Oleh: Fransisca Ayu K
Sungguh dunia sekitar kita makin miris. Beberapa waktu lalu, terendus jaringan pengedar video gay anak (VGK) yang menjual konten pornografi anak laki-laki di bawah umur melalui akun Twitter, di mana konten tersebut juga terafiliasi dengan grup Telegram 'Asian Boys' dari 49 negara. Ada 750 ribu images dan video gay kids yang ada di chat grup Telegram dan WhatsApp diamankan oleh Kepolisian. Group chat Telegram dan WhatsApp tersebut beranggotakan ratusan orang. Para member grup rata-rata kaum gay dan komunitas pedofil dari 49 negara di antaranya Amerika Serikat, Panama, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Arab Saudi, Costa Rica, Turki, Sudan, Irak, dan lain-lain. VGK atau video gay kids merupakan istilah yang biasa digunakan oleh komunitas penyuka sesama jenis maupun pedofilia. Bayangkan, di video itu ada adegan anak laki-laki beradegan seksual dengan laki-laki dewasa.
Kasus ini sendiri terbongkar setelah polisi mendapatkan informasi dari masyarakat, sejak 3 September 2017 lalu. Polisi kemudian berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Aftika) Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) terkait kasus tersebut. Pada 5 September 2017, polisi menangkap tersangka YUL (19) di Purworejo, Jawa Tengah. YUL merupakan admin dari akun Twitter @VGKSale. Setelah itu, polisi juga menangkap pemilik akun @febrifebri745 berinisial HER (30) dan juga IK (30) pemilik akun @freeVGK69 yang juga menyebarkan konten porno anak di bawah umur.
Keterlaluan
Sungguh keterlaluan para pelaku dan pengedar video tersebut. Harus diakui, anak kini memang sedang dalam ancaman segudang kejahatan. Moralitas publik yang kian terdegradasi oleh syahwat mementingkan kesenangan dan kenikmatan duniawai menjadikan anak sebagai pelampiasannya. Mereka rela memperdayai anak, demi mendapatkan sejumlah uang. Video porno yang dilakoni anak-anak itu tentu saja bukan terjadi dengan sendirinya. Ia dipicu oleh setingan amoralitas orang-orang dewasa yang kian gencar memelihara nafsu kebejatannya.
Anak selama ini telanjur dipandang sebagai kaum lemah, yang tak berdaya, tak punya posisi tawar yang cukup kuat untuk menolak ajakan mesum dari orang-orang dewasa yang makin superior memperagakan nafsunya, termasuk mengeksploitasi anak-anak kecil, untuk meraih keuntungan dirinya. Ketika bisa memperdayai anak-anak itu, lantas muncul rasa superior, jumawa, yang menunjukkan eksistensinya secara sosial.
Itu tentu saja bukan suatu kebetulan, tapi sebuah kejahatan yang sudah menggelora dan direncanakan dengan sistematis. Sejak dulu, bukankah anak selalu menjadi korban penculikan, penyiksaan bahkan pembunuhan hanya karena hal-hal sepele. Misalnya, karena insentif ekonomi atau karena keinginan seksual yang tak bisa dikendalikan. Sayangnya, keberadaan anak yang selalu dikelilingi oleh situasi rentan itu kerap jarang diproteksi dengan sistem perlindungan terhadap anak secara komprehensif, bahkan dalam situasi tertentu, anak dianggap bisa menjaga dan melindungi dirinya sendiri seperti yang kita lihat di jalanan. Di sana potret ketidakberdayaan anak menjadi telanjang disaksikan oleh warga. Mereka harus menyerahkan tenaga dan mengorbankan masa indah kekanakannya kepada mesin pencari ekonomi di jalanan yang dihidupkan oleh para manusia-manusia yang tak punya rasa kemanusiaan selain hanya punya nafsu dan kepentingan sesaat.
Ada yang diperas tenaganya untuk menjual koran, mengemis, pemulung dan lain sebagainya. Setiap tenaga mereka seketika menjadi hitungan nominal rupiah. Rasa perlindungan dan iba orang-orang baik terhadap mereka di jalan malah disalahgunakan untuk menghasilkan keuntungan orang-orang rakus yang tidak pernah membayangkan, bagaimana jika itu terjadi pada diri atau anak kandung mereka sendiri?
Ini juga mencerminkan bahwa masyarakat kita sekarang makin apatis dengan keadaan sosial. Kekejaman sosial yang melanda warga akibat kesenjangan ekonomi dan potret keadilan yang masih terlihat hingga detik ini membuat hal tersebut coba dikompensasi sebagai cerminan diri yang ingin memberontak terhadap berbagai mekanisme mempertahankan hidup yang makin kejam.
Di atas segalanya kita tetap menuntut para pelaku orang dewasa itu dikenai sanksi hukum yang seberat-beratnya, supaya ada preseden buat para pelaku yang lain, yang mungkin saja lagi bernasib mujur, selamat dari penciuman aparat. Kita ingin, aparat terus membongkar skandal penyebaran video tersebut, karena saya teramat yakin, kejahatan tersebut sudah lama berlangsung dan terus beranak-pinak seturut makin tingginya ambisi orang untuk mencapai kenikmatan dirinya.
Beri perhatian dan kasih sayang
Orang tua juga harus lebih hati-hati memproteksi anak-anaknya. Jangan sampai teledor sedikitpun karena jika salah satu memperhatikan anak-anaknya, ia akan berhadapan dengan para monster jahat, yang selalu siap untuk memperdayai anak-anak. Rawat dan asuhlah anak-anak dengan penuh kasih sayang, termasuk memberikan perhatian dan komunikasi yang intensif dengan anak-anak sesibuk apa pun kita di luar rumah.
Ajak selalu anak untuk berbincang-bincang sekadar menciptakan ruang bagi anak dalam mengekspresikan apa yang menjadi curahan hati dan kebutuhannya. Di tengah merambahnya dunia digital atau media sosial yang selalu menawarkan kecepatan informasi dan sumber pemuasan diri atas berbagai kepenatan yang dirasakan, relasi orang tua dan anak yang harmonis dalam keluarga menjadi situasi yang ampuh untuk menciptakan dan menyalurkan kehangatan, empatik dan kepedulian. Nilai-nilai ini yang bisa mengeliminir kesempatan anak untuk mencari perhatian di luar rumah termasuk berselancar di media sosial.
Media sosial memang bisa menjadi saluran alternatif belajar karena ada banyak informasi positif yang diperoleh di sana, namun di sisi lain, ia juga bisa menghancurkan masa depan anak, karena di dunia itu pula kanal-kanal kejahatan (saluran kebencian, pronografi, dan lain-lain) direproduksi terus-menerus. Tanpa bimbingan orang tua yang telaten, anak-anak akan mudah dieksploitasi oleh manisnya madu yang ditawarkan oleh dunia media sosial. Salah meletakkan hal yang baik di dalam diri anak, sama saja dengan memberikan bekal pecundang hancurnya moralitas bagi anak sehingga sudah pasti akan perlahan-lahan merenggut masa depannya. ***
* Penulis Pemerhati sosial