Meretas Historiografi Tionghoa Veteran di Sumut

Oleh: J Anto

PERJUANGAN mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melibatkan seluruh komponen masyarakat, tak terkecuali warga Tionghoa. Masalahnya, keterlibatan warga Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan sekian lama seolah absen dalam narasi sejarah kita. Perlu usaha serius untuk menggali dan menuliskan narasi sejarah mereka.

Tidak lama setelah agresi militer Belanda kedua usai, Belanda takluk serta mengakui kedaulatan RI pada 1949, Kolonel Bejo Ko­mandan Laskar Napindo pada pertem­puran Medan Area 1942, Komandan Bata­lyon III Andalas Utara, dan Brigade B Ko­mandemen Sumatera meng­hadap Bung Karno di Istana Negara, Jakarta. Kolonel Bejo tak sendirian, ia bersama Tani, rekan seperjuangan dan orang kepercayaannya.

Di tengah obrolan, kepada Tani, waktu itu Bung Karno bertanya, "Saudara Tani, pangkat kamu mau dinaikkan apa?”

“Saya tak mau pangkat Jang Mulia Presiden, cukup sersan saja seperti yang ada. Selesai agresi, saya tidak akan berkarir di militer, saya mau meneruskan usaha dagang saya .…”

Begitulah kurang lebih penggalan dialog yang terjadi saat Kolonel Bejo dan Tani berjumpa dengan Presiden Soekarno. Kisah itu dituturkan Supandi Tjuanta (61), salah seorang keponakan Tani.

Lain waktu, saat kesehatan Tani mulai memburuk dan penglihatan matanya sudah kabur total, datang menjenguk Mayjen Tri Tamtomo, Pangdam I/BB 2004 - 2008. Kepada Tani, Tri Tamtomo menyarankan jika kelak Tani meninggal lebih dulu, beliau harus mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Medan sesuai jasa yang diberikan kepada negara.

Namun Tani menolak usulan tersebut. Kehormatan seperti itu katanya tak perlu dilakukan untuknya. Ia justru merasa prihatin karena banyak pejuang lain yang mati tanpa kubur yang jelas. Tani mengaku bersyukur bisa selamat dari revolusi.

"Memang itu tak perlu bagi Pak Tani, tapi bagi anak-cucu Bapak perlu, juga agar masyarakat tahu bahwa ada juga orang Tionghoa yang berjuang untuk kemerdekaan RI," ujar Tri Tamtomo, teman satu SMA Supandi Tjuanta.

"Untuk anak-cucu saya juga tak perlu. Mereka harus mengandalkan perbuatan baik mereka sendiri, tidak boleh andalkan nama besar orangtua. Kalau saat hidup mereka nggak sanggup berbuat baik, ya tanggung sendiri."

Supandi Tjuanta yang mendengar jawab­an pamannya, mengaku sempat merinding saat itu. Siapa sebenarnya Tani alias Tan Tiong Siok ini?

Bintang Gerilya Pejuang

Tiga piagam penghargaan yang diberikan negara bisa menjelaskan kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan RI. Pertama adalah piagam tertanggal 3 Oktober 1958 yang ditan­datangani Presiden Soekarno selaku Panglima Ter­tinggi Angkatan Perang RI. Di situ, Tan Tiong Siok yang berpangkat Sersan Veteran NPV 25602/G pada Ke­sa­tuan Legiun Veteran Indonesia diberi penghargaan Bintang Gerilya.

Kedua, Penghargaan Satyalencana Aksi Militer Kedua yang ditandatangani Menteri Pertahanan RI Djuanda tertanggal 5 Oktober 1958 dan ketiga, Surat Keputusan Menteri Pertahanan Kemanan/Panglima ABRI Jende­ral Poniman No. Skep/573/M/X/1983 tertang­gal 25 Oktober 1983, tentang Pengakuan, Pengsesahan dan Penganu­gerahan Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerde­kaan RI. Dari tiga piagam itu, tak salah lagi bahwa Tan Tiong Siok memang seorang veteran pejuang kemer­dekaan.

Pada 14 September lalu, dalam usia ke-96 (ia lahir 14 Januari 1921), veteran pe­juang yang dikenal sebagai figur yang ramah, bersih, lembut dalam bertutur sapa, dan ke­rap berperan membantu menyelesaikan kon­flik di antara warga Tionghoa, menghem­bus­kan nafas terakhirnya di RS Herna Medan. Pria asal Hokkien ini meninggalkan empat orang anak dan tujuh orang cucu.

Upacara militer yang dipimpin Inspektur Upacara Danramil 05 Medan Baru, Kapten Inf Mustaqim menjadi bentuk penghormatan terakhir terhadapnya. Ratusan warga dari kalangan militer, sipil, veteran, dan berbagai organisasi soial hadir dan memberikan penghormatan.

Kepercayaan Kolonel Bejo

Keterlibatan Tani dalam revolusi fisik, menurut Johan­nes Yamin (61), menantunya, bermula saat Kolonel Bejo mengajak Tani untuk membantu Laskar Napindo yang dipim­pin Bejo. Saat itu Laskar Napindo, juga laskar-laskar lain, terlibat perang dengan pasukan Belanda yang membonceng pasukan sekutu, setelah Jepang takluk dari sekutu.

"Pak Tani banyak memberikan bantuan logistik seperti senjata, makanan, dan pakaian yang dibeli dari Singapura dan Pinang. Diselundupkan lewat Selat Malaka melalui jalur sungai di Aceh Tamiang," ujar Johannes.

Para laskar yang luka-luka juga dibawa dengan kapal kecil ke Pinang untuk men­dapat pengobatan. Maklum, rumah sakit di Medan saat itu dikuasai Belanda. Keter­libatan Tani dalam membantu logistik berlanjut saat Kolonel Bejo diangkat menjadi Komandan Batalyon III Andalas Utara dan Brigade B Komandemen Sumatera.

Namun menurut Supandi Tjuanta, jasa Tan Tiong Siok tak terbatas sebaga pemasok logistik perang atau kebutuhan lain pejuang. Tan Tiong Siok juga sering ber­peran sebagai juru damai saat muncul perselisihan di antara para pejuang.

Saat terjadi pemberontakkan Kolonel M Simbolon (1957), pamannya, menurut Supandi Tjuanta, adalah salah seorang yang pernah bertemu Kolonel Simbolon dan memberi saran agar Simbolon berdamai dengan menghadap ke Presiden Soe­kar­no. Perlawanan secara militer hanya akan membuat susah rakyat.

Saat Belanda mengaku kedaulatan RI, Tan Tiong Siok juga berupaya mengkonsolodir eks pejuang dari berbagai aliran. Usahanya merangkul semua pihak, yakni eks anggota KNIL, maupun eks antek- antek pasukan Jepang, semata agar terhindar pertumpahan darah antarsesama anak bangsa.

Tan Tiong Siok juga kembali aktif ber­bisnis di bidang pangan dan transportasi laut. Ketokohannya di tengah warga Tiong­hoa Medan diakui banyak pihak. Ia menjalankan peran bak seorang "kapiten": mendamaikan berbagai konflik dari orang yang disebut-sebut “hitam” atau “putih.” Konflik yang diselesaikan beragam, mulai dari perceraian sampai konflik bisnis.

Tan Tiong Siok juga sosok dermawan. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu pembangunan Rumah Sakit Korps Brigade Mobil Resimen V Sumatera/Aceh yang ter­letak di Jalan KH Wahid Hasyim Medan (ki­ni RS Bhayangkara). Ia juga membangun wisma jompo di Belawan dan ikut mengini­siasi pendirian Rumah Sosial Persemayaman Angsapura.

Sekalipun menyandang bintang gerilya, diakui ketokohannya oleh warga Tionghoa dan aktif dalam kegiatan sosial, namun Tan Tiong Siok memilih sunyi dari publikasi. Ia figur yang tak mau menonjolkan diri.

Meski begitu, Bung Tani, begitu ia akrab di­sapa para veteran, namanya terdengar sampai ke Sumatera Selatan. Saat upacara pema­ka­man­nya, wakil dari Legiun Veteran Sumut, me­­nyebut nama Bung Tani pernah disebut-se­but oleh para veteran Sub Koman­do Su­matera Bagian Selatan (SUBKOSS) yang men­cakup wilayah Lampung, Beng­kulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.

Almarhum Prof Dr Amran Halim, ahli bahasa yang pernah jadi Rektor Universitas Sriwijaya Palembang, saat masih jadi tentara pelajar, mengaku pernah mendengar nama Bung Tani, disebut-sebut pejuang seperti Mayor RM Ryacudu sebagai Pimpinan BP­KR Sum­bagsel Kotabumi (Lam­pung), Mayor Dani Effendi (Perlengkapan/Persen­ja­taan Badan Penjaga Kea­manan Rakyat), maupun Kapten Noerdin Panji.

Mata-mata Napindo

Selain Tan Tiong Siok, veteran Tio­ng­hoa lain yang pemakamannya dila­kukan lewat upacara militer dan dimakamkan di TMP Medan adalah Lie Yak Heng atau Henry Wijaya. A Heng, begitu ia dipanggil, juga penerima bintang gerilya dari Presi­den Soekarno. A Heng juga Veteran Pejuang Kemer­dekaan RI. Ia me­ning­gal pada 2007.

Bapak sembilan anak ini lahir di Kisaran 20 Oktober 1930. Ia anak ke­tiga dari empat bersaudara. Dua kakaknya, Lie Sae Ceng dan Lie Yen Ge, serta adiknya, Lie Yak Seng. Saat berusia 11 tahun, ayahnya yang bekerja sebagai asisten kandil atau mandor kebun, meninggal. Sejak itu, ekonomi keluarga pun goncang. Untuk mem­bantu hidup keluarga, A Heng yang oleh ibunya disebut anak “bandel”, berjua­lan tebu, jagung, dan ubi rebus di Stasiun Ke­reta Api Kisaran.

"Karena ayah sejak kecil sering berjualan di stasiun kereta api, ia jadi figur yang pluralis," ujar Julijamnasi, salah satu putra A Heng. Hidup di masa kolonialisme dan peperangan hanya memberi kesempatan kebanyakan rakyat untuk bertahan hidup. A Heng, juga kebanyakan anak seusianya, tak kenal bangku sekolah. Ia belajar menulis dan membaca dari anak pe­milik pabrik gilingan. Sambil belajar, ia ikut bantu angkat-angkat beras.

Berbekal kemampuan baca tulis seadanya, A Heng memberanikan diri bekerja di Rumah Sakit Catharina (sekarang RS Kartini). Rumah sakit milik perusahaan perkebunan Belan­da-Amerika. Pengelolanya seorang dokter Belanda yang sering mengo­bati warga miskin secara gratis. Dari dokter Belanda itu, A Heng banyak mendapatkan pengetahuan pengobatan.

Namun beban hidup makin berat saat Belanda kalah perang dari Jepang. Sikap rezim fazis Jepang ter­kenal kejam. Jepang juga memba­tasi pemilkan beras. Bagi rakyat biasa seperti keluarganya, makan nasi jadi sebuah kemewahan saat itu.

Sikap tentara Jepang yang kejam juga kerap menyulut pertempuran da­ri para laskar rakyat. Banyak tentara Jepang terluka, sementara tenaga medis tidak banyak. A Heng yang punya pengetahuan pengobatan, lalu dipaksa menjadi tenaga medis mem­bantu tentara Jepang. Jika menolak, ibunya diancam akan dibunuh. Ia juga diberi tugas tambahan, mengurus kebutuhan dapur tentara Jepang.

Dalam situasi penuh ketidak­pastian, pada 1944, ibu, kakak, dan adiknya pindah ke Tebingtinggi. Namun A Heng tetap tinggal di Kisaran. Tak lama setelah Jepang kalah perang dari Sekutu dan kemerdekaan RI diprokla­mirkan, lahir laskar-laskar rakyat maupun kelompok-kelompok pemuda yang diorganisir partai politik, di antara ada Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pesindo, Laskar Hizbul­lah, Barisan Harimau Liar, dan laskar rakyat lainnya. Mereka mempersiapkan diri melawan tentara Belanda, NICA, yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Suatu hari, saat berada di Stasiun KA Kisaran, A Heng ditawari untuk jadi anggota Laskar Napindo. A Heng tak bertepuk sebelah tangan. Saat itu ia berumur 15 tahun. Di Laskar Napindo ia ditugaskan di bagian kesehatan. Itu memang keahliannya, namun ia juga ditugasi sebagai telik sandi atau mata-mata.

"Mungkin karena ayahnya Tiong­hoa, Belanda waktu itu berang­gapan orang Tiong­hoa tak mungkin memihak RI," ujar Julijam­nasi, spesialis radiation oncologist yang berpraktik di RS Murni Teguh, Medan.

Pada 19 Desember 1948, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II, A Heng terlibat dalam pengeboman jembatan Sungai Ular. Pemboman dilakukan untuk memutus akses pasu­kan Belanda masuk ke Tebing­tinggi. Selama periode 1946-1948, A Heng juga bertugas sebagai penghubung antara pasukan TKR-TRI dan TNI Batalyon III Brigade XII di Pulau Raja. Ia juga ditugaskan sebagai anggota penghubung TNI Batalyon II Sektor I Sub-Teritorial VII di Labuhanbatu pada 1948-1949.

Dituduh Anggota Baperki

Tak lama setelah Belanda menga­kui kedau­latan RI pada Desember 1949, A Heng dan keluarganya ke Tebingtinggi. Perang telah usai. Saatnya menata kembali kehidu­panya yang berantakkan akibat pepe­rangan. Ia lalu belajar di sekolah perawat di RS Rambutan, sekarang disebut RS Sri Pamela. Pada 1957, setelah lulus ia lalu membuka klinik pengobatan di Beda­gai. Namun ia tetap tinggal di Tebing­tinggi. Sejak itu kehidupan ekonomi mulai membaik.

Namun pada 1968 sebuah cobaan datang. Sebagai dampak dari peris­tiwa G 30 S/1965, suatu hari A Heng ditahan tentara. Ia dituduh sebagai anggota Baperki, underbouw PKI.

"Tentu saja ayah kecewa dengan tuduhan itu, ia ‘kan seorang pejuang kemerdekaan," tu­tur Julijamnasi yang selama wawancara didampingi adik­nya, Edy Saputra. Tak terima tu­du­han tersebut, keluarganya lalu meng­hubungi teman-teman seper­juangan di Kisaran. Bersama tentara yang menahannya mereka lalu pergi ke Kisaran. Di sana ia bertemu bekas laskar Napindo yang bisa memberi kesaksian bagi A Heng. Persoalan pun selesai. Bahkan tentara yang menahan lalu minta maaf.

Peristiwa itu ibarat blessing in disguise. A Heng terdorong untuk mengu­rus statusnya sebagai veteran pejuang. Pada 1968, ia dan keluar­ganya lalu pindah ke Medan. Selain untuk mem­permudah pengurusan berkas-ber­kasnya sebagai anggota veteran, sekaligus untuk mening­katkan eko­nomi keluarga.

Saat mengurus berkas administrasi itulah, hati A Heng trenyuh melihat nasib para veteran. Kesejahteraan mereka terkesan kurang diperha­tikan negara. Tergerak melihat keadaan itu, A Heng lalu berinisiatif membuka kli­nik pengobatan gratis bagi para veteran.

Poliklinik Kebaktian Veteran

Idenya disambut baik oleh Pim­pinan Legiun Veteran Sumatera Utara. Lalu pada 1970, berdirilah Poli­klinik Kebak­tian Veteran RI pertama di Belawan. Poliklinik itu bernaung di bawah Yayasan Polik­linik Legiun Veteran RI Sumut dan hanya ada di Provinsi Sumatera Utara, jumlahnya sudah empat unit. A Heng menjadi ketua Yayasan Poliklinik sejak 1977 sampai hayat menjemputnya. Inilah hasil perjuangan lain dari A Heng untuk sesama veteran.

Di mata Julijamnasi dan Edy Sa­putra, ayah mereka adalah tipe seorang pekerja keras, disiplin, dan mandiri, selain seorang pluralis sejati. Mereka semisal sengaja diseko­lahkan di sekolah yang mayo­ritas siswanya merupakan pelajar dari etnis Batak.

"Ayah tak ingin anaknya hanya bergaul dengan sesama sukunya saja, tapi juga berbaur dengan suku lain," tambah Julijamnasi. Tak heran saat upacara pemakaman, pelayat berda­ta­ngan dari ragam latar belakang profesi dan agama. Mereka juga ikut mendoa­kan A Heng sesuai agama yang dianut.

Tentu saja veteran perang Tionghoa di Sumut tak hanya Tan Siong Siok dan Lie Yak Heng saja. Dalam catatan Kabag Veteran Kese­jahte­raan Anggota Legiun Veteran RI (LVRI) Kota Medan, Sauridas (75), tercatat ada puluhan veteran Tionghoa lain. Sayang data yang dimiliki Sauridas, kurang diperbarui. Banyak alamat yang tak lagi akurat saat diteliti.

Sementara dalam catatan warta­wan senior Medan, Muham­mad TWH, yang juga veteran pejuang, terungkap veteran Tionghoa lengkap dengan nomor kartu veterannya. Mereka yakni, Tjio Ki alias Wen Hong, Lie Pek Liong, Oei Ho Soei, Wong Kim Seng alias Umar, Lie Pek Liong alias Jiman, Liem Sui Kang, Kim Sui alias Kamsial, A Heng alias Henry Wijaya, Tan A Tjay alias Tjakrakusuma, Tjong Po Loek, S Wijaya, Tok Akim alias Abdul Hakim, Gonyo Peng alias Samin, Anik Uni Amoy (perempuan Kowaveri), G Tjun alias Hasan Guna, Kho Ceng San alias Ismail, Go Tjong Tjin, Go Gweek Tjun alias Gono, Tjoa O Tjong alias Bahrum , Chai Choa Hun, dan Muhamad Nurdin Acai.

Keberadaan para veteran Tionghoa ini belum banyak diketahui. Anggota DPRD Sumut Brilian Moktar, setuju jika perjuangan mereka ditulis agar narasi sejarah perjuangan kemer­dekaan RI makin diperkaya dengan kisah-kisah pelaku perjuangan yang multietnis itu.

Tapi di sisi lain, ia juga mengaku prihatin dengan nasib veteran. Saat menghadiri acara pemakaman Tan Siong Siok di Balai sosial Angsapura (18/9), Brilian tak biasa menyem­bunyikan kegalauan hatinya. “Baju vete­ran dan perlengkapan yang mereka kenakan sudah lusuh dan kusam,” ujarnya prihatin. Ia percaya, kondisi itu juga mewakili kehidupan mereka yang juga “kusam”.

“Sangat berdosa kita yang telah merdeka 72 tahun, jika membiarkan nasib bekas pejuang merana seperti itu,” tambahnya.

Lie Yak Heng bersama anggota Legiun Veteran Sumut dalam sebuah acara LVRI.

Kolonel Bejo (tengah) bersama Tan Tiong Siok (kanan).

Dari kiri Johannes Yamin, Supandi Tjuanta, Edy Saputra, dan Julijamnasi.

Prosesi pemakaman Tan Tiong Siok alias Tani, Veteran Pejuang Kemerdekaan RI di Balai Sosial Angsapura Medan.

Tan Tiong Siok dijenguk Anggota DPRD Sumut saat masih terbaring di sebuah rumah sakit.

()

Baca Juga

Rekomendasi