Eksistensi Waktu dalam Proses Perubahan

KATA orang tidak ada yang kekal kecuali perubahan. Apakah hal itu benar? belum tentu, karena dalam konteks Islam, yang kekal hanya satu yaitu Allah, sementara yang lain tidak kekal, jadi perubahan juga tidak kekal.

Perubahan akan muncul setelah proses waktu berjalan. Ada yang dulunya miskin kini jadi kaya, atau sebaliknya. Dan waktu akan terus berjalan, berputar. Sehingga jika ada yang ingin memutar waktu kembali ke belakang ia tidak akan bisa.

Hari ini kita masih muda, masih banyak yang ‘berminat’. Tetapi 20 atau 30 tahun lagi mungkin kita tidak seganteng atau secantik pada waktu dulu, lalu akankah kita akan membalikkan waktu seperti waktu dulu?

Banyak orang yang terlalai karena tidak memperhitungkan waktu. Akibatnya, ia anggap waktu itu tidak berjalan padahal waktu terus berputar mulai dari detik ke menit. Menit ke jam, jam ke hari. Hari ke Minggu. Minggu ke bulan dan bulan ke tahun. Terjadi perubahan terus menerus. Tahun lalu 2017 sekarang sudah 2018 artinya dalam beberapa hari ini kita meninggalkan tahun 2017.

Proses waktu itu akan membuat kita mendekati batas waktu yang telah dijanjikan Allah. Sayangnya banyak orang yang baru tersadar ketika ajal sudah mendekatinya.

Di dalam surat Al-’Ashr, Allah mempe­ringatkan manusia yang menjadikan seluruh aktivitasnya hanya berlomba menumpuk-numpukkan harta serta menghabiskan waktunya untuk maksud tersebut.

Kata al-’Ashr dalam Tafsir Al-Misbah kara­ngan M.Quraish Shihab terambil dari kata ‘ashara yakni menekankan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam dari padanya nampak ke permukaan atau keluar (memeras). Takkala perjalanan matahari telah me­lampaui pertengahan, dan telah menuju ke­pa­da terbenamnya dinami ‘ashr/asar. Pena­maan ini, menurut Quraish Shihab, agaknya disebabkan karena ketika manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usaha-usahanya.

Para ulama sepakat mengartikan kata ‘ashr tersebut dengan waktu, hanya mereka berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud, namun pendapat Quraish sendiri adalah waktu secara keseluruhan. Karena dalam sejarah, telah men­jadi kebiasaan orang-orang Arab --bahkan tidak hanya orang Arab semata -- pada masa turun­nya Alquran untuk berkumpul-kumpul atau kata­kanlah bergosip berbagai hal dan tidak jarang terlontar kata-kata yang mempersalah­kan waktu atau masa. Ada yang mengatakan “waktu sial” jika mereka mengalami kegagalan atau “waktu baik” jika mereka berhasil.

Maka melalui surat ini, Allah bersumpah dengan waktu untuk membantah apa yang diucapkan mereka tentang pembagian waktu baik dan waktu sial. Semua waktu sama tidak ada yang berbeda, karena masing-masing waktu terdiri dari 24 jam, ada waktu pagi, siang dan malam. Tidak ada waktu yang memberikan kemaslahatan atau kemudharatan bagi setiap orang, yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan orang itu sendiri.

Waktu selalu bersifat netral, jadi jangan men­cerca waktu karena Allah adalah pemilik waktu.

Surat pertama Al-’Ashr ini memiliki makna yang sangat besar. Ia tidak hanya bicara tentang waktu, tetapi juga berbicara tentang orang-orang yang hanya mempersalahkan waktu.

Saya teringat dengan bapak/ibu yang hendak menikahkan anaknya. Sering terlontar kalimat, “Menurut saya waktu yang baik adalah pada tanggal sekian, bulan sekian tahun sekian.” Lalu, apakah waktu sebelum dan sesudahnya waktu yang kurang baik?

Mungkin apa yang difirmankan Allah, tidak hanya menjadi jawaban kepada orang-orang Arab pada waktu dulu saja, tetapi juga menjadi jawaban bagi orang-orang sekarang ini, yang masih berpegangan atau berprinsip ada waktu baik dan waktu buruk.

Lalu Allah tidak membiarkan hambanya mempertanyakan tentang waktu, Ia menyam­bung firmannya, “Sesugguhnya manusia di dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal yang shaleh serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling ber­wasiat tentang kesabaran. (QS Al-’Ashr: 2-3)

Jadi bicara tentang waktu, sesungguhnya seluruh manusia dalam kerugian. Lalu apa konsepnya agar kita tidak mengalami kerugian. Allah langsung menjawab, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Kalau hanya beriman, Iblis juga beriman. Iblis juga mengakui keesaan Allah, sehingga ayat ini dilanjutkan dengan beramal shaleh, di sinilah Iblis tidak masuk dalam kategori beramal Shaleh, karena ia tidak mengindahkan perintah Allah yaitu sujud kepada Adam (QS Al-Baqarah; 34).

Iman tidak hanya diucapkan saja, tetapi harus direalisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari lewat amal.

Selain itu agar kita tidak merugi yaitu berwa­siat dalam kebenaran dan kesabaran.

Imam Syafii menilai surat ini sebagai salah satu surat yang paling sempurna petunjuknya, menurutnya, seandainya umat Islam memikir­kan kandungan surat ini, niscaya (petunjuk-petunjuknya) mencukupi mereka.

Akhirnya, setiap perubahan pasti diiringi dengan waktu, maka hati-hatilah kita dengan waktu yang telah kita lalui dan yang belum kita lalui, karena ia bisa menjadikan kita apakah nantinya masuk dalam kelompok orang-orang yang beruntung atau merugi. Mudah-mudahan, kita adalah orang-orang yang beruntung baik di dunia maupun di akhirat.

 

 

()

Baca Juga

Rekomendasi