Kebebasan Manusia

Oleh: Roy Martin Simamora

Manusia memiliki hak menyata­kan dan memper­timbangkan segala se­sua­tu­nya, tetapi ia juga berkehendak dan me­mi­lih. Artinya, manusia ada dilahirkan untuk memi­liki kehendak. Ia memiliki kemampuan meng­hendaki apa yang disukainya, apa yang tidak disukainya dan memilih apa yang dikehendakinya.

Didalam memutuskan kehendak, me­nurut Leahy (2001:178), manusia me­mi­liki tiga hal: Pertama, self-reflection ada­lah subjek dan objek dari kegiatan ma­nu­sia. Kedua, self-consciousness (kesa­daran diri). Artinya kalau manusia mengambil suatu keputusan bebas, ia benar-benar sadar bahwa ialah yang mengambil keputusan itu. Senantiasa harus diingat bahwa intelegensi dan kehendak bukanlah realitas-realitas yang berbeda secara otonom, tetapi hanya kemampuan yang dari suatu realitas yang unik dan otonom. Ketiga, self control (penguasaan diri). Hal ini adalah bentuk perwujudan dari kehendak artinya kita sadar akan kenyataan bahwa dalam diri kita terdapat suatu kecenderungan lebih tinggi yang menguasai kecenderungan-kecenderungan yang lain.

Alasan Kebebasan

Jika ditanya, hampir dipastikan semua manusia memiliki kebebasan, baik secara fisik, moral dan psikologis. Manusia sangat yakin kalau dia memiliki kebe­basan, ia juga yakin bahwa temannya, te­tangganya, raja, presiden dan orang-orang yang ada disekitarnya memiliki kebebasan. Tetapi karena manusia me­miliki kebebasan, dan mereka menjadi tidak tahu apa arti dari sebuah kebebasan itu sendiri. Mi­salnya, belakangan ini, ada pro dan kontra mengenai bentuk bumi. Dipihak yang pro menyebut bahwa bulan itu bulat, di­sudut yang lain menyebut bahwa bumi itu datar. Anda bisa memperhatikan dua perbedaan yang sama sekali tidaklah penting dalam kehidupan praktis manusia sekarang ini. Karena kebebasan mengata­kan sesuatu sehingga muncul kekeliruan universal dan melahirkan kekacauan ber­pikir, bertingkah laku manusia. Tentang kita bebas atau tidak dan bertang­gung­jawab atas perbuatan-perbuatan kita atau tidak merupakan sesuatu yang penting sekali secara praktis.

Orang boleh saja mengajukan kebera­tan mengenai per­debatan tadi. Ada yang mengatakan bumi bulat, ada pula yang mengatakan bumi datar. Sah-sah saja. Tetapi akan menjadi keliru bahwa dalam hal ilmu pengetahuan dan filsafat, hendaknya orang lebih baik mengikuti pendapat orang yang telah mempelajari persoalannya, meski merupakan kaum minoritas sekalipun, daripada secara membabi buta mengatakan pendapat dari mayoritas yang kurang kompeten dan tidak memiliki dasar keilmuan. Bisa dikatakan, hak ini persis seperti pengikut determinisme (kaum yang tidak memiliki kebebasan) yang hanya mencapai sesuatu hanya pada kesimpulan belaka tanpa mempelajari terlebih dahulu masalah tersebut.

Saya akui bahwa sebagian besar ma­nusia secara spontan mengakui ke­be­basannya. Mengapa demikian? Bisa dika­ta­kan dari hasil pengalaman yang ma­nusia dapat. Ada kebebasan yang secara langsung dan tidak langsung. Nah, fakta yang demikian akan menunjukkan se­be­rapa jauh manusia memahami ke­be­basannya. Salah satu kebebasan yang se­cara langsung, kita memutuskan me­milih melakukan perbuatan A daripada B. Kita sadar sesadarnya bahwa kita ber­tindak tanpa paksaan, maupun tekanan dalam memilih. Contoh kedua, saya menemukan sebuah dompet sewaktu perjalanan pulang dari kantor. Isi dompet: ada uang, kartu tanda pengenal, alamat ru­mah, alamat kantor, dan nomor telepon pe­miliknya. Timbul dalam pikiran: Saya ambil uangnya dan buang dompetnya atau saya bawa dompetnya dan saya se­rahkan ke pemiliknya. Dua pilihan ini­lah yang menentukan kebebasan kita. Ambil atau kembalikan. Tetapi ketika memutuskan untuk memilih kebebasan kita, ada resiko yang harus kita pertang­gung­jawabkan. Ada keputusan dan tang­gungjawab moral disitu.

Kebebasan secara tidak langsung dikatakan apabila kita berunding sebelum mengambil keputusan; kita memper­timbangkan antara pro dan kontra. Kita menyesali perbuatan yang kita lakukan dan pilih tanpa memutuskan dengan matang terlebih dahulu. Misal­nya, kita mengagumi, memuji dan meng­hadiahi seseorang karena melakukan per­buatan-per­buatannya yang baik dise­kitarnya. Mi­salnya: Orang-orang mengagumi kinerja Ahok karena ia melakukan per­buatan atau pekerjaannya sesuai dengan harapan sebagian orang, saya bilang sebagian karena belum tentu sebagian lagi merasa mewakili harapan mereka. Orang-orang lantas mengirim bunga dan balon tanda cinta mereka terhadap Ahok.

Seandainya kebebasan kita perguna­kan tanpa melihat fakta-fakta, memper­tim­bangkan dan memutuskan dengan baik, yang terjadi adalah kekecewaan. Kekecewaan karena perlakuan kita terhadap si tokoh tidak berdasarkan fakta yang kita lihat dilapangan dan tidak sesuai ekspektasi. Kebebasan untuk tidak memuji dan mengagumi menjadi bagian kebebasan manusia yang lain. Mungkin saja mereka melihat kinerja si tokoh buruk atau tidak sesuai ekspektasi.

Pembatasan Kebebasan

Tapi adakalanya kebebasan kita diba­tasi oleh aturan-aturan yang telah d­i­se­pakati bersama. Kesepakatan yang saya mak­sud adalah ada aturan atau hukum. Na­mun, apakah kesepakatan bisa diing­kari? Itu tergantung kebebasan orang-orang yang membuatnya. Karena setiap kesepakatan yang dibuat juga memiliki dampak, seperti seseorang yang melang­gar hukun akan dijatuhi sangsi hukum.

Salah satu kesepakatan yang tertuang dalam konstitusi Negara. Dalam UUD 1945 diatur bahwa kebebasan bagi setiap orang untuk berbicara, berkumpul dan ber­serikat. Orang boleh menyampaikan as­pirasinya, orang boleh ber­kumpul dengan siapapun dan membentuk serikat apapun sepanjang tidak berbenturan dengan norma dan hukum yang berlaku. Paling sering kita lihat, demo buruh, demo guru honor, demo mahasiswa, demo menuntut presiden turun, demo me­nuntut harga BBM turun dan masih banyak lagi. Disana kita melihat ke­bebasan orang-orang untuk me­nuntut apapun yang mereka mau. Tetapi harus kita ingat kebebasan yang secara lang­sung atau tidak langsung ber­ujung anarkis, hukuman (punishment) adalah ganjarannya.

Manusia kadang tidak tahu dan tidak bisa membedakan kebebasan seharusnya boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam hal ini, kebebasan untuk menentukan dipengaruhi pula oleh beberapa faktor (pembawaan, pendidikan, pen­dapat umum dan sebagainya). Orang-orang telah tidak sadar secara moral tahu bahwa keputusan itu bebas, makanya mereka bertindak sesukanya. Tetapi, orang yang sudah sadar secara moral, kejiwaan, pikiran dan psikologis jika berbenturan dengan hati nurani mereka mungkin me­milih kebebasan yang lain (menyam­pai­kan pikiran dengan mu­syawarah dan mufakat).

Pemikiran Kant, yang mengatakan bah­wa kebebasan itu tidak dapat di­buktikan oleh akal teoritis, mengakui bahwa manusia itu bebas, berdasarkan keyakinannya atas rasa kewajiban yang di­anggapnya sebagai suatu hal yang evi­den dari pihak akal prakter. Disambung de­ngan pemikiran J. Macquarrie dalam Leahy (2001), mengungkapkan bahwa kebebasan adalah suatu pengandaian dari pelaksanaan pe­nilaian rasional, pembe­daan antara yang benar dan yang salah, tetapi mungkin bahkan lebih jelas lagi bahwa kebe­basan adalah suatu pengan­dai­an kehidupan moral. Kita bertanggung jawab terhadap perbuatan kita; kita juga berpendapat orang lain bertanggung jawab terhadap per­buatan sendiri; dan tidak ada artinya kita bersikap demikian seandainya kita tidak percaya bahwa per­buatan itu adalah sungguh-sungguh per­buatan seseorang pelaku moral, bahkan se­mata-mata kejadian. Dengan kata lain, kepastian kita tentang nyatanya kebeba­san itu tergantung pada kesadaran lang­sung kita terhadap pelaksanaan kebe­ba­san itu. menyangkan ini berarti me­rong­rong moralitas.

Seperti yang saya singgung sebelum­nya, kebebasan itu mengandung kewaji­ban moral. Dua orang mahasiswa ber­de­­­bat tentang sesuatu. Salah satu di­antara me­reka ingin mengingkari ke­wajiban mo­ral, membenarkan ar­gu­men­nya tanpa me­minta pendapat la­wannya. Bahwa da­lam berdiskusi me­mang kita memiliki ke­bebasan untuk menyam­pai­kan ar­gu­men tetapi ada kebebasan orang lain yang perlu diper­timbangkan se­pan­jang kebe­bas­an itu memiliki lan­da­san yang kuat. Tapi, kadang kita sulit membeda­kan apa­kah kebebasan yang satu dengan yang lain­nya dapat diterima atau ditolak saja?. Oleh karena itu perlu se­betulnya kita me­nyadari bahwa ke­be­basan tanpa pija­kan yang kuat akan menjadi sia-sia.

Saya sadar, dalam hubungan saya de­ngan manusia yang lain, ada keharusan-ke­harusan tertentu yang kita punyai ter­hadap mereka. Sama halnya bahwa kita sa­dar akan ke­harusan-keharusan yang me­reka miliki terhadap kita. Jadi, kita meng­ganggap secara umum bahwa manusia bebas.

Kita juga harus mengakui bahwa untuk tetap logis dengan diri sendiri, tidak ada keharusan-keharusan absolut, tidak ada kewajiban-kewajiban suci, tidak ada hak-hak yang tak dapat di­tiadakan. Sejatinya, kebebasan tetap ada, namun tergantung kita mengamini ba­gaimana kebebasan itu seharusnya di­pakai dalam kehidupan kita sehari-hari. ***

Penulis adalah Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan; Peminat filsafat

()

Baca Juga

Rekomendasi