“ADA apa ini, kok macet?” tanya seseorang ketika jalan yang ia lewati hari ini tidak seperti biasa. Kendaraan yang biasanya lalu lalang dengan ‘aman’ kali ini, berjalan merayap.
Tidak ada jawaban, karena masing-masing pengendara tidak terlalu merespons pertanyaan ini. Apalagi mereka juga tidak tahu, kenapa terjadi kemacetan yang biasanya tidak.
Rupa-rupanya kemacetan tersebut karena sebagian jalan ditutupi dengan tenda untuk pesta perkawinan, akibatnya jalan harus dilakukan buka-tutup.
Penutupan jalan seperti ini, tidak hanya pada acara pesta tetapi juga terkadang pada saat terjadi kemalangan. Akibatnya lalulintas yang padat semakin tidak menentu. Para pengendara, pasti akan mengupat di dalam hatinya,” Bagaimana mau didoakan yang bagus-bagus, mau resepsi saja sudah mengganggu jalan orang lain.” Atau pada saat jalan ditutup karena ada kemalangan maka di antara para pengendara ada yang berkata, “Sudah meninggal saja buat orang susah?”
Tentu saja, penutupan jalan umum untuk kepentingan pesta pernikahan dan hajatan lain sepertinya sudah menjadi sesuatu yang dianggap hal yang biasa saja di negeri ini. Padahal mereka tahu jalan yang mereka tutup tersebut merupakan jalan umum yang seharusnya tidak boleh ditutup. Penutupan jalan untuk kepentingan pribadi sesungguhnya telah merampas hak-hak pengguna jalan dengan semena-mena.
Menutup jalan karena pesta, kematian atau hal-hal lainnya secara etika tidaklah benar, apalagi tanpa pemberitahuan dan permohonan maaf atas penutupan jalan. Anehnya, penutupan jalan sekalipun banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2009 Pasal 128 selalu dibiarkan padahal boleh jadi penutupan jalan tersebut belum diizinkan oleh pihak Kepolisian setempat.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2009 Pasal 128 dalam tata cara penutupan jalan disebutkan bahwa Penggunaan jalan diluar peruntukannya dapat diizinkan jika ada jalan alternatif. Penutupan jalan nasional dan jalan provinsi dapat diizinkan hanya untuk kepentingan umum yang bersifat nasional. Penutupan jalan kota/kabupaten dan jalan desa dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi. Pelaksanaan pengalihan lalu lintas akibat penutupan jalan tersebut harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara. Pemberian izin sepenuhnya berada di tangan pihak Kepolisian setempat. Bila sudah diberikan izin penutupan jalan, maka pihak Kepolisian harus menempatkan personilnya di jalan yang dialihkan sementara.
Ini artinya, penutupan jalan yang semena-mena tidak dibolehkan, karena menyangkut hak orang lain yaitu para pengguna jalan tersebut. Walaupun kita punya peraturan, tetapi nampaknya peraturan tinggal peraturan. Karena kerap dilanggar oleh yang punya hajatan, terutama mereka yang punya kuasa, uang dan pengaruh.
Pada dasarnya resepsi pernikahan adalah ajang meminta doa restu dari para tamu dan khalayak ramai agar pernikahannya tersebut diberkahi Allah SWT, sehingga sang pengantin bisa mewujudkan keluarga sakinah mawadah wa rohmah. Tetapi bila acara resepsi tersebut membuat pengguna jalan jengkel, kesal, marah dan mengumpat yang punya hajatan karena akses jalannya diblokir habis. Bila ini yang terjadi, pesta pernikahan yang awalnya diharapkan bertabur doa justru bertabur sumpah serapah.
Tidak ada larangan menggelar hajatan. Namun harus digarisbawahi kalau hajatan tersebut sudah mengganggu kepentingan umum, jelas sangat bertentangan dengan tujuan pernikahan itu sendiri. Apalagi bila jalan umum yang ditutup itu jalan penting dan utama. Hukumnya bisa menjadi “haram”. Jangankan menghalangi orang yang lewat, kalau saja ada aral melintang atau ada onak duri di jalan menjadi kewajiban kita untuk menyingkirkannya. Konon lagi menutup jalan secara sengaja untuk kepentingan pribadi. Artinya, menghalangi perjalanan orang lain merupakan sebuah perbuatan yang salah besar dan tidak terpuji menurut kacamata agama.
Dalam banyak literatur fikih disebutkan bahwa jalan umum tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau apapun yang bisa menganggu ketenangan orang lain. Namun dalam beberapa kasus, menggunakan jalan umum diperbolehkan dengan beberapa syarat. Persayaran ini dijelaskan oleh Sulaiman bin Umar bin Mansur al-‘Ujaili al-Azhari, yang populer dengan nama Jamal, dalam kitabnya Hasyiyah Jamal ‘Ala Syarhi Minhaj menjelaskan: “Namun, dimaafkan beberapa kemudharatan yang dianggap lumrah oleh masyarakat, seperti penggalian tanah yang berdekatan dengan jalan umum atau meletakkan batu pembangunan, selama masih menyisakan sebagian jalan untuk dilalui orang lain. Begitu juga dengan memarkir kendaraan di pinggir jalan untuk sekedar menaikkan dan menurunkan penumpang.”
Selain itu menggunakan fasilitas umum, seperti jalan umum, untuk kegiatan dan aktifitas tertentu diperbolehkan selama disisakan sebagian jalan yang bisa dilewati orang lain atau bisa juga dengan memberikan jalur alternatif kepada orang yang akan melewati jalan tersebut.
Namun jika sisa jalannya hanya untuk satu jalan kendaraan umum, jelas hal ini sangat menggangu para pengguna jalan yang lain, sehingga membuat kemacetan. Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa biarpun ada ‘celah’ yang membolehkan untuk hal tersebut, namun jangan sampai apa yang kita lakukan membuat orang menumpahkan sumpah serapahnya, nauzubillahi min zhalik.
Karena itu, jangan tutup jalan bila kita mempunyai hajatan. Carilah tempat yang tidak membuat orang susah sehingga doa yang mereka sampaikan juga doa-doa yang terbaik.