Chit Gwee Pua

Oleh: Rosni Lim

TAHUN demi tahun berlalu bagai anak panah melesat cepat. Tahun ini, di bulan 7 penanggalan Lunar, tepat 18 tahun kepergian papa. Membayangkan tibanya bulan 7 Lunar atau Chit Gwee, seketika muncul rasa seram di hatiku.

Chit Gwee dalam kepercayaan Tionghoa adalah bulan yang “kotor”. Sesuai kepercaya­an yang telah dilestarikan turun-temurun, di bulan ini tidak boleh melakukan hal-hal baik karena akan ber­dampak kurang baik, seperti: menikah, pindah rumah, memulai bisnis, atau melakukan hal-hal penting yang berkaitan dengan kesehatan.

“Ma, besok peringatan hari kema­tian Papa, aku akan menyembahyangi beliau di Vihara,” kataku malam ini saat kalender Lunar menunjukkan Chit Gwee Che Si.

“Kamu ingat hari kematian Papa, Siera?” tanya Mama surprais. Setengah tahun lebih berbaring di ranjang  dan duduk di kursi roda karena kesehatannya yang drop, Mama masih mengerti apa yang kami utarakan dan bisa membalas.

“Iya, aku ingat, Ma, setiap tibanya Chit Gwee, aku pasti ingat hari kematian Papa,” jawabku.

Mama senang mengetahui aku masih mengingat hari penting itu. Lalu telepon pun ditutup setelah aku berkata akan berangkat pagi-pagi seusai mengantar Jerick ke sekolah.

Malam ini, aku tertidur lelap dan bermimpi sedang di rumah masa kecilku. Aku ada di ruang kerja papa. Beliau mengeluarkan be­berapa kaset video serial silat dan me­naruhnya di atas meja.

“Pa, Papa sudah nonton sampai jilid berapa?” tanyaku sambil melihat beragam jenis serial silat di meja kerja papa.

“Sampai jilid 21, Siera. Coba kamu putarkan jilid 21,” jawab papa.

Aku mengerjakan apa yang disuruh. Papa terlihat senang. Kemudian, mimpi itu pun lenyap.

Terbangun dengan airmata membasahi pipi, aku menggigil. Hujan sepanjang malam  mem­buatku dingin dalam balutan baju tidur. Kuhapus airmataku sambil melihat jam dinding, pukul 01.30 dini hari.

Walau rasa kantuk masih menhinggap, aku belum ingin kembali terlelap. Mimpi itu sangat jelas, nyata seperti puluhan tahun lalu saat aku menghabiskan hari-hariku menema­ni papa menonton serial silat atau opera di ruang kerja beliau. Momen itu, adalah satu dari sedikit momen terindah dalam hidupku.

Kenapa kenangan itu yang hadir dalam mimpiku pagi ini? Dan kenapa pula hadir tepat di hari peringatan 18 tahun kematian papa? Apakah di alam baka sana, papa tahu aku akan menyembahyanginya hari ini? Papa bahkan bisa merasakan kesedihan dan kerin­du­anku akan kenangan-kenangan indah di masa kecilku itu, hingga beliau mengem­bali­­kan momen tersebut dalam mimpiku tepat di hari peringatan 18 tahun kematian­nya.

Airmataku mengalir lagi. Tubuhku terasa nyeri berbaring di atas kasur tipis beralaskan karpet pada cuaca dingin. Kulirik samping kananku. Jerick sedang terlelap di samping papanya di atas 2 tilam yang dibalut kain spring-bed.

Aku harus merekam mimpi itu dalam benakku kali ini supaya tidak lenyap saat aku terbangun esok pagi.

Karena mimpi itu begitu spesial, hadir tepat di hari peringatan kematian Papa, dan isi mimpi itu adalah kenangan terindah pada masa kecilku di rumah papa.

“Pa, hari ini Siera bersama suami, putri dan menantu laki-laki, datang menyembah­yangi Papa memperingati hari kematian Papa. Bila Papa melihat kehadiran kami dan datang untuk menerima hidangan yang kami sajikan, berilah aku sebuah seng poi.” Mulutku berkomat-komit di depan altar papa setelah tiga batang dupa aku tancapkan.

“Hup!” poi  itu pun melayang di udara ketika kulempar dan jatuh di atas lantai dengan posisi satu membuka dan satu menutup. Itu artinya, papa menjawab, “Iya!”

Aku percaya, papa benar-benar hadir menerima hidangan dariku. Beliau pasti melihatku. Sambil menunggu papa “menye­le­saikan makannya”, aku menyambar koran yang tergeletak di atas meja.

Setengah jam setelah itu, aku kembali melemparkan poi di depan altar papa untuk permisi pulang, dan ternyata poi yang menjawab, “Iya!” kembali muncul dalam sekali lempar.

Hatiku lega selesai melaksanakan niat dan tugas seorang anak Sampai di rumah, aku melaksanakan tugas seorang ibu. Setengah jam lagi Jerick akan pulang sekolah, jadi aku bersiap-siap menyambutnya.

Suara pintu pagar dibuka disertai suara jejak-jejak kaki. Diisusul suara pintu tengah berdebam. Jerick masuk ke ruang tamu dan menjumpaiku yang sedang merebus air di dapur.

“Ma! Ma! Ma!” serunya kencang dan sekonyong-konyong. “Ma, Ma, tadi aku terjatuh, kaki dan tanganku terluka!  Lihatlah!” katanya sambil memperlihatkan perban di siku tangan dan lutut kakinya.

“Terjatuh? Kok bisa jatuh?” tanyaku. “Di mana jatuhnya, Jer?”

“Di sekolah pagi-pagi tadi, Ma, sebelum masuk kelas.”

“Kamu nggak hati-hati berjalan ya?” tanyaku. “Siapa yang perban kamu?”

“Nggak, Ma, aku ditarik Erwin waktu sedang berjalan di lapangan sekolah menuju kelas. Dia berlari-lari datang dari arah belakang sambil menarik tasku dan tak sengaja menyandung kakiku hingga terja­tuh.”

Jerick duduk di sofa. Aku jongkok melihat luka di siku tangan dan lutut kakinya. “Siapa yang perban?” tanyaku.

“Wito, Ma! Dia pakai tissue dan handy-plast perban lukaku. Kalau tidak, berdarah tadi,”

Aku membuka perban di kedua tempat itu dan mengoleskan obat luka. “Lumayan juga lukamu, Jer, untunglah Wito pandai merawatmu,” kataku.

Kenapa begini? Sekelabat pikiran buruk muncul di benakku. Kenapa ada insiden aneh seperti ini? Kemarin waktu jalan di trotoar, tumit kaki Jerick tertusuk kerikil tajam. Pagi ini, terjatuh begitu saja dan me­ninggalkan 2 bekas luka yang  lumayan.

Padahal selama ini tidak pernah ada insiden seperti ini. Apakah ini ada hubungannya dengan bulan 7 Lunar alias Chit Gwee yang “kotor”?

Seorang teman tiba-tiba meninggal di hari pertama Chit Gwee. Kepergiaannya yang mendadak, sungguh tiada yang sangka. Beberapa hari lalu, Erwin hampir disenggol mobil yang berhenti 5 sentimeter di samping kanannya saat menyeberang dalam perjalan­an ke sekolah. Untunglah mobil itu menge­rem mendadak, kalau tidak barangkali kaki kanannya sudah berciuman dengan bemper depan mobil tersebut.

Apakah ini juga ada hubungannya dengan bulan 7 Lunar? pikirku lagi.

**

“Ma, Ma, hari ini kita jalan-jalan dong!” Jerick minta dibawa jalan-jalan di hari Minggu ini.

“Jalan-jalan ke mana, Jer? Manalah tempat di Medan ini yang tidak pernah kita kunjungi? Jalan-jalan di mall besar capek kaki Mama. Jalan-jalan di mall itu apalah yang mau dibeli? Cuma menghabiskan waktu saja!” jawabku.

Oh, apakah ini juga ada hubungannya dengan rasa yakinku akan kepercayaan turun-temurun Chit Gwee yang “kotor”? Kalau tidak, kenapa aku sangat enggan keluar rumah di bulan ini kalau tidak terlalu penting? Lebih aman di dalam rumah, pikirku.

Setahun lalu, 2 tahun lalu, bahkan 5 tahun lalu, mungkin tak ada yang menyadarinya, insiden kecelakaan di jalan raya yang sampai merenggut korban jiwa, orang yang bunuh diri melompat dari mall tinggi, dan berbagai kejadian buruk yang sepertinya lebih sering terjadi di bulan 7 Lunar, membuktikan secara tak langsung kebenaran kepercayaan itu yang sering dibilang orang hanyalah mitos.

Phei! Phei! Phei! Mulutku berkomat-komat, berusaha mengahalau pikiran-pikiran buruk di benakku.

Ini masih memasuki beberapa hari Chit Gwee, puncak dari perayaan Chit Gwee Pua dalam tradisi Tionghoa masih se­minggu lebih. Memperingatinya pas­tilah dengan menyembahyangi arwah leluhur dan menghidangkan ane­ka macam makanan, kue, dan buah di atas altar leluhur yang di­an­tar­kan le­wat 3 batang dupa.

Perayaan penting bagi arwah leluhur yang telah pergi ke alam baka dan arwah para gentayangan yang tiada anak cucu yang menyem­bah­yanginya, juga ditandai dengan ma­kan besar bersama di tempat-tem­pat yang ditentukan oleh komu­ni­tas suatu marga.

Malam menjelang Chit Gwee Pua. Telepon di dalam kamar berbunyi.

“Siera, kamu bisa ke sini sebentar? Mama mau bicara!”

“Mau bicara? Ada hal penting apa?” tanyaku cepat. Hatiku berde­bar. Oh, pikiran buruk seketika hadir di benakku.

“Ke sinilah dulu,” kata suara itu.

“Iya, iya, aku akan ke sana segera!” putusku.

Tanpa berpikir panjang hal penting apa yang dimaksud, aku segera hendak ke rumah Mama. Yudi baru pulang kerja dan masih mandi, belum juga makan. Jerick-ku lagi duduk di sofa bermain game GT. Menunggu Yudi selesai mandi, istirahat, makan malam, lalu istirahat lagi, pasti memakan waktu lama.

“Jerick, bilang sama Papa, Mama keluar sebentar,” kataku.

Jerick melirikku sekilas. “Pergi ke mana, Ma?” tanyanya.

“Ke rumah Ama!” jawabku.

Dengan ligat, aku menyambar sepeda balapku, mendorongnya keluar dari pintu pagar. Setelah menutup pintu pagar, aku membalap dengan sepeda itu.

Aku sudah lupa kalau malam ini adalah malam menjelang Chit Gwee Pua.

Sepeda balapku melaju kencang di jalan raya. Kencang sekali karena aku mengayuhnya dengan cepat supaya segera sampai di tujuan. Saat menaiki jalan menanjak di atas jembatan Sungai Deli, rantai sepe­daku tiba-tiba putus. Aku merasa ada yang aneh, dan keseimbanganku pun oleng.

Tubuhku terhuyung-huyung ke kiri dan ke kanan dibawa sepeda yang akan ambruk. Pas di detik itu, sebuah mobil kontainer melintas dari arah belakangku. Aku hanya melihat kelabat bayangan mobil kontainer yang bertubuh raksasa itu sebelum tercampak ke atas jalan raya dan hilang kesadaran..

Orang bilang, saat seseorang sedang di ambang maut, semua kejadian di masa lalu akan diputar ulang di benaknya. Kenangan paling indah dan paling buruk silih berganti datang di detik-detik menjelang ajal menjemput.

“Pa, Papa mau nonton episode berapa?”

“Siera, ini angpao untukmu. Besok adalah hari raya Imlek. Mari kita sekeluarga minum bir bersama,” Papa menuangkan bir dari dalam botol ke dalam gelasku yang berisi es batu.

“Dor! Dor! Dor!” aku menem­bakkan pistol ke “musuh-musuh” di depanku yang bersem­bu­nyi di balik sofa.

Suara-suara dari loudspeaker mendendangkan lagu-lagu Imlek yang diputar kakak kedua.

Bahagianya momen-momen itu, aku ingin meletakkan hatiku saat ini ke dalam momen-momen itu.

Tapi tiba-tiba telepon di lantai 2 berbunyi.

“Siera, kamu ke sinilah sebentar. Ke rumah duka. Kakak keduamu sudah tiada,” kata mama di seberang sana..

Duniaku pun runtuh. Hidupku tiada lagi artinya.

Perlahan, airmataku mengalir turun saat aku mendengar suara teriakan orang-orang di sekelilingku. “Cepat selamatkan dia! Bawa ke rumah sakit! Dia terluka parah!”

Tuhan, apakah ini sudah saatnya bagiku, ataukah masih belum, aku bertemu papa dan kakak kedua?*** (Medan, Agustus 2017)

()

Baca Juga

Rekomendasi