Anthony Giddens

Politik Hijau Berasal dari Revolusi Industri

KESADARAN terhadap ling­ku­ngan sesungguhnya adalah tindakan politis yang berdampak bagi se­mua pihak di masa depan. Semua orang harus secara bersama berkomitmen terhadap lingkungan. Obsesi Amerika Serikat dan banyak negara maju di dunia untuk menguasai mi­nyak dan sumber daya energi sudah menjadi rahasia umum.

Minyak, batu bara, gas dan uranium adalah sumber darya energi tak terbaharukan sudah barang tentu menjadi bahan re­butan guna melegitimasi kekuatan dan kekuasaan politik sebuah negara maju dan juga melanggengkan industri yang menggerakan globalisasi dan pasar bebas saat ini.

Di sisi yang lain, gerakan peduli lingkungan berbasis komunitas dengan slogan "Go Green” sedang menjamur di masyarakat dunia hari ini. Sebut saja Urban Farming, Earth Hour, kampanye "ayo bebersih dan pungut sampah” hingga daur ulang sampah di tingkat sekolah dasar sampai kecamatan.

Hal yang luput dari perhatian adalah bahwa obsesi ekspansi energi negara maju dan gerakan peduli lingkungan sebenarnya adalah dua hal yang sangat erat dan berkaitan satu sama lain. Bahwa urgensi kepedulian atas perubahan Iklim yang terjadi ada hubungannya dengan problem dasar yaitu keamanan energi.

Gerakan "Go Green” yang digagas masyarakat di sisi lain adalah dua hal yang sebenarnya paradoksal dalam pikiran Anthoy Giddens. Pemikir sosiologis ini dalam bukunya Politik Perubahan Iklim memaparkan bahwa pertumbuhan ekono­mi yang menjadi capaian negara-ne­gara berkembang dengan basis meningkatkan kesejahteraan penduduk sesungguhnya bertenta­ngan dengan tujuan mengatasi perubahan Iklim.

Kebutuhan akan energi yang menjadi penyokong industri dalam pertumbuhan ekonomi bertentangan dengan upaya me­ngurangi emisi dan melindungi lingkungan. Yang dibutuhkan adalah konversi energi dan alih teknologi besar-besaran dan soko­ngan pemerintah negara sebagai pemain politik yang berkepentingan.

Gerakan peduli lingkungan berdasarkan kesadaran diri untuk membatasi penggunakan listrik khususnya lampu ini telah menjamur di banyak wilayah negara dan menjadi sasaran kampanye program ini, namun seperti kebanyak gerakan pe­duli lingkung­an yang berbasis global, kampanye peduli lingkungan hari ini lebih banyak yang bersifat bandwagon effect atau sekedar ikut-ikutan.

Ketimpangan

Bagaimana tidak, keme­rataan  ketersediaan listrik di seluruh wila­yah tidak bisa disamakan dengan negara-negara maju penggagas gerakan ini. Ketimpangan ketersedian listrik dan kemampuan untuk menyala terus menerus sangat menyedihkan.

Gerakan dan politik hijau sesungguhnya tidak benar-benar nyata, setidaknya begitu menurut Anthony Giddens.

Pemikiran soal Politik Hijau berasal dari ciptaan Revolusi Industri dan pada awal kemunculannya tidak berhubungan dengan kampanye pencegahan perubahan Iklim dan Global Warming.

Untuk itu, beberapa prinsip dasar dari gerakan hijau ini menurutnya tidak memberikan implikasi yang cukup untuk mencegah perubahan Iklim. Gerakan hijau memiliki empat pilar di antaranya kebijaksanaan ekologis, keadilan sosial,  demokrasi akar rumput, dan asas non-kekerasan.

Empat pilar ini diperkenalkan oleh Partai Hijau Jerman, yang sekarang bernama Alliance ‘90/The Greens (Bundnis 90/Die Grünen) pada tahun 1979-1980. Hal yang selalu ditutup-tutupi dari Gerakan Hijau adalah salah satu masa kejayaan mereka justru saat berada di bawah fasisme, terutama di Jerman.

Ideologi "Ekologisme”  Gerakan Hijau sering sekali terjebak dalam Mistisme Alami atau gerakan romantisir di masa lalu yang merumuskan soal konservasi alam, pertanian organik dna vegetarianisme. Gerakan hijau semacam ini sering kali terbentur pada gerakan esensialis dan konservasisme. Kecenderungan untuk menolak kepercayaan lepas terhadap ilmu pengetahuan terutama teknologi.

Teknologi harus ditolak ke­cuali bisa dibuktikan bahwa teknologi itu tidak menyebabkan kerusakan, baik kepada manusia atupun biosfer. Padangan Gerakan Politik Hijau ini sering dikaitkan dengan pandangan ekosentrisme Ekologi Dalam yang me­nyatakan bahwa manusia adalah bagian dari kelangsungan alam dan tidak lagi sekedar mahluk sosial tapi juga nature-beings, makhluk alam.

Gerakan

Di sisi lain, muncul gerakan peduli perubahan iklim yang menggunakan basis pemikiran yang lebih rasional yang sering kali disandingkan dengan pikiran ekosentrisme, yakni teknosentrisme.

Tekno­sen­trisme percaya bahwa teknologi memiliki  kemampuan untuk mengontrol dan melindungi lingkungan.

Bahwasanya, benda-benda di alam hanya akan memiliki nilai me­lalui manusia. Teknosentrisme mem­berikan aliran pemikiran bahwa perlindungan terhadap lingkungan tidak harus bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi negara maju maupun berkembang.

Karena perubahan iklim tidak sekedar kabut dan polusi di jalanan Jakarta, maka usaha para ilmuwan untuk mengukur dan menciptakan inovasi baru membantu untuk perbaikan kualitas hidup manusia dan lingkungan.

Berbeda dengan politik Gerakan Hijau yang bersandar pada komunitas dan demokrasi akar rumput, Giddens membawanya ke pada pe­mi­kiran bahwa perubahan Iklim sebagai isu yang bisa melampaui ne­gara-bangsa karena bencana yang terjadi akibat Perubahan Iklim bisa terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa di duga, untuk itu dia mengambil isu soal perubahan Iklim adalah isu tentang resiko di masa depan.

Pemikirannya berusaha mendamaikan antara ekonomi-ekonomi kompetitif  dan teknologi-teknologi yang ramah  terhadap perubahan iklim. Bahwa apabila gerakan politik hijau yang berbasis komunitas menjadi mainstream, maka ia akan dengan sendirinya kehilangan iden­ti­tas­­nya.

Dan negara punya andil dalam kebijakan perubahan iklim karena politik energi yang selalu berdampingan dalam upaya memperbaiki kualitas lingkung­an.

Apabila Giddens menyandarkan manajemen resiko perubahan Iklim dan kepercayaan sepenuhnya kepada ilmuwan untuk mengukur kerusakan lingkungan juga mengatasinya.

Aktor-aktor lain dalam struktur masyarakat memiliki peran untuk menanggulangi resiko tersebut.

Di tingkat elit, negara berperan untuk mewujudkan energi baru dan kebijakan yang lebih ramah lingkungan redah karbon. Tentu saja dengan harapan agar minyak tidak lagi menjadi ketergantungan kekuataan dan politik setiap negara-negara.

Di tingkat masyarakat, kampanye perubahan lingkungan tidak berdasarkan tren global namun lebih memperhatikan permasalahan sekitar. (nkm/dwc/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi