia tertentu, pe­nyakit au­toimun, sindroma kelela­han kro­nik, fibromialgia, kanker payu­dara meru­pa­kan penya­kit yang di­kait­kan dengan pe­rempuan dan ber­hu­bungan erat dengan endometriosis.

Jaringan implan endome­trium dapat ditemukan di ber­bagai bagian tubuh terma­suk vagina, vulva, ser­viks, tu­ba fallopi, ovarium, liga­men ureterosakral, peritoneum, rong­ga pelvis, kan­dung kemih, lam­bung, usus, apendiks, dan/atau rek­tum. Pa­da kasus yang lebih jarang, jaringan im­plan endome­tri­um bisa juga ter­dapat di pa­ru-paru, otak dan kulit. Pe­nyakit ini tidak hanya me­nye­babkan gejala fisik seper­ti nyeri, tetapi juga mempe­ngaruhi bagian lain dalam ke­hi­dupan seorang perem­pu­an, terma­suk kehidupan pro­fesionalitas dan ekonomi, hu­bungan sosial, dan kua­litas hidup perempuan.

Penyebab pasti dari endo­metriosis sampai saat ini be­lum sepenuhnya dipahami. Namun, ada beberapa pen­je­lasan dari perkembangan pe­nyakit ini, termasuk:

Menstruasi retrograde – kon­disi ini menyebabkan da­rah menstruasi ter­dorong naik kembali ke tuba fal­lo­pi dan pelvis yang seharusnya eks­pulsi secara normal. Pene­litian tam­ba­han pada bagian ini perlu ditentu­kan kenapa hanya beberapa perem­puan yang mengalami endome­trio­sis saat menstruasi retrograde.

Pertumbuhan sel embrio­nik – pada saat sel embrionik melapisi ab­do­men dan pang­gul berkembang men­jadi ja­ringan endometrium da­lam rongga-rongga tersebut.

Perkembangan janin – data me­nunjukkan bahwa endometriosis da­pat dialami saat perkembangan janin; ka­dar estrogen pubertas dini­lai se­ba­gai pemicu penyakit ini.

Bekas luka operasi – sel en­do­met­rium dapat melekat pada daerah in­sisi/sayatan yang dibuat untuk pro­sedur histerektomi atau operasi se­sar.

Transport sel endome­tri­um – sis­tem limfatik dapat me­nyangkut sel en­­dometri­um ke beberapa bagian tu­buh lain.

Genetik – ada kemung­kin­an kom­ponen yang diwaris­kan pada endo­metriosis. Ter­dapat 5-7 kali pening­katan risiko pada seorang perem­puan un­tuk mengalami endometriosis jika ter­dapat ke­luarga dekat yang men­derita penyakit ini.

Hormonal – endometriosis dipicu dari hormon estrogen.

Sistem imun – masalah pa­da sis­tem imun dapat meng­hambat peng­han­curan dari jaringan endometrium di luar rahim.

Kondisi medis lain seperti pe­nya­kit radang panggul, kis­ta ovarium dan irritable bo­wel syndrome mirip de­ngan gejala endometriosis. Me­nge­­nai gejalanya, perlu di­eva­luasi pada pelayanan ke­sehatan sehingga mendapat­kan diagnosis yang akurat.

Gejala dari endometriosis, antara lain: kram menstruasi berat yang tidak dapat dire­da­kan dengan obat anti nye­ri non steroid; nyeri pung­gung ba­wah dan panggul dalam jang­­­ka pan­jang; durasi mens­truasi yang lebih panjang da­ri rata-rata pe­riode berlang­sung 7 hari; perdarahan mens­truasi yang berat me­nye­babkan perlunya meng­­ganti tampon setiap 1-2 jam; masalah usus dan saluran ke­mih, termasuk nyeri, dia­re, kons­tipa­si dan kembung; be­­rak atau ken­cing darah; mual dan mun­tah; kelelahan; nye­ri saat ber­hubungan sek­sual; ber­cak/perdarahan di antara sik­lus mens­truasi; dan infer­tilitas dapat da­pat dialami 30-40% dari pasien endo­me­triosis.

Ketika rasa nyeri merupa­kan in­dikasi yang paling umum pada endometriosis, tingkat keparahan nyeri tidak selalu berkorelasi dengan ting­kat keparahan penyakit yang ringan. Seringkali, rasa nyeri akan mereda me­ngikuti menopause ketika estrogen berhenti, namun jika menja­lani terapi hormonal saat me­nopause, ge­jala akan mene­tap. Kehamilan dapat mere­dakan gejala untuk semen­ta­ra.

Setiap perempuan dapat meng­ala­mi endometriosis, na­mun ada faktor risiko ter­tentu pada beberapa perem­pu­an yang memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami endometriosis, antara lain:

Usia – paling sering di­alami pada perempuan usia 30-40 tahun.

Nuliparitas – belum per­nah me­lahirkan.

Genetik – satu atau lebih ke­luarga dekat dengan pe­nya­kit ini (ibu, tante, kakak).

Riwayat medis – pernah meng­alami kondisi yang men­cegah eks­pulsi darah mens­truasi, infeksi pada ba­­gian panggul, atau kelainan ana­tomi rahim.

Riwayat menstruasi – mens­truasi yang berlangsung lebih dari 7 hari atau siklus menstruasi >27 hari.

Komplikasi dari endome­triosis termasuk infertilitas, peningkatan risi­ko kanker ovarium atau karsi­no­ma yang berhubungan dengan endo­metriosis, kista ovari­um, inflamasi/pe­radangan, jaringan parut dan per­leng­ketan jaringan, dan kompli­kasi pada usus dan kandung kemih.

Kanker ovarium (indung telur) dipicu dari setiap kan­ker yang tum­buh dari ovari­um. Sebagian besar kan­ker ovarium dimulai dari epite­lium (lapisan luar) dari ova­rium. Me­nurut American Cancer Society, ini merupa­kan kanker urutan ke-8 paling sering dialami perempuan di Ame­rika Serikat. Namun, penyakit ini merupakan pe­nyebab kematian ke-5 paling umum kanker pada pe­rem­­puan. Diantara kanker gine­kologi (rahim, leher rahim/serviks, dan ovarium), kan­ker ovarium me­miliki tingkat kematian tertinggi.

Setiap tahun, lebih dari 22.000 pe­rempuan di Ameri­ka Serikat ter­diag­nosis de­ngan kanker ovarium dan se­ki­tar 14.000 akan mening­gal. Tra­gis­nya, angka harap­an hidup selama 5 tahun ha­nya 46 persen di negara pa­ling maju (ini akan lebih ren­dah pada stadium lanjut). Na­mun, menurut National Cancer Institute, jika diagnosis dibuat lebih awal, sebelum tu­mor telah menyebar, angka harapan hidup se­lama 5 ta­hun mencapai 94 persen.

Pada tahap awal, kanker ova­rium bia­sanya memiliki gejala yang se­dikit; pada ba­nyak kasus, tidak me­miliki ge­jala sama sekali. Pasien se­ring­nya mengira gejala-ge­ja­la ini se­bagai kondisi lain, se­perti sindroma premenstrua­si, irritable bowel syndrome, atau masalah kandung kemih sementara. Perbedaan utama antara kanker ovarium de­ngan gangguan lain yang mungkin, adalah gejala per­­sisten/menetap dan membu­ruk secara bertahap.

Berikut ini merupakan con­toh dari gejala awal yang mungkin dari kan­ker ovari­um, meliputi: nyeri panggul, nyeri pada badan bagian ba­wah, nye­ri pada perut bawah; nyeri punggung; gangguan pencernaan atau radang lam­bung; cepat kenyang ketika ma­kan; berkemih yang lebih sering dan mu­dah sesak ken­cing; nyeri saat ber­hubungan seksual; terjadi perubahan kon­disi usus, misalnya kons­tipasi.

Seiring perkembangan kan­ker ova­rium, gejala-geja­la ini juga mung­kin dialami, misalnya: mual, berat badan menurun, sesak nafas, kele­lahan, kehilangan selera ma­kan. Jika individu tersebut mengalami kembung, tekan­an atau nyeri pada abdomen atau panggul yang menetap lebih dari beberapa minggu, perlu segera mencari dokter.

Meskipun kanker ovarium seperti banyak kanker lain­nya, disebabkan oleh sel yang membelah diri dan be­rep­li­ka­si dalam cara yang tidak tere­gulasi; belum ada yang mengerti dengan sempurna mengapa kanker ovarium bi­sa terjadi.

Namun diketahui ada be­be­rapa faktor risiko yang di­kaitkan untuk mengalami ke­mungkinan yang lebih tinggi pada penyakit ini:

Riwayat keluarga – pe­rem­puan ya­ng memiliki fa­mi­li dekat yang menderita kanker ovarium, atau kan­ker payudara, memiliki risiko yang le­bih tinggi mengalami kanker ova­rium dibanding­kan wanita lain. Sk­rining ge­netik dapat menunjukkan bah­wa apakah seseorang membawa gen tersebut yang dikaitkan dengan peningkat­an risiko.

Usia – sebagian besar kan­ker ova­rium terjadi pada wa­nita dengan usia 65 tahun.

Tingginya jumlah total ovulasi se­umur hidup – ter­da­pat hubungan antara jum­lah total ovulasi selama kehi­dupan perempuan dan risiko dari kanker ovarium. Empat faktor utama yang mempe­ngaruhi jumlahnya ialah: se­makin banyak kali seorang pe­rempuan hamil, semakin kecil ri­sikonya; perempuan yang tidak pernah me­ngon­sumsi pil kontrasepsi memi­liki risiko yang lebih tinggi; pe­rempuan yang memulai pe­riode mens­truasi pada usia dini memiliki risiko yang le­bih tinggi; wanita yang me­­­mulai menopause telat dari ra­ta-rata, memiliki risiko yang lebih tinggi.

Terapi fertilitas atau in­fer­­tilitas – be­berapa studi me­ne­mu­kan hubu­ngan anta­ra tera­pi infertilitas dan ting­­ginya risiko kanker ovarium. Ti­dak ada yang tahu apakah risiko k­a­rena terapi fertilitas, atau infertilitas, atau kedua­nya.

Kanker payudara – pe­rem­puan yang didiagnosis kanker payudara me­miliki ri­siko yang lebih tinggi me­ng­alami kanker ovarium.

HRT (hormone replacement the­rapy) – HRT sedikit me­ningkatkan ri­siko seorang perempuan meng­ala­mi kan­ker ovarium. Para ahli me­nga­­takan bahwa risiko akan meningkat selama HRT tetap dikonsumsi, dan kembali men­­jadi normal saat terapi dihentikan.

Obesitas/kegemukan – men­­jadi obe­sitas atau kege­mukan mening­kat­kan risiko mengalami banyak kanker.

Endometriosis – perem­pu­an de­ngan endometriosis me­miliki sekitar 30 persen risi­ko lebih tinggi meng­alami kan­ker ovarium dibanding­kan de­ngan perempuan lain.

Penanganan kanker ovari­um me­liputi pembedahan, kemoterapi, kom­binasi pem­bedahan dan kemo­terapi, dan, kadang radioterapi. Je­nis te­ra­pi yang dilaksanakan ber­gan­­tung dari banyak faktor, termasuk jenis kanker ova­ri­um, tingkat kepara­han, sama pentingnya dengan kondi­si kesehatan pasien.

()

Baca Juga

Rekomendasi