Penanganan “Tiga O” pada Skoliosis

Oleh: Yulia Ng.

KEJADIAN skoliosis di seluruh du­nia mencapai 1% dari populasi. Se­bagian besar skoliosis terdiagnosis pada anak dengan rentang usia 10-15 tahun. Berdasarkan data The American Academy of Orthopaedic Surgeons pada tahun 2004, sekitar 1,26 juta pasien dengan masalah gangguan tu­lang belakang di layanan kesehatan, 93% di antaranya didiagnosis sko­lio­sis. 85% pasien skoliosis merupakan sko­liosis idiopatik/tidak diketahui pe­nyebabnya. 60 - 80% kasus skoliosis idiopatik terjadi pada perempuan.

Skoliosis yang tidak ditangani dapat menjadi lebih buruk dan dapat menyebabkan nyeri punggung kronik, serta berpengaruh pada fungsi kar­diopulmonal (jantung dan paru). Se­lain itu juga dapat menyebabkan ke­ter­batasan mobilitas bagi penderita dan berdampak buruk pada postur tubuh. Setiap tahun ada sekitar 30.000 anak dipasang brace/penyangga tubuh dan lebih dari 100.000 anak dan orang dewasa yang telah didiagnosis sko­liosis menjalani operasi.

Skoliosis berasal dari kata Yunani yang berarti bengkok atau meleng­kung. Skoliosis adalah kelainan bentuk tu­lang belakang berupa lengkungan ke­arah samping atau lateral yang me­nyerupai huruf “S” atau huruf “C” dengan kelengkungan > 100.

Penyebab skoliosis dibagi menjadi dua yaitu:

1. Skoliosis struktural

Skoliosis yang tidak dapat diko­rek­si dengan posisi atau usaha penderita sen­diri oleh karena rotasi tulang bela­kang yang menetap. Penyebabnya yaitu:

a. Idiopatik (tidak diketahui penye­babnya). Dibedakan menurut usia yaitu, infantil (< 3 tahun), juvenile (4 – 9 tahun), adolescent(10-17 tahun), dan adult (> 18 tahun). Onset paling se­ring terjadi pada adolescent.

b. Kelainan kongenital (bawaan) yang umumnya berhubungan dengan kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang me­nya­tu seperti penyakit Marfan, he­mi­vertebra, neurofibromatosis tipe 1, akondroplasia.

c. Penyakit pada neuromuscular (otot dan saraf) di mana terjadi pe­ngen­dalian otot yang buruk, kele­ma­han otot atau kelumpuhan akibat pe­nya­kit seperti cerebral palsy, polio, os­teo­prorosis juvenile, dunchen muscular dystrophy.

d. Tumor pada tulang belakang dan jaringan lunak seperti osteoid osteoma, osteoblastoma, meningioma, neurofibroma.

2. Skoliosis non-struktural/sko­liosis fungsional

Skoliosis yang dapat dikoreksi de­ngan posisi atau usaha penderita sen­diri di mana terjadi karena kebia­saan/pos­tur yang tidak benar, ketidak­se­suaian panjang kaki tanpa adanya ke­rusakan struktural tulang belakang.

Tanda dan gejala skoliosis. Pada mu­­lanya penderita tidak merasakan ada­­nya gangguan, kemudian pada kon­disi yang lebih parah baru dirasakan:

1. Tulang belakang melengkung se­cara abnormal ke arah samping

2. Tulang rusuk atau tulang belikat yang menonjol pada satu sisi

3. Posisi bahu yang tidak sama tinggi

4. Pinggul kiri dan kanan yang tidak simetris

5. Jarak antara tubuh-lengan (body arm distance) kanan dan kiri tidak sama

6. Nyeri punggung, nyeri pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama

7. Pada skoliosis yang berat (kelengkungan >60º) dapat menyebabkan gangguan pernafasan

Pemeriksaan fisik yang dapat dila­kukan untuk melihat adanya skoliosis yaitu:

1. Forward bending test (Adam’s test): penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan sehingga pemeriksa dapat melihat adanya defor­mitas yang terjadi.

2. Skoliometer: alat untuk meng­ukur sudut kurvaturasi/kelengkungan.

3. Pemeriksaan neurologis dilaku­kan untuk menilai kekuatan, sensasi, dan refleks.

Derajat skoliosis tergantung pada besar sudutnya dan besar rotasinya. Makin berat derajat skoliosis makin besar dampaknya pada sistem kardio­pulmonal (jantung dan paru).

1. Skoliosis ringan: kelengkungan < 20º.

2. Skoliosis sedang: kelengkungan 20º-40º, mulai terjadi perubahan struk­tural tulang belakang dan tulang rusuk.

3. Skoliosis berat: kelengkungan > 40º, berkaitan dengan rotasi vertebra yang lebih besar, sering disertai nyeri, penyakit sendi degeneratif, dan pada su­dut lebih dari 60º-70º terjadi gang­guan fungsi jantung dan paru.

Pemeriksaan penunjang utama yaitu rontgen tulang belakang untuk menentukan besarnya derajat, lokasi dan bentuk skoliosis, dan krista iliaka/tulang pinggul untuk menilai tingkat maturitas tulang. Pemeriksaan MRI dilakukan jika ditemukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen.

Tujuan dilakukannya

tatalaksana pada skoliosis meliputi 4 hal, yaitu:

1. Mencegah progesivitas dan mem­­pertahankan keseimbangan

2. Mempertahankan fungsi resp­irasi/pernafasan

3. Mengurangi nyeri dan mem­perbaiki status neurologis

4. Kosmetik

Adapun penatalaksanaan yang dila­kukan, dikenal sebagai “The three O’s” atau “Tiga O”:

1. Observasi

Observasi dilakukan jika derajat sko­liosis tidak begitu berat, yaitu <25o pada tulang yang masih tumbuh atau < 50o pada tulang yang sudah berhenti pertumbuhannya.

Pada observasi ini, dilakukan kon­trol rontgen pada vertebra. Kontrol per­tama dilakukan 3 bulan setelah kunju­ngan pertama ke dokter, bila kurva <200 tiap 6-9 bulan, bila kurva 20-250 tiap 4-6 bulan.

2. Orthosis

Orthosis dalam hal ini adalah pe­makaian alat penyangga/brace. Terda­pat beberapa jenis orthosis, yaitu:

a. Milwaukee dan Boston

Milwauke brace mulai dari leher hingga pinggul sudah jarang diguna­kan. Kedua brace ini efektif dalam me­ngen­dalikan progresivitas skoliosis, te­tapi harus dipasang selama 23 jam/hari sampai masa pertumbuhan anak ber­henti.

b. Charleston bending brace

Alat ini dapat memberikan hasil yang cukup signifikan jika digunakan secara teratur dan hanya digunakan pada malam hari.

Indikasi pemakaian orthosis/brace adalah: pasien masih mengalami per­tum­buhan dan derajat keleng­ku­ngan berkisar 25-400 atau <250 tetapi terus mengalami progesivitas sebesar 50-100 dalam 6 bulan (progresivitas >10 /bulan).

3. Operasi

Tidak semua skoliosis perlu dila­ku­kan operasi. Indikasi dilakukan operasi adalah:

a. Terdapat kelengkungan > 500 pada orang dewasa

b. Terdapat progesivitas dengan ke­lengkungan > 400 pada anak yang se­dang mengalami pertumbuhan

c. Terdapat kegagalan setelah dila­kukan pemakaian orthosis/brace.

Belum ada cara yang pasti dalam men­cegah skoliosis. Penelitian terak­hir menunjukkan bahwa pemakaian alat penyangga (orthosis/brace) me­miliki tingkat keberhasilan 74% dalam mem­perlambat progesivitas keleng­ku­ngan tulang belakang. Latihan fisik dan olahraga berperan penting dalam pe­nurunan risiko skoliosis.

(Penulis adalah dokter muda FK UNPRI)

()

Baca Juga

Rekomendasi