Oleh: Udji Kayang Aditya Supriyanto
SEMAKIN hari, sampul buku sastra semakin penuh. Sampul buku sastra seakan tak bisa lagi sekadar menampilkan judul buku, nama pengarang, ilustrasi, dan logo penerbit.
Tahun 2014, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan beberapa buku sastra bercap merah bermotif bunga. Cap menandai buku sebagai karya sastra klasik dan legendaris. Semisal: Siddharta karya Hermann Hesse; The Adventures of Pinocchio karya Carlo Collodi; dan Peter Pan karya J.M. Barrie.
Legitimasi “karya sastra klasik” dibangun oleh pembacaan selama berzaman-zaman. Sekali cap itu tercetak, masa berlakunya sampai akhir zaman. Buku-buku bercap jadi bacaan wajib sebelum kita mati.
Gerak zaman semakin kencang. Kita sulit bergantung pada pembacaan berzaman-zaman untuk menentukan buku sastra yang bermutu dan layak dibaca. Legitimasi lantas ditentukan dari penghargaan dan instansi. Penghargaan tertinggi tentu saja Nobel Sastra.
Pengarang yang dianugerahi penghargaan tersebut, setiap kali bukunya terbit (termasuk diterbitkan ulang) selalu disertai cap “Novel Pemenang Nobel Sastra”. Cap itu bukan cuma berlaku untuk buku terbaik mereka.
Buku agak mengecewakan juga boleh dipasangi cap, semisal buku Mario Vargas Llosa, Siapa Pembunuh Palomino Molero? (2012). Nobel Sastra bukan sekadar penghargaan yang diburu para pengarang, namun juga sebagai penjamin mutu bagi khalayak pembaca.
Selain cap Nobel Sastra, penerbit lazim memajang cap-cap penghargaan lainnya. Gurun Cinta (2010) karya Francois Mauriac, (penerbit Serambi) dipasangi cap “Pemenang Grand Prix du Roman de l’Academie Francaise”, beserta “Pemenang Nobel Sastra” tentunya.
Penghargaan lain juga menghiasi sampul buku di antaranya: The National Book Foundation’s Medal for Distinguished Contribution to American Letters untuk Farenheit 451 (2013). Karya Ray Bradbury; The Man Booker Prize untuk Life of Pi (2012) karya Yann Martel. Atau penghargaan berbasis penjualan seperti New York Times Bestsellers untuk The Professor and The Madman (2007) karya pengarang buku laris Krakatau, Simon Winchester.
Selain bercap pemenang penghargaan, Life of Pi juga dipasangi cap “now a major 3D motion picture from Academy Award winning director Ang Lee”. Buku sastra telah bertaut erat dengan film, cap-cap seperti “telah difilmkan” atau “segera difilmkan” pun menjadi penting.
Keanehan terjadi pada Last Tango in Paris (2011) karya Robert Alley yang diterbitkan Serambi. Sampul buku tersebut menyertakan cap “100 film terpopuler sepanjang sejarah”. Kita mafhum, film Last Tango in Paris (1972) dibintangi Marlon Brando memang populer dan fenomenal. Menakar buku sastra berdasar film adaptasinya tentu kurang tepat.
Sastra Indonesia
Pemasangan cap dalam sejarah peredaran buku sastra Indonesia barangkali mulai digiatkan sejak orde baru. Kita bisa mengingat buku-buku lawas dengan cap Instruksi Presiden (Inpres). Misal, di sampul buku Rumahku adalah Istanaku (1985) karya Marga T. Tertera cap “milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak diperdagangkan, Inpres No. 6 Th. 1984 (1984/1985).
Padahal, buku tersebut memenangi hadiah hiburan bacaan anak-anak Sayembara Besar Mengarang PN Balai Pustaka Tahun 1966. Balai Pustaka menganggap cap penghargaan tidak perlu disertakan di sampul.
Demikian pula dengan Ziarah (1969) karya Iwan Simatupang. Banyak diulas dan dinilai salah satu karya terpenting dalam sastra Indonesia. Ziarah hanya bercap “milik negara, tidak diperdagangkan”.
Djambatan, yang menerbitkan Ziarah, baru menyertakan cap penghargaan tahun 1983. Cetakan ketiga Burung-Burung Manyar (1983) karya Y.B. Mangunwijaya. Bercap “mendapat Penghargaan Tulis Asia Tenggara 1983 oleh Ratu Sirikit dari Thailand dan Putri Sirindhorn”.
Cap berupa stiker segitiga berwarna merah tertempel pada sudut kiri atas buku. Dengan kata lain, cap penghargaan disusulkan, alih-alih ikut tercetak dalam sampul. Langkah serius menyertakan cap semakin kentara sejak tahun ’90-an.
Kita bisa menengok sampul Saman (1998) karya Ayu Utami yang bercap “pemenang Sayembara Roman 1998”. Penghargaan bagi novel Ayu Utami diberikan Dewan Kesenian Jakarta. Instansi penting dalam sastra Indonesia dan pendakwah utama buku-buku sastra bercap.
Cap “Pemenang Dewan Kesenian Jakarta” menentukan kiprah pengarang. Mahfud Ikhwan mengarang novel berjudul Kambing dan Hujan (2015), yang diganjar pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Cap itu pun disertakan pada sampul buku berikutnya, kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing (2016).
Kendati mutunya kalah telak dari Kambing dan Hujan, pembaca merasa yakin buku kumpulan cerpen Mahfud Ikhwan bagus, lantaran bercap Dewan Kesenian Jakarta. Pewarisan juga terjadi pada para pemenang Khatulistiwa Literary Award. Okky Madasari memenangi penghargaan itu di tahun 2012 untuk novelnya, Maryam (2012). Novel-novelnya kemudian, semisal Pasung Jiwa (2013), turut menyertakan cap “pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012”.
Penghargaan dari instansi ternama melegitimasi kualitas suatu karya sastra. Kita merasa lebih yakin membawa buku-buku bercap Dewan Kesenian Jakarta ke kasir toko buku, ketimbang membawa yang tanpa. Kita bakal tambah percaya diri untuk membeli buku F. Aziz Manna, Playon (2016), misalnya, ketimbang buku kumpulan puisi lain.
Playon tidak tanggung-tanggung, di sampulnya terpasang dua cap mentereng sekaligus. Pemenang kategori puisi The 16th Kusala Sastra Khatulistiwa 2015-2016 dan pemenang sayembara sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2015. Kita lalu bertanya-tanya, apakah penyertaan cap penghargaan semata ditujukan untuk mendongkrak penjualan buku-buku sastra?
Mempertanyakan cap sebagai strategi mendongkrak penjualan berpotensi menjadi tuduhan serius. Dalam perspektif lain, kehadiran cap juga penting dalam rangka memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Para pengajar sastra beberapa universitas di Indonesia, masih ada yang melulu menjelaskan sastra dengan nama-nama lawas: Chairil Anwar, W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Armijn Pane, Iwan Simatupang, Marah Rusli, dan lain-lain. Setidaknya sampul-sampul bercap menyibak nama sastrawan baru yang layak kita baca. Kita justru perlu mempertanyakan kecenderungan mencetak novel yang konon telah dibaca dalam hitungan lebih dari sejuta kali di Wattpad. Demi apa?
Penulis; Pembaca sastra dan peminat kajian budaya populer Pengelola Bukulah!